Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong dengan
pertanyaan beruntun.
“Cak,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu
bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah
satu : 1. Pergi ke masjid untuk shalat Jumat. 2. Mengantar pacar berenang. 3.
atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang
sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang
kecelakaan….!!”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?”
kejar si penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau
masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi. “Dan lagi belum tentu Tuhan
memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi. Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
Kata Tuhan : Kalau engkau menolong orang sakit,
Aku-lah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Aku-lah yang
kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Aku-lah yang
kelaparan itu.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat
shalatnya. Shalat memang wajib, tapi untuk Allah dan tidak dipamerkan kepada
orang lain.
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output
sosialnya : kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan
dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti
shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki
perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama
adalah sikap. Agama mengajarkan pada kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih
sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca Al-Quran, pergi ke
kebaktian, ikut misa, datang ke pura. Menurut saya, kita belum layak disebut
orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang
negara, menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup
bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya
bukan hanya dari kesalehan personalnya, melainkan juga kesalehan sosial.
Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan
tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda
agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum
mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang
bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap
dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai
masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta
kelaparan….!”
http://embunhikmah.com/cermin/cak-nun-tinggalkan-shalat-jumat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar