Jumat, 18 Desember 2015

Kelahiran

By. Nadirsyah Hosen

Kalau kelahiran seorang anak, baik anak sendiri atau anak orang lain, telah membuat kita bahagia, maka tidak mungkin kita tidak turut berbahagia ketika Bunda Aminah melahirkan Ahmad al-Musthafa.

Ketika perayaan hari kelahiran kolega dan handai taulan kita rayakan dengan berbagai acara sebagai tanda suka cita, maka tidak mungkin kita tidak turut merayakan hari kelahiran Muhammad yang Allah dan Malaikat pun bershalawat untuknya.

Ketika kita rayakan hari milad kita sendiri, tanpa bertanya mana dalilnya, tidak mungkin kita tidak merayakan maulid Nabi karena sibuk bertanya mana dalilnya.

Ketika kita merayakan hari kelahiran raja dan ratu serta pembesar lainnya, bahkan merayakan dengan suka cita hari kemerdekaan bangsa kita, hari perkawinan kita, hari di saat kita bersyukur mendapat rejeki berupa kelulusan sekolah, atau keberhasilan lainnya, atau kita rayakan momen penting untuk mereka yang berjasa seperti hari ibu, hari guru, hari pahlawan, maka tidak mungkin kita masih meragukan untuk sejenak berbahagia merayakan hari kelahiran Sang Nabi --yang jauh lebih berjasa, dan lebih pantas kita renungi makna kehadirannya.

Dan kita berdiri menyanyikan lagu kebangsaan, atau beranjak bangun dari kursi  ketika tamu kita datang, dan berdiri dengan sikap hormat terhadap bendera merah-putih atau bertemu pejabat, maka masih herankah kita ketika saat bacaan maulid kita berdiri seolah menyambut kehadiran Sang Rasul?

Lihatlah generasi muda sekarang yang begitu memuja para artis yang datang ke suatu acara, mereka berdiri sejak lama, gemetar dan dag-dig-dug hendak melihat artis pujaannya, banyak yang membawa bunga untuk diberikan atau sekedar kertas untuk ditandatangani, syukur-syukur bisa selfie bareng artis pujaan --mereka berteriak gembira bahkan menangis haru saat artis yang ditunggu tiba. Bagaimana kiranya kalau kita menunggu Sang Nabi hadir dalam perayaan maulid --bagaimana perasaan kita? Tentu melebihi dag-dig-dug, keharuan dan kegembiraan bertemu artis, bukan? Lantas apa yang aneh dengan maulid?

Kita hanya perlu sejenak membuka hati kita untuk memahaminya; tidak perlu teori canggih atau argumen panjang-lebar. Ini soal hati. Ini soal penghormatan. Ini soal kebahagiaan. Ini soal cinta. Ya, ini soal hati yang terbuka untuk sebuah cinta kepada Sang Nabi.  Begitu keraskah hati kita untuk bisa merasakan getar Muhammad dalam detak jantung kita?

Baluri kami dengan cintamu wahai Rasul
Agar sanggup kami tebarkan cintamu pada semesta yang penuh tipu muslihat ini
Genggam tangan kami wahai Rasul
Agar sanggup kami damaikan dunia yang tengah membara akibat merasa benar sendiri
Peluk kami dengan cahayamu wahai Rasul
Agar sanggup kami terangi kegelapan hati yang berlapis kecongkakan ini

Shalawat dan salam selalu tercurah untukmu
Marhaban
Marhaban
Marhaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...