Rabu, 12 Maret 2014

Menangkal Rasa Kecewa







Hore!
Hari Baru, Teman-teman. 
 
Kalau disakiti atau dikecewakan oleh orang lain, apa yang Anda lakukan? Diam saja? Atau melakukan pembalasan? Kalau Anda tidak membalas, kenapa? Memang tidak mau membalas, ataukah karena Anda tidak mampu membalasnya? Beda jauh loh. Kalau kita tidak membalas karena memang tidak mau tentu hati kita plong ketiplong. Ringan aja rasanya. Memang nggak mau membalas kok. Gak ada beban lagi kan? Tapi perasaan kita tidak mungkin bisa seenteng itu jika ingin membalas namun tidak mampu melakukannya. Sudah disakiti oleh orang itu, eh kita menyakiti diri sendiri pula dengan keinginan untuk membalas yang tidak kesampaian. Kalau Anda, kenapa tidak membalas?

Saya sudah mengajukan pertanyaan ini kepada cukup banyak orang; “Apakah Anda pernah dikecewakan oleh orang lain?” Ternyata, orang dewasa pada umumnya menjawab ‘pernah’. Yang menarik dari riset kecil itu adalah ini; ada beberapa orang yang mengatakan ‘tidak pernah’. Kenapa menarik? Karena dalam proses interaksi yang sedemikian intensnya, orang-orang – yang jumlahnya sedikit ini – tidak pernah dikecewakan orang lain. Jika benar demikian, tentu kita ingin memiliki hubungan ideal seperti itu kan? Tentu. Karena dikecewakan itu pasti tidak enak rasanya.

Lantas, kepada mereka yang ‘tidak pernah dikecewakan orang lain’ ini saya bertanya; “Apakah Anda pernah merasa kecewa?” Biasanya, orang yang saya tanya berpikir dulu. Kadang ada bunyi “emmh…..” keluar dari bibirnya sebelum memberikan jawaban. Hal ini menandakan bahwa didalam dirinya ada proses ‘konfirmasi’ atas jawaban sebelumnya. Bagaimana pun juga, jawaban atas pertanyaan kedua ini mesti sejalan dengan jawaban yang sudah diberikan atas pertanyaan pertama tadi.

Saya sering menemukan bahwa; kita kadang tidak memahami bedanya ‘dikecewakan’, dengan ‘rasa kecewa’. Hal ini terbukti dari orang-orang yang awalnya mengatakan ‘tidak pernah dikecewakan oleh orang lain’ lalu meralatnya. “Bukannya tidak pernah dikecewakan sih,” demikian katanya. “Tapi, ya udah nyantai aja. Jadinya kita tidak merasa kecewa.” Begitu lanjutnya.

Dari eksperimen ini, kita bisa lebih memahami bahwa selama berinteraksi dengan orang lain, hampir tidak mungkin tidak pernah dikecewakan orang lain. Karena faktanya, kita tidak selalu bisa ‘menyeleksi’ orang-orang yang kita anggap tidak akan mengecewakan kita. Istri atau suami, misalnya. Bukankah mereka itu adalah pilihan terbaik kita? Perempuan memilih satu diantara jutaan lelaki untuk menjadi pasangan hidupnya. Dan pilihan itu dibuat, dengan keyakinan bahwa lelaki itu tidak akan mengecewakannya. Lelaki pun sama. Memilih perempuan terbaik diantara jutaan perempuan yang ada.

Apalagi kalau cuman teman biasa, kan? Kita, terbuka untuk berinteraksi dengan siapa saja. Padahal, ketika berinteraksi dengan orang lain itu; terbuka peluang atau kemungkinan jika orang itu akan mengecewakan kita. Tentu, tidak semua orang mengecewakan kita. Tapi, ada saja yang begitu kan ya? Makanya, setelah mendapatkan pertanyaan kedua tadi; hampir semua – jika tidak bisa disebut 100% – orang yang saya tanya menyatakan bahwa benar, dirinya pernah dikecewakan oleh orang lain.

Yang membedakannya adalah; ada orang yang ‘menyimpan’ kekecewaan itu dalam hatinya, dan ada yang tidak. Nah, yang menyimpan kekecewaan itulah yang secara spontan menjawab ‘pernah dikecewakan’ oleh orang lain. Sedangkan orang yang tidak menyimpan kekecewaan itu, bahkan ‘tidak ingat’ jika dirinya pernah dikecewakan. Dari temuan ini, kita bisa menarik pelajaran bahwa kecewa atau tidaknya kita tidak ditentukan oleh sikap atau perlakuan orang lain kepada kita. Melainkan, oleh ‘bagaimana kita mengelola perasaan’.

Orang-orang yang tidak kecewa itu, ternyata bukannya tidak pernah dikecewakan. Malah ada yang bilang:”Woooaah, itu mah sudah makanan sehari-hari dong Kang Dadang….”. Sering banget teman kita itu dikecewakan. Tapi, perlakuan mengecewakan itu sama sekali tidak menjadikan dirinya kecewa. Sementara ada diantara kita yang dikecewakan oleh orang lain puluhan tahun lalu, tapi rasa kecewa itu masih bersemayam didalam hatinya. Sehingga meski waktu sudah berjalan sedemikian jauh, rasa sakitnya terasa masih segar dalam ingatan batinnya.

Saya tidak akan meminta Anda untuk memilih. Mana yang Anda sukai; membiarkan rasa kecewa itu terus menerus menyakiti hati Anda, atau merelakannya. Selain Anda sudah dewasa, saya juga tidak memiliki kepentingan apa-apa atas pilihan hidup yang Anda buat. Dan saya, tidak ingin ikut campur soal itu. Lagi pula, saya sendiri pun memiliki banyak hal yang mesti saya beresin secara pribadi kan? Kita semua mempunyai PR masing-masing pastinya.Yang akan saya minta untuk Anda lakukan sekarang adalah; dua hal ini saja:

Satu, mengurangi sikap, tindakan dan perilaku yang bisa membuat orang lain kecewa. Karena, belum tentu orang itu bisa menerima perlakuan kita secara lapang dada. Boleh jadi, kekecewaan yang kita buat itu dibawa-bawanya sepanjang hayatnya. Bayangkan, betapa banyak doa buruk yang diucapkannya untuk kita. Jika Tuhan mengabulkan doa buruknya itu; bisa dibayangkan apa dampaknya pada hidup kita? Kalaupun kita tidak mendapatkan balasan semasa hidup, mungkin semua amal baik kita ludes digunakan untuk menutupi sakit hati mereka. Rugi kan kita?

Yang kedua, memaafkan orang-orang yang telah mengecewakan kita. Dengan memaafkan itu, semua beban berat dalam hati kita akan dengan sendirinya pergi menjauh. Semakin kita memaafkan, semakin memudar semua kekecewaan, dan semakin ringan kita punya perasaan. Jika masih ada perasaan berat dalam hati kita, mungkin kita belum benar-benar memaafkan. Karena jika kita sungguh memaafkan, semuanya kita serahkan kepada Tuhan. Urusannya, sudah bukan urusan kita lagi. Biarkan saja Tuhan mengambil alih urusan itu. Sementara kita, memfokuskan diri kepada apa yang mesti kita lakukan hari ini. Demi meraih masa depan yang lebih baik dan lebih menyenangkan.

Dengan begitu, maka hidup kita akan tetap berasa nikmat. Meskipun kita tidak selalu bisa terhidar dari perilaku orang lain yang tidak sejalan dengan keinginan kita. Baik di rumah. Di lingkungan bertetangga. Maupun ditempat kerja. Dimana pun, kita akan asyik dan baik-baik saja. In sya Allah.
  
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman – 12 Maret 2014
Author, Trainer, and Professional Public Speaker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...