Senin, 10 Maret 2014

Bedah Buku “MUI” versi Ukhuwah





Di tengah maraknya bedah buku yang (konon) diterbitkan MUI,  ‘Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia’ (MMPSI) yang penuh hujatan kebencian, Pesantren Babussalam (Ciburial, Bandung) mengadakan acara serupa, namun dengan tujuan ukhuwah pada hari Ahad (9/3) lalu.
Acara ini diawali dengan pelaksanaan istighatsah yang memang rutin dilakukan setiap Ahad pekan pertama di pesantren ini. Tepat pukul 9.30, diskusi buku dimulai dengan dipandu oleh Ustadz Fajruddin Muchtar yang juga merupakan pengurus yayasan dan pesantren Babussalam. Pembicara yang hadir dalam acara ini adalah Dr. Izzuddin Mustafa (mewakili MUI Jawa Barat), Ustadz Babul Ulum M.Ag (narasumber dari Syiah), Dr. Mujiyo Nurcholis M.Ag (narasumber NU), Dr. Fadhlullah M. Said, MA (perwakilan dari Yayasan Babussalam), dan KH. Drs. Muchtar Adam (Pimpinan Pesantren Al Quran Babussalam).

MUI: Syiah Sesat?
Pembicara pertama Dr. Izzuddin mengawali pembicaraan dengan menyebutkan bahwa dirinya seperti kejatuhan pekerjaan orang. “Harusnya, yang diundang adalah penulis buku, bukan orang lain. Namun karena mendapat amanat dari ketua MUI, saya bersedia hadir dalam acara ini,” katanya.
Dr. Izzuddin  menyampaikan amanat yang didapat dari Ketua MUI Jabar bahwa buku MMSI adalah merupakan suara resmi MUI.  Kemudian, dia membahas beberapa isu tentang Syiah dengan mengulangi hal-hal yang tercantum dalam isi buku, tanpa keluar sedikit pun. Dr. Izzuddin menutup pembicaraannya dengan menyebut bahwa Syiah adalah aliran sesat yang mesti diwaspadai. Alasannya (kembali mengutip isi buku), MUI khawatir perkembangan Syiah akan mengancam keutuhan NKRI karena orang-orang Syiah bercita-cita untuk mendirikan negara model Iran. Jika Syiah berkuasa, maka akan terjadi seperti apa yang berlaku di Suriah: pembantaian orang Sunni oleh orang Syiah.

Agenda Global: Memecah Belah Muslim
Pernyataan ini kemudian mendapatkan tanggapan dari Ustadz Babul Ulum, penulis buku “Merajut Ukhuwah dan Memahami Syiah”.
“Yang terjadi di Suriah, bukan orang Syiah membunuh Sunni tapi kenyataan bahwa Bashar Assad yang tidak mau tunduk kepada hegemoni Barat,” tandasnya.

Grand Mufti Suriah (serban putih) sholat di samping Persiden Assad

Ustadz Babul Ulum menjelaskan, Assad adalah orang Sunni, mufti-mufti Suriah juga adalah orang Sunni, tak satupun yang Syiah. Beliau juga mengingatkan bahwa ada agenda global untuk memecah belah kaum Muslimin. Mengadu domba umat dengan isu Sunni-Syiah adalah cara yang paling mudah serta membawa hasil yang sangat cepat dan destruktif. Oleh karena itu, beliau menyerukan agar agar kaum Muslimin secara cerdas menyaring informasi yang sampai kepada mereka.
Selain itu, Ustadz Babul Ulum juga menyebutkan bahwa  buku MMPSI tidak bisa dikatakan keputusan resmi MUI. Sebab dalam buku itu tidak ada surat resmi dari MUI.
“Buku MMPSI hanya merupakan ajang provokasi memecah belah umat dan ajang mencari uang dari pihak-pihak yang memang sedang gencar juga membiayai diskusi-diskusi menyerang Syiah,” tegasnya.

Al Quran Syiah Berbeda?
Lebih lanjut, Ustadz Babul Ulum menyebutkan bahwa semua tuduhan dalam buku itu adalah bohong. Misalnya, isu soal Al Qur’an umat Syiah yang berbeda.
Ustadz Babul Ulum mengatakan, “Saya  berani menemani Anas digantung di Monas jika ditemukan Al Quran Syiah yang berbeda dengan yang terdapat di kalangan kaum muslimin.”  Ucapannya itu langsung disambut tawa oleh para jamaah.
Pernyataan Ustadz Babul Ulum mendapatkan konfirmasi dari KH. Muchtar Adam. Beliau menunjukkan Al Quran yang dicetak dan dibeli langsung dari Iran.
Kata Pak Kyai, “Pernah ada orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an Syiah itu beda, lalu Pak Kyai suruh dia membaca Al Quran dari Iran ini. Setelah khatam, orang itu mengatakan bahwa Al Qur’annya sama.”
Oleh karena itu, Kyai Muchtar Adam sangat menekankan pentingnya tabayun (konfirmasi atau meminta penjelasan) dan menambah ilmu. Pak Kyai juga mengingatkan jamaah agar waspada terhadap upaya pemecahbelahan yang dilakukan musuh-musuh Islam. Beliau mengutip Surat Ali Imran ayat 100.  Asbabun nuzul ayat itu adalah peristiwa hampir berperangnya kaum muslimin akibat propaganda seorang Yahudi bernama Syasy bin Qais. Pak Kyai mengatakan bahwa fitnah model Syasy ini akan terjadi sepanjang masa. Itulah sebabnya, ketika membaca buku MUI yang memecah belah umat ini, beliau menyatakan sangat sedih, bahkan menangis.
KH. Muchtar Adam kemudian menceritakan pengalamannya ketika beberapa kali berkunjung ke Iran. “Di Iran, orang-orang Sunni yang memang minoritas mendapat jaminan keamanan dan perlindungan pemerintah. Orang Sunni dan minoritas lainnya malah mendapat jatah gratis kursi di parlemen. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Baru saja ada orang Syiah yang mau mencalonkan jadi anggota DPR, orang ramai-ramai menjegal,” jelas Pak Kyai.
Terakhir, KH. Muchtar Adam juga menegaskan bahwa Pesantren Babussalam dan dirinya bukanlah orang Syiah.  Beliau pibadi mempelajari beberapa aspek Syiah, termasuk tafsir Quran yang ditulis ulama Syiah dengan tujuan keilmuan dan komitmen terhadap persatuan ummat Islam. Dalam keyakinan Pak Kyai, perpecahan umat harus dijembatani melalui peningkatan keilmuan.
“Seperti naik ke puncak gunung, semakin naik, semakin luas pandangan yang dilihat,” kata Pak Kyai.

Hadis Sunni-Syiah Saling Melengkapi
Salah satu poin yang diangkat Dr. Izzuddin adalah orang Syiah tidak mau menerima hadis dari kalangan Sunni. Ustadz Babul Ulum menjawab pernyataan ini dengan mengatakan bahwa banyak sekali hadis Sunni yang dipakai oleh Syiah dan juga sebaliknya. Ustadz Babul Ulum merujuk pada disertasi Dr. Fadhlullah yang meneliti tentang hadis-hadis Sunni yang terdapat dalam Tafsir Al Mizan.
Dr. Fadhlullah, lulusan UIN Jakarta, yang juga menjadi pembicara, menilai bahwa bahwa buku MMPSI tidak bisa disebut sebagai buku ilmiah karena banyak kelemahan, di antaranya tidak adanya batasan masalah yang akan dibahas. Akibatnya buku ini terasa mengambang saking luasnya tema yang dibahas. Kemudian tidak ada pembanding dari pihak tertuduh –dalam hal ini kaum Syiah. Akibatnya, sumber dan data yang tertuang hanya dipilih yang memojokkan Syiah saja, dan itu pun belum disetujui/diakui kebenarannya oleh kaum Syiah.
Selanjutnya Dr. Fadhlullah mengatakan bahwa tujuan diadakannya diskusi semacam ini adalah sebagai mana termaktub dalam surat Hud ayat 88, di mana Nabi Syueib as mengatakan bahwa dia tidak bermaksud apa-apa kecuali perbaikan.
“Diskusi ini juga sebagai media tabayun antara satu pihak penuduh dengan yang dituduh secara adil,” tegas Fadhlullah.

Upaya Merajut Ukhuwah
Sementara itu, Dr. Mujiyo memaparkan bahwa dalam sudut pandang NU, untuk menganggap sesat kelompok Muslim perlu diperjelas dari aspek manakah kesesatannya; apakah sesat secara total ataukah sesat pada aspek tertentu dan tidak sesat pada aspek lain. Menurutnya, untuk mempelajari Syiah lebih detail, ada beberapa kategori, yaitu Syiah teologi, Syiah politik, Syiah fikih, dan Syiah tasawuf. Dari aspek teologi dan politik, pendirian NU jelas yaitu menghukumi sesat orang yang berpendapat bahwa ada wahyu setelah Rasulullah Saw dan menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.  Jika kaum Syiah Indonesia tidak demikian, tentu mereka tidak sesat, kata penulis tesis “Hadis-hadis Imamah dalam Shahih Al Bukhari dan Al Kafi dalam Perspektif Ilmu Hadis Dirayah” ini.
Menurut Mujiyo, dari aspek fikih, khususnya madzhab Ja`fari, secara metolologi sangat dekat dengan Sunni, mengingat Ja`far al-Shadiq adalah guru Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Madzhab Maliki lebih dekat dari pada mazhab Hanafi, mengingat madzhab Maliki dan madzhab Ja`fari sama-sama ahli hadits (atsari, tekstualis), sedangkan madzhab Hanafi dikenal sebagai ahli ra’yi (rasionalis). Sementara madzhab Syafi`i disebut-sebut sebagai madzhab moderat yang menjembatani antara kedua kubu tersebut.
Ada yang menarik dari paparan Dr. Mujiyo, yaitu bahwa sejak dulu sudah ada upaya untuk rekonsiliasi Syiah dan Sunni. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Imam Ja’far Shadiq dan Umar bin Abdul Aziz yang berkomitmen menghentikan cacian kepada Ali dan Ahlul Bait. Sehingga di masa itu, akhir khutbah Jumat yang biasanya diisi cacian kepada Imam Ali, diganti dengan pembacaan surat An Nahl ayat 90. Sayang upaya rekonsiliasi itu dihalangi oleh pihak-pihak antipersatuan sehingga pada masa Abbasiyah, cacian dan makian kepada kaum Syiah kembali merebak.

Di akhir diskusi buku yang dihadiri hampir 200 jamaah ini, diadakan sesi dialog. Salah satu peserta diskusi, KH. Ahmad Rifai, seorang ahli qiraah dari Bandung, menilai bahwa acara yang dilaksanakan sangat bagus dan dapat membantu umat memahami perbedaan secara seimbang. Dr. Izzudin Mustafa pun menyebut bahwa dialog memang harus dibangun dan apa yang terjadi dalam diskusi buku hari itu sudah pada jalurnya. “Sebab biasanya dialog seperti ini hanya berisi hujatan dan vonis sesat kepada Syiah tanpa orang Syiah bisa membela diri karena memang tidak diberi jatah untuk membela dirinya,” kata Izzuddin.
Fahmi Zainuddin, salah seorang peserta diskusi berkomentar, “Saya baru mengetahui bahwa banyak hadis-hadis Syiah yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Sunni dan banyak hadis-hadis Sunni yang diriwayatkan oleh ulama Syiah.  Oleh karena itu ummat harus cerdas, jangan menjustifikasi satu golongan yang sesat sebelum melakukan penelitian agar tak mudah diprovokasi.”

Ustadz Fajruddin kemudian menutup diskusi itu dengan kalimat-kalimat puitis ala Mata Najwa :

Jika perbedaan  sebuah keniscayaan maka madzhab adalah kekayaan.

Jika keragaman adalah keindahan mengapa mesti ada pertengkaran?

Bersatu bukan berarti menyamakan tapi penghormatan satu sama lain, saling menguatkan, saling memajukan.


Syiah-Sunni adalah produk dinamika sejarah dua madzhab besar masa kini, yang jika bersatu akan mampu menoreh sejarah.


Syiah-Sunni disatukan ikatan suci. Tauhid dan kecintaan pada Nabi. Tak beda mereka bersyahadat. Lalu  mengapa harus saling damprat ?


Mekah tempat tujuan berhaji, tempat pensucian hati. Madinah tempat berziarah pada Nabi, tempat melabuhkan hati. Syiah-Sunni sama menghormati karena keduanya berasal dari ajaran Nabi.


Allah mengingatkan agar kita bersatu supaya rahmat dan keadilan bisa ditumpu. Bagaimana itu bisa kita tuju jika Syiah-Sunni saling baku tinju?


Nabi melarang kita bertengkar. Selain menghabiskan tenaga, bertengkar dekat dengan kufur. Kata Nabi, orang kufur jauh dari yang Maha Ghafur. Sebab itu akan mendapat siksa di alam luhur.


Sudah banyak upaya untuk membuatnya bisa sama bergerak. Walau itu merupakan jalan panjang nan menanjak. Di sisi lain memang ada daya tipu yang menginginkan Syiah-Sunni terpecah. Sebab kalau Syiah-Sunni terpecah musuh-musuh tenang menjarah.


Lihatlah di Palestina, tempat Zionis menggempur. Sangat lama kita abai karena kita sendiri sibuk saling menggampar, akibatnya Israel semakin lebay


Berapa lama kita akan sadar melihat saudara-saudara kita disembelih. Berapa banyak lagi darah harus mengocor agar kesadaran kita kembali pulih?


Oleh karena itu hendaknya cerdas mengelola perbedaan, agar perbedaan tidak menjadi hukuman.


Syiah-Sunni berseteru sepanjang masa dari sepeninggal Nabi hingga masa kini, tak maukah kita mengakhirinya?


Masih maukah kita menulis sejarah dengan tinta darah merah yang kita alirkan dari tubuh saudara sendiri, yang sama mengucap seru Tuhan sejati?


Syiah-Sunni mesti saling belajar, karena pada keduanya ada kearifan. Syiah-Sunni mesti bersatu lebur karena pada persatuan ada kekuatan.


Hentikan caci maki yang akan menimbulkan seteru. Akan hebatlah Islam agama Ilahi jika Syiah-Sunni bersatu padu.

(fm/dw/LiputanIslam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...