Rabu, 04 Januari 2012

Muhammad bin Abdullah (1)

Sang Tatagatha Teragung
(Bagian 1: Masa Kanak-kanak hingga Pernikahan)
Meminjam istilah yang diucapkan oleh Siddharta Gautama:
Ia yang telah datang
Ia yang telah pergi
Ia yang telah mencapai Kebenaran
Ia yang telah mencapai Pencerahan Tertinggi
Ia yang berkata benar, bertindak benar, berpikir benar
Ia yang berada di Arahat (maqam) tertinggi
Ia yang telah mengajarkan bagaimana umat
Manusia dapat mencapai Kebenaran dan
Melepaskan diri mereka dari Samsara (siksa dunia dan akhirat)
Maka Sang Tatagatha Teragung bagi umat Islam
Itulah Muhammad bin Abdullah
Menjelang ke-6 M, bani Ismail telah menjadi suatu bangsa yang besar di Jazirah Arab sebagaimana janji Tuhan (Kitab Kejadian 17). Walaupun demikian, dapat dipastikan pada masa itu setelah lama jarak jauhnya dari masa hidup Ismail as yang menjalankan ajaran Tauhid dan liturgi sebagaimana Ibrahim, bangsa Arab banyak yang telah meninggalkan ajaran tauhid nenek moyangnya (kepaten obor) dan beralih mengamalkan paganisme. Hanya sedikit sahaja dari mereka yang masih mengamalkan ajaran Tauhid dan berada di Jalan Tauhid sebagaimana Ismail as.
Di antara suku-suku dalam bani Ismail adalah bani Kinanah, yang merupakan keturunan dari nabi Ilyas (Elijah) as. Dan, di antara bani Kinanah adalah bani Quraisy yang hidup di Makkah. Dan, di antara bani Quraisy adalah bani Hasyim. Bani Hasyim merupakan salah satu suku terhormat di antara suku-suku yang ada karena Qushai bin Kilab adalah nenek-moyang mereka yang bertugas menjadi penjaga Ka’bah. Tugas menjaga bait Allah yang diemban oleh bani Hasyim ini serupa dengan tugas yang diemban oleh bani Lewi dari bani Israil dari bani Ishak.
Di Makkah, Hasyim dikenal sebagai orang yang mulia, bijaksana, dan terhormat. Ia banyak membantu mereka, memulai perniagaan pada musim dingin dan musim panas supaya mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Atas jasa-jasanya, warga kota memberinya julukan “sayyid” (tuan). Julukan ini secara turun-temurun disandang oleh anak keturunan Hasyim. Setelah Hasyim, kepemimpinan bangsa Quraisy dipercayakan kepada anaknya yang bernama Muthalib, kemudian dilanjutkan oleh Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib adalah seorang yang berwibawa. Pada masa jabatannya, Abrahah Al-Habasyi menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah, namun berkat pertolongan Allah SWT, Abrahah dan pasukan gajahnya mengalami kekalahan. Tahun penyerbuan itu kemudian dikenal dengan nama Tahun Gajah (Al-Feel). Sejak peristiwa itu, nama Abdul Muthalib pun semakin terpandang di kalangan kabilah Arab. Abdul Muthalib mempunyai beberapa anak. Di antara mereka, Abdullah-lah anak yang paling saleh dan paling dicintainya.
Abdullah merupakan seorang penjaga Bait Allah di Mekkah, Ka’bah. Pada usia 24 tahun, Abdullah menikah dengan perempuan mulia bernama Aminah binti Wahab melalui perjodohan oleh ayahnya. Aminah adalah perempuan dari bani Zuhrah. Zuhrah adalah kakak dari Qushai bin Kilab. Umurnya pada saat menikah dengan Abdullah adalah 17 tahun. Dalam riwayat-riwayat sejarah, Abdullah digambarkan sebagai pemuda yang wajahnya bercahaya, yang menunjukkan bahwa dirinya kelak akan memiliki keturunan seorang teramat mulia sebagaimana telah dijanjikan oleh Tuhan (lihat Kitab Kejadian 17: 20).
Tidak lama setelah pernikahan mereka, maka Aminah pun mengandung. Sementara itu, Abdullah mendapat tugas pergi ke Syam (Suriah). Namun, dalam perjalanan pulang, Abdullah meninggal dunia.
Pada tahun 570 M, sekitar tanggal 12-17 Rabiulawal (seperti hari lahir di masa lalu sejarawan berbeda pendapat mengenai tanggal pastinya), Aminah melahirkan seorang putra yang diberi nama “Muhammad”. “Muhammad” berasal dari akar kata kerja “Hamada” (Arab) atau “Hamda” (Ibrani), artinya adalah ”untuk memuji, untuk memuliakan” (lihat Mazmur 106: 24 – dalam Alkitab berbahasa Ibrani).
Sebagaimana kisah kelahiran para nabi besar lainnya, kelahiran Muhammad bin Abdullah juga dalam riwayat-riwayat disertai dengan hal-hal yang luarbiasa. Alam semesta juga memberikan sambutan meriah akan lahirnya Muhammad. Pada hari itu, dikabarkan bahwa berhala-berhala berjatuhan; “kasra verandah” yaitu suatu bagian dalam Istana Raja Persia berguncang dan empatbelas dari takiknya rusak; Danau Saweh tempat orang memuja dewa selama bertahun-tahun mengering; air menggenang mengalir di Gurun Samaweh setelah bertahun-tahun tiada air; api di Kuil Persia padam setelah bertahun-tahun berkobar; pada malam lahirnya, semacam cahaya (atau barangkali bintang berekor) muncul dari Hijaz dan menyebar ke Timur.
Pada saat bayi, sesuai tradisi masyarakat (bangsawan) di kota Mekkah, Muhammad dikirim kepada seorang ibu susu di daerah pedesaan untuk ditempa sebagai bocah Arab yang mahir berbahasa Arab, mengenal kehidupan gurun, dan mengenal arti kebebasan. Ibu susu yang terpilih bagi Muhammad adalah wanita dari bani Sa’ad bernama Halimah binti Abu Dhuaib. Bani Sa’ad merupakan salah satu baduy dari bani Qais yang hidup di pedesaan yang hawanya bersih dan cocok untuk pertumbuhan seorang balita. Menurut riwayat, keluarga Halimah binti Abu Dhuaib memperoleh banyak berkah berkat menjadikan Muhammad anak susuannya. Seperti berkah ternak yang subur, yang menyebabkan mereka dilimpahi kesejahteraan.
Pada waktu berumur lima tahun, Muhammad kembali hidup bersama ibunya. Ketika berumur enam tahun, Aminah membawa Muhammad untuk mengunjungi kaum kerabatnya di Madinah dan juga dalam rangka untuk berziarah ke makam suaminya. Namun, dalam perjalanan kembali ke Mekkah, Aminah wafat di suatu tempat bernama Abwa. Maka, pada umur enam tahun genaplah sudah Muhammad menjadi seorang yatim piatu.
Sejak kanak-kanak, Muhammad telah menunjukkan sikap yang mulia. Maka, di samping juga karena peristiwa-peristiwa menakjubkan semasa lahirnya, Abdul Muthalib kakeknya memberikan perhatian khusus kepadanya. Beliau-lah yang mengasuh Muhammad sepeninggal ibunya. Karakter istimewa beliau ditegaskan oleh pamannya, Abu Thalib, yang menyatakan bahwa Muhammad semasa kecil tidak pernah berbuat nakal, berbohong, berbicara kasar dan seenaknya, tertawa berlebihan bahkan dia sepanjang waktu lebih banyak menyendiri (tapa ngrame).
Sesungguhnya, sebagian umat Yahudi yang mendalami Alkitab pada masa itu telah mengetahui kenabian Muhammad. Diriwayatkan, pada waktu Muhammad berumur tujuh tahun, mereka mengatakan “Dalam kitab-kitab suci kita, dinyatakan bahwa seorang Nabi tidak diperkenankan makan dari sebarang makanan yang secara agama diharamkan atau pun diragukan kehalalannya. Sekarang, mari kita mengujinya.”
Maka, mereka mencuri seekor ayam betina dan mengirimnya kepada keluarga Abu Thalib. Dan, keluarga Abu Thalib mengajak Muhammad makan bersama mereka. Mereka semua menikmati ayam pemberian orang-orang Yahudi itu, kecuali Muhammad. Tatkala ditanyakan mengapa Muhammad tidak mau makan, bahkan mencicipinya pun tidak mau, beliau menjawab bahwa Allah telah melarangnya makan ayam tersebut dan Allah melindunginya dari segala sesuatu yang dilarang Allah untuknya. Mendengar jawaban Muhammad tersebut, orang-orang Yahudi itu lantas berkata bahwa Muhammad adalah seorang berkarakter sangat istimewa dan kelak akan menduduki posisi sangat istimewa pula.
Pada waktu umur Muhammad delapan tahun, Abdul Muthalib wafat dan perwalian Muhammad diserahkan kepada Abu Thalib, saudara kandung seayah dan seibu Abdullah, ayah Muhammad. Beliau adalah seorang bani Hasyim yang dihormati. Bersama istrinya, Fatimah binti Asad, Abu Thalib merawat dan mengasuh Muhammad dengan baik. Hubungan Muhammad dengan pamannya Abu Thalib seperti hubungan dengan ayahnya sendiri, juga sahabatnya sendiri. Hubungan mereka teramat dekat sehingga Abu Thalib senantiasa enggan berpisah dari Muhammad. Fatimah binti Asad mengungkapkan berkah yang dibawa Muhammad ke dalam rumah tangganya, diantaranya adalah pohon-pohon yang tadi kering kerontang di halaman rumah mereka, sejak Muhammad menjadi anak mereka pohon-pohon telah subur berbuah kembali.
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad selalu berdoa dan sembahyang sepanjang malam (sebagaimana yang dilakukan kaum Hanif di kalangan Bani Ismail). Bahkan, kendati sudah tak lazim lagi pada masa itu di kalangan orang Arab (Bani Ismail) untuk berdoa sebelum serta setelah makan dan minum, Muhammad melakukannya setiap makan dan minum.


Convent of Bahira Monastery
Alkisah, suatu ketika saat melakukan perjalanan bisnis ke Damaskus, Suriah, Abu Thalib membawa serta Muhammad yang pada waktu itu berumur 12 tahun dalam rombongan serta karavan mereka yang besar. Tatkala mencapai kota Busrah, di daerah sekitar suatu biara Kristen, mereka membangun tenda untuk beristirahat.
Bahira, salah seorang biarawan Kristen yang taat, menyadari pemandangan tenda-tenda itu dari balik jendela biaranya. Dia memandangi dengan heran gulungan awan besar memayungi rombongan tenda dan karavan itu. Lalu, ia pun memanggil salah satu dari pembantunya, ”Pergilah, beritahu mereka bahwa mereka semua adalah tamuku.”
Maka, rombongan itu pun datang kepadanya, kecuali Muhammad. Melihat gulungan awan telah menghilang dari rombongan itu, Bahira bertanya kepada para tamunya, ”Apakah semua anggota rombongan kalian sudah hadir di sini?”
Tamunya menjawab bahwa semua sudah hadir kecuali seorang anak muda di antara mereka. Maka, Bahira meminta supaya anak muda itu juga ikut serta bersama mereka. Kemudian Muhammad pun ikut ke dalam ruangan bersama Bahira. Pada saat Muhammad menuju dirinya, Bahira memerhatikan bahwa gulungan awan seakan-akan terus bergerak menaungi Muhammad dan sekarang berada juga di atas kepalanya. Bahira merasa takjub, sehingga tak henti-hentinya menatap Muhammad.
Maka Bahira pu n menjamu mereka. Setelah usai makan, biarawan taat itu berkata kepadanya, ”Aku punya pertanyaan untukmu, dan engkau mesti menjawab dengan bersumpah atas nama Lat dan Uzza untuk menjawabku.”
Muhammad saw menjawab, ”Dua nama yang engkau sebut untuk kubersumpah atas namanya adalah yang paling menjijikkan bagiku.” Maka, Bahira berkata, ”Bersumpahlah demi Allah untuk menjawabku.”
Muhammad saw menjawab, ”Aku selalu berkata kebenaran, dan aku tidak pernah berdusta; tanyakanlah apa yang hendak ditanyakan.”
Bahira bertanya, ”Apa yang paling kau sukai?”
Muhammad menjawab, ”Kesendirian.”
Bahira bertanya, ”Apa yang paling sering kau amati dan paling suka kau amati?”
Muhammad saw menjawab, ”Langit dan bintang-bntang padanya.”
Bahira bertanya, ”Apa yang kamu pikirkan tentangnya?”
Muhammad saw diam, tetapi Bahira secara hati-hati memandang sekilas dahinya.
Bahira bertanya, ”Kalau begitu, kapan kamu tidur dan dengan pikiran apa?”
Muhammad saw menjawab, ”Tatkala mataku tertuju ke langit, aku melihat bintang-bintang dan aku menemukan mereka dalam pangkuanku, dan diriku sendiri di atas mereka.”
Bahira bertanya, ”Apakah kamu melihat dalam mimpi juga?”
Muhammad saw menjawab, “Apapun yang kulihat dalam mimpi, itulah yang sama kulihat saat aku bangun.”
Bahira bertanya, ”Apa sajakah yang kau mimpikan, sebagai contoh?”
Muhammad saw terdiam, begitu pun Bahira.
Setelah senyap sejenak, Bahira bertanya lagi, “Bolehkah kulihat bagian tengah (pusat) pada kedua bahumu?
“Marilah tengok,” jawab Muhammad saw sambil berdiri. Kemudian, berdirilah Bahira, mendekat kepada Muhammad dan mengangkat pakaian Muhammad yang menunjukkan kedua bahunya. Suatu tanda tahi lalat tampak. Bahira memandanginya, dan kemudian berkata dengan menggumam, “Inilah orangnya.”
Bahira membungkuk di depannya, mulai menciumi tangan dan kakinya seraya berkata, “Jikalau aku masih hidup sampai engkau memulai tugas keIllahianmu, aku akan sangat setia menolong engkau dan melawan musuh engkau. Engkau adalah yang terbaik di antara semua keturunan Adam.”
Kemudian, Bahira bertanya, “Putera siapakah pemuda ini?” Para anggota rombongan kafilah menjawab dengan menunjuk kepada Abu Thalib. “Putranya.” Bahira berkata, “Tidak. Ayahnya pastilah sudah wafat!”
Abu Thalib berkata, “Engkau benar. Dia adalah keponakanku.” Bahira kemudian berkata, ”Tuan, pemuda ini kelak akan memiliki masa depan cemerlang dan sama sekali luarbiasa. Jikalau kaum Yahudi mengetahui bahwa aku menyadari siapa dirinya, maka mereka akan berupaya untuk menghancurkannya. Jagalah dia baik-baik, jangan sampai kaum Yahudi menyakitinya.”
Abu Thalib berkata, ”Dia ditakdirkan untuk apa? Apa yang akan dilakukan kaum Yahudi kepadanya?”
Bahira menjawab, ”Dia ditakdirkan untuk menjadi seorang Mulia, dan para malaikat pengilham akan selalu turun kepadanya dan kemudian akan mengirimkan wahyu-wahyu Illahi kepadanya.” (Lihat Kidung Agung 5:16 dalam bahasa Ibrani ~ Mahammad ~ lihat link youtube di bawah)
Maka, Abu Thalib menjawab dengan tenang, ”Jika begitu, maka Allah tidak akan membiarkannya sendirian dan Dia sendirilah yang akan melindungi Muhammad dari kaum Yahudi dan musuh-musuh kejam lainnya.”
Hatta, kendati Abu Thalib merupakan pemuka Quraish, tetapi dia bukan orang yang kaya raya. Oleh karena Muhammad telah mulai beranjak dewasa, maka ia pun haruslah mulai bekerja untuk menolong ekonomi keluarga.
Pekerjaan mula-mula yang dijalankan oleh Muhammad adalah sebagai penggembala. Tampaknya ini adalah suatu pekerjaan yang dilakoni hampir semua nabi besar dalam sejarah. Ada makna mendalam dalam tugas penggembalaan. Demikianlah Muhammad menjadi penggembala ternak kerabatnya dan upahnya diberikan kepada pamannya, Abu Thalib. Sebagai penggembala, Muhammad muda mempelajari banyak hal berharga guna tugas kenabian dan kepemimpinannya kelak, seperti kesabaran, toleransi, kejujuran, dan kesederhanaan. Musim demi musim berganti, tahun demi tahun berlalu, arakian kini Muhammad menjadi seorang pemuda yang cemerlang karena karakternya. Beliau pun digelari al-Sadiq (Yang Benar) dan al-Amin (Yang dapat dipercaya) oleh masyarakat di Mekkah.
Arakian, pada masa itu Khadijah binti Khuwailid merupakan seorang gadis kaya raya yang mewarisi bisnis ayahnya, Khuwailid bin Asad, saudagar kaya dari bani Hasyim. Khadijah juga kemudian menjadi pengusaha muda yang sukses seperti ayahnya. Beliau dikenal sebagai Putri Quraish, seorang perempuan dari kalangan Hanif, dermawan, dan mempunyai posisi yang tidak lazim bagi seorang wanita Arab muda pada zaman itu, yaitu dihormati dan disegani.
Khadijah mendengar perihal karakter Muhammad, dan melalui pembantunya, Khadijah merekrut Muhammad untuk menolongnya menjadi wakil dagangnya ke luar negeri. Muhammad pun melakukan beberapa kali perjalanan ke luar negeri sebagai utusan perusahaan Khadijah.
Alkisah, suatu saat Muhammad melakukan perjalanan ke Damaskus. Pada waktu itu umurnya kira-kira 23 tahun. Khadijah telah meminta pembantunya Maysara agar melayani Muhammad dengan baik. Dalam perjalanan ini, Muhammad lagi-lagi berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani, yang memberitahukan akan nubuat tentang dirinya dan bagaimana kelak ia akan menikah serta keluarganya.
Sepulang dari Damaskus, Maysara pun menceritakan kepada puannya secara detail mengenai kesuksesan perjalanan bisnis mereka, termasuk tentang karakter Muhammad saw yang mengagumkan sepanjang perjalanan. Juga diceritakan tentang nubuat dari seorang Yahudi yang terpelajar mengenai karakter Illahiyahnya dan perkawinananya dengan seorang wanita terhormat di kalangan bani Quraish. Mendengar cerita Maysara, Khadijah merasa sangat berbunga-bunga. Sejak semula mendengar cerita tentang Muhammad, hatinya telah terpaut dan tertawan kepada Muhammad.
Ada yang mengatakan bahwa Khadijah bukan hanya dari kalangan bani Ismail yang Hanif, melainkan juga seorang penganut Nasrani. Tetapi jika yang dimaksud adalah kalangan Nasrani yang mengikuti segala ajaran Yesus as di Jalan Tauhid, itu merupakan hal yang tidak mustahil, juga bukan berarti Nasrani atau Kristen dalam pengertian saat ini.
Pada abad ke 6 M, suasana Kristenitas masih tergolong sebagai Masa Kristen Purba, atau Gereja-gereja Perdana, yang terdapat banyak sekali sekte-sekte atau kelompok-kelompok Nasrani yang berbeda satu sama lain secara signifikan seperti dogma Trinitas dalam Kristianitas. Lagipula Konsili Nikea I (320 M) yang berusaha mempersatukan umat Kristen dalam satu dogma dan kredo hanya dihadiri oleh 220 dari sekitar 1800 uskup atau biara yang diundang.
Pemikiran ini, tentang spiritual Khadijah, muncul berdasarkan riwayat bahwa Khadijah biasa berkonsultasi dengan pamannya, Waraqa bin Nawfal, seorag pendeta. Suatu ketika Waraqa mengatakan adanya nubuat tentang nabi akhir, dan tentang nubuat berita baik akan pernikahan nabi tersebut dengan Khadija. Hal ini menambah hatinya berseri-seri. Namun, untuk mengajukan lamaran kepadanya juga tentu dapat langsung dilakukan.
Melalui sahabatnya Nafisa, Khadijah mencurahkan isi hatinya. Dan singkat cerita, Nafisa kemudian menjadi ”perantara” di antara Khadijah dengan Muhammad. Muhammad sendiri pada mulanya menganggap mustahil dapat menikah dengan gadis sekaya Khadijah yang telah menolak banyak lamaran kaum aristokrat dan konglomerat Arabia pada masa itu. Namun, Nafisa berjanji untuk mengaturnya. Sementara itu, Muhammad berurun rembug dengan paman-pamannya tentang pernikahan ini. Mereka gembira mendengar berita baik ini dan merestuinya.
Demikianlah, akhirnya Muhammad bin Abdullah menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, seorang gadis berumur 25 tahun (walau terdapat versi sejarah lain). Mereka mengarungi bahtera rumah tangga selama 25 tahun sebagai keluarga sakinah mawaddah warahmah. Menurut banyak peneliti terkini, pasangan mulia ini hanya dikaruniai seorang putri yaitu Fatimah Az-Zahra.
Pada masa itu pula, Muhammad, bersama pamannya yang lain seperti Hamzah (paman Muhammad yang lain) menolong pamannya Abu Thalib yang berada dalam kesulitan ekonomi dengan mengasuh salah satu putra Abu Thalib. Hamzah memilih salah satu putra Abu Thalib. Kemudian Muhammad mengambil Ali, lalu berkaata, ”Aku memilih putra yang dipilih oleh Allah untukku.”
Khadijah (pbuh) merupakan wanita pertama yang beriman terhadap Wahyu Illahi yang diturunkan kepada Muhammad. Sedangkan Ali bin Abi Thalib, karena tinggal di rumahnya, juga menjadi laki-laki pertama yang menerima Wahyu Illahi tersebut. Barulah kemudian diikuti oleh beberapa kalangan bani Ismail yang Hanif.
Selama hidupnya Khadijah merelakan seluruh jiwa dan raganya serta harta bendanya untuk mendukung Muhammad. Beliau wafat pada tahun 619 M sekitar sepuluh tahun setelah Wahyu Illahi yang pertama.
http://duniachenchen.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...