Penulis sangat
bersyukur terlahir sebagai “Bocah Ndeso”, tumbuh dan berkembang menjalani masa
kanak-kanak dan remaja disebuah desa di pingiran Kali Brantas. Masa kanak-kanak
dan masa remaja adalah masa pembentukan jadi diri, dan penulis merasa beruntung
bahwa sedari kecil telah diperkenalkan dan diajarkan tentang falsafah-falsafah
serta khazanah-khazanah kearifan yang terkandung didalam budaya dan tradisi,
terutama budaya Jawa seperti wayang, ketoprak maupun tembang-tembang macapatan.
Ditengah-tengah
gempuran budaya-budaya asing, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah yang
terus berupaya menggerus warisan budaya dan tradisi bangsa kita.Budaya barat
yang Hedonis dan Liberalis kita sebut sebagai budaya Arus Kiri, sedangkan
budaya Timur Tengah yang Primordialis dan anti perbedaan (Unegaliter) kita
namai sebagai budaya Arus Kanan. Budaya barat mendominasi didunia entertainment
kita mengubah wajah hiburan kita menjadi hingar bingar gemerlap dengan
hedonisme merusak sendi-sendi kesantunan dan etika budaya bangsa kita. Budaya
Timur Tengah muncul di mimbar-mimbar dakwah, menawarkan slogan-slogan kekerasan
yang anti pada perbedaan, anti pada budaya dan tradisi negeri sendiri, dimana
tradisi-tradisi budaya warisan nenek moyang dianggab sebagai bid’ah yang harus
dimusnahkan. Setiap ada perbedaan maka mereka akan turun kejalan-jalan sambil
membawa Pentungan.
Dalam upaya untuk nguri-nguri tradisi bangsa
sendiri, karena menurut pemahaman penulis tradisi-tradisi yang merupakan
warisan dari nenek moyang bangsa kita itu menawarkan kearifan yang lebih cocok
bagi kepribadian bangsa kita. Salah satu budaya yang masih terekam begitu indah
di kalbu penulis adalah tembang-tembang macapatan. Dahulu sewaktu penulis masih
anak-anak, almarhum bapak saya seringkali menembangkan tembang-tembang mocopat
menjelang tidur malam.Tembang-tembang itu terasa begitu syahdu, datar namun
sarat makna. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengajak kita semua untuk
sekedar menyelami makna yang terkandung didalam tembang-tembang mocopat
tersebut.
Macapat merupakan
tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul adalah pada awal jaman para
Wali Songo, dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan mengenalkan
Islam melalui budaya dan diantaranya adalah tembang-tembang macapatan ini.Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat serta Sunan Kudus adalah kreator awal
munculnya tembang-tembang macapat. Apabila diperhatikan dari asal-usul
bahasanya(kerata basa), macapat berarti maca papat-papat(membaca empat-empat).
Kalo berdasarkan jenis dan urutannya tembang macapat ini sebenarnya
menggambarkan perjalanan hidup manusia, tahap-tahap kehidupan manusia dari
mulai alam ruh sampai dengan meninggalnya.
Sebagaimana dalam
Al-qur’an disebutkan: “Latarkabunna Thobaqon An Thobaq”, “Sungguh kamu akan
menjalani fase demi fase kehidupan” Berikut ini penulis rangkaikan urut-urutan
dari jenis tembang mocopat :
1. Maskumambang, adalah gambaran dimana manusia masih di alam
ruh, yang kemudian ditanamkan dalam rahim/ gua garba ibu kita. Dimana pada
waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada ruh-ruh kita: “Alastu Bi
Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu itu ruh-ruh kita telah
menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa Allah Engkau adalah Tuhan kami)
dan kami semua menjadi saksinya”.
2. Mijil, merupakan
ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah
jabang bayi bernama manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di
Afrika, di Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi
yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir Saka
Sambikala. Dan bukan terlahir di Somalia, Etiopia atau negara-negara bergizi
buruk lainnya.
3. Sinom, adalah
lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
4. Kinanthi, masa
pembentukan jati diri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari
kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau
jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan
menuntut ilmu secara sungguh-sungguh.”Apa yang akan kita petik esok hari adalah
apa yang kita tanam hari ini”. “In Ahsantum, Ahsantum ILaikum, Walain Asa’tum
Falahaa”, “Jika kamu berbuat kebajikan maka kebajikan itu akan kembali padamu,
tapi jika kamu berbuat jahat itu akan kembali padamu juga”.
5. Asmarandana, menggambarkan masa-masa
dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara
artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati, meminjam istilahnya kang Ebiet
G.Ade dalam lagunya: “ Cinta Yang Kuberi Setulus Hatiku Entah Apa Yang Kuterima
Aku Tak Peduli”. Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian
dari tanda-tanda ke-Agungan-Nya. “…..Waja’alna Bainakum Mawwaddah Wa Rahmah,
Inna Fi Dzaalika La’aayatil Liqoumi Yatafakkaruun”. “…Dan Kujadikan diantara
kalian Cinta dan Kasih Sayang, sesungguhnya didalamnya merupakan tanda-tanda(Ke-Agungan-Ku)
bagi kaum yang berfikir”.
6. Gambuh, awal kata
gambuh adalah jumbuh / bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta
dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu
yaitu: “ Hunna Li Baasulakum, Wa Antum Libaasu Lahun”, “Istri-istrimu itu
merupakan pakaian bagimu, dan kamu adalah merupakan pakaian baginya”. Lumrahnya
fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan
dingin.Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi
satu sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam
naungan Ridlo-Nya.
7. Dhandhanggula, gambaran
dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah
tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang
piutang). Kurangi Keinginan Agar Terjauh Dari Hutang, sebab kata Iwan Fals: “
Keinginan adalah sumber penderitaan ”.Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa
syukur, yakni selalu bersyukur atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada
kita.
8. Durma, sebagai wujud dari rasa syukur kita
kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma berasal dari kata darma /
sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan empati sosial
kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi
kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap
kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita. “Barangsiapa mau meringankan beban
penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah akan meringankan bebannya
sewaktu di akhirat kelak”.
9. Pangkur, Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan
hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti jiwa kita.
Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah / upaya yang
sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari kita gembleng hati
kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi nafsu-nafsu angkara yang telah
mengotori dinding-dinding kalbu kita.
10. Megatruh,
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya
Ruh / Nyawa menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau
keabadian yang Celaka yaitu di Neraka). “ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, “
Setiap Jiwa Pasti Akan Mati “. “ Kullu Man Alaiha Faan “, “ Setiap Manusia
Pasti Binasa “. Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul
Qootimah) ataukah sebaliknya ? Seperti kematian Pujangga kita WS Rendra, disaat
bulan sedang bundar-bundarnya (bulan Purnama) ditengah malam bulan Sya’ban
tepat pada tanggal 6 Agustus atau tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Diatas
ranjang kematiannya, menjelang saat-saat Sakratul Mautnya dia bersyair: “ Aku
ingin kembali pada jalan alam, “ Aku ingin meningkatkan pengabdian pada Allah,
“ Tuhan aku cinta pada-Mu ”
11. Pocung, (Pocong / dibungkus kain mori putih) manakala
yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan /
mori putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan
jasad kita menuju liang lahat, rumah terakhir kita didunia. “ Innaka Mayyitun
Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan
mati”.
Semoga bermanfaat Doha, 4 April 2010 Wasalam Rudi Setiawan
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudisetiawan1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar