Di tengah maraknya bedah buku yang
(konon) diterbitkan MUI, ‘Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di
Indonesia’ (MMPSI) yang penuh hujatan kebencian, Pesantren Babussalam
(Ciburial, Bandung) mengadakan acara serupa, namun dengan tujuan ukhuwah pada hari
Ahad (9/3) lalu.
Acara ini diawali dengan pelaksanaan
istighatsah yang memang rutin dilakukan setiap Ahad pekan pertama di
pesantren ini. Tepat pukul 9.30, diskusi buku dimulai dengan dipandu oleh
Ustadz Fajruddin Muchtar yang juga merupakan pengurus yayasan dan pesantren
Babussalam. Pembicara yang hadir dalam acara ini adalah Dr. Izzuddin Mustafa
(mewakili MUI Jawa Barat), Ustadz Babul Ulum M.Ag (narasumber dari Syiah), Dr.
Mujiyo Nurcholis M.Ag (narasumber NU), Dr. Fadhlullah M. Said, MA (perwakilan
dari Yayasan Babussalam), dan KH. Drs. Muchtar Adam (Pimpinan Pesantren Al
Quran Babussalam).
MUI: Syiah Sesat?
Pembicara pertama Dr. Izzuddin
mengawali pembicaraan dengan menyebutkan bahwa dirinya seperti kejatuhan
pekerjaan orang. “Harusnya, yang diundang adalah penulis buku, bukan orang
lain. Namun karena mendapat amanat dari ketua MUI, saya bersedia hadir dalam
acara ini,” katanya.
Dr. Izzuddin menyampaikan
amanat yang didapat dari Ketua MUI Jabar bahwa buku MMSI adalah merupakan suara
resmi MUI. Kemudian, dia membahas beberapa isu tentang Syiah dengan
mengulangi hal-hal yang tercantum dalam isi buku, tanpa keluar sedikit pun. Dr.
Izzuddin menutup pembicaraannya dengan menyebut bahwa Syiah adalah aliran sesat
yang mesti diwaspadai. Alasannya (kembali mengutip isi buku), MUI khawatir
perkembangan Syiah akan mengancam keutuhan NKRI karena orang-orang Syiah
bercita-cita untuk mendirikan negara model Iran. Jika Syiah berkuasa, maka akan
terjadi seperti apa yang berlaku di Suriah: pembantaian orang Sunni oleh orang
Syiah.
Agenda Global: Memecah Belah Muslim
Pernyataan ini kemudian mendapatkan
tanggapan dari Ustadz Babul Ulum, penulis buku “Merajut Ukhuwah dan Memahami
Syiah”.
“Yang terjadi di Suriah, bukan orang
Syiah membunuh Sunni tapi kenyataan bahwa Bashar Assad yang tidak mau tunduk
kepada hegemoni Barat,” tandasnya.
Grand Mufti Suriah (serban putih)
sholat di samping Persiden Assad
Ustadz Babul Ulum menjelaskan, Assad
adalah orang Sunni, mufti-mufti Suriah juga adalah orang Sunni, tak satupun
yang Syiah. Beliau juga mengingatkan bahwa ada agenda global untuk memecah
belah kaum Muslimin. Mengadu domba umat dengan isu Sunni-Syiah adalah cara yang
paling mudah serta membawa hasil yang sangat cepat dan destruktif. Oleh karena
itu, beliau menyerukan agar agar kaum Muslimin secara cerdas menyaring
informasi yang sampai kepada mereka.
Selain itu, Ustadz Babul Ulum juga
menyebutkan bahwa buku MMPSI tidak bisa dikatakan keputusan resmi MUI.
Sebab dalam buku itu tidak ada surat resmi dari MUI.
“Buku MMPSI hanya merupakan ajang
provokasi memecah belah umat dan ajang mencari uang dari pihak-pihak yang
memang sedang gencar juga membiayai diskusi-diskusi menyerang Syiah,” tegasnya.
Al Quran Syiah Berbeda?
Lebih lanjut, Ustadz Babul Ulum
menyebutkan bahwa semua tuduhan dalam buku itu adalah bohong. Misalnya, isu
soal Al Qur’an umat Syiah yang berbeda.
Ustadz Babul Ulum mengatakan, “Saya
berani menemani Anas digantung di Monas jika ditemukan Al Quran Syiah yang berbeda dengan yang terdapat
di kalangan kaum muslimin.” Ucapannya itu langsung disambut tawa oleh
para jamaah.
Pernyataan Ustadz Babul Ulum
mendapatkan konfirmasi dari KH. Muchtar Adam. Beliau menunjukkan Al Quran yang
dicetak dan dibeli langsung dari Iran.
Kata Pak Kyai, “Pernah ada orang
yang mengatakan bahwa Al Qur’an Syiah itu beda, lalu Pak Kyai suruh dia membaca
Al Quran dari Iran ini. Setelah khatam, orang itu mengatakan bahwa Al Qur’annya
sama.”
Oleh karena itu, Kyai Muchtar Adam
sangat menekankan pentingnya tabayun (konfirmasi atau meminta penjelasan) dan
menambah ilmu. Pak Kyai juga mengingatkan jamaah agar waspada terhadap upaya
pemecahbelahan yang dilakukan musuh-musuh Islam. Beliau mengutip Surat Ali
Imran ayat 100. Asbabun nuzul ayat itu adalah peristiwa hampir
berperangnya kaum muslimin akibat propaganda seorang Yahudi bernama Syasy bin
Qais. Pak Kyai mengatakan bahwa fitnah model Syasy ini akan terjadi sepanjang
masa. Itulah sebabnya, ketika membaca buku MUI yang memecah belah umat ini,
beliau menyatakan sangat sedih, bahkan menangis.
KH. Muchtar Adam kemudian
menceritakan pengalamannya ketika beberapa kali berkunjung ke Iran. “Di Iran,
orang-orang Sunni yang memang minoritas mendapat jaminan keamanan dan
perlindungan pemerintah. Orang Sunni dan minoritas lainnya malah mendapat jatah
gratis kursi di parlemen. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Baru saja ada
orang Syiah yang mau mencalonkan jadi anggota DPR, orang ramai-ramai menjegal,”
jelas Pak Kyai.
Terakhir, KH. Muchtar Adam juga
menegaskan bahwa Pesantren Babussalam dan dirinya bukanlah orang Syiah.
Beliau pibadi mempelajari beberapa aspek Syiah, termasuk tafsir Quran
yang ditulis ulama Syiah dengan tujuan keilmuan dan komitmen terhadap persatuan
ummat Islam. Dalam keyakinan Pak Kyai, perpecahan umat harus dijembatani
melalui peningkatan keilmuan.
“Seperti naik ke puncak gunung,
semakin naik, semakin luas pandangan yang dilihat,” kata Pak Kyai.
Hadis Sunni-Syiah Saling Melengkapi
Salah satu poin yang diangkat Dr. Izzuddin adalah orang Syiah tidak
mau menerima hadis dari kalangan Sunni. Ustadz Babul Ulum menjawab pernyataan
ini dengan mengatakan bahwa banyak sekali hadis Sunni yang dipakai oleh Syiah
dan juga sebaliknya. Ustadz Babul Ulum merujuk pada disertasi Dr. Fadhlullah
yang meneliti tentang hadis-hadis Sunni yang terdapat dalam Tafsir Al Mizan.
Dr. Fadhlullah, lulusan UIN Jakarta,
yang juga menjadi pembicara, menilai bahwa bahwa buku MMPSI tidak bisa disebut
sebagai buku ilmiah karena banyak kelemahan, di antaranya tidak adanya batasan
masalah yang akan dibahas. Akibatnya buku ini terasa mengambang saking luasnya
tema yang dibahas. Kemudian tidak ada pembanding dari pihak tertuduh –dalam hal
ini kaum Syiah. Akibatnya, sumber dan data yang tertuang hanya dipilih yang
memojokkan Syiah saja, dan itu pun belum disetujui/diakui kebenarannya oleh
kaum Syiah.
Selanjutnya Dr. Fadhlullah
mengatakan bahwa tujuan diadakannya diskusi semacam ini adalah sebagai mana
termaktub dalam surat Hud ayat 88, di mana Nabi Syueib as mengatakan bahwa dia
tidak bermaksud apa-apa kecuali perbaikan.
“Diskusi ini juga sebagai media
tabayun antara satu pihak penuduh dengan yang dituduh secara adil,” tegas
Fadhlullah.
Upaya Merajut Ukhuwah
Sementara itu, Dr. Mujiyo memaparkan
bahwa dalam sudut pandang NU, untuk menganggap sesat kelompok Muslim perlu
diperjelas dari aspek manakah kesesatannya; apakah sesat secara total ataukah
sesat pada aspek tertentu dan tidak sesat pada aspek lain. Menurutnya, untuk
mempelajari Syiah lebih detail, ada beberapa kategori, yaitu Syiah teologi,
Syiah politik, Syiah fikih, dan Syiah tasawuf. Dari aspek teologi dan politik,
pendirian NU jelas yaitu menghukumi sesat orang yang berpendapat bahwa ada
wahyu setelah Rasulullah Saw dan menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan
Utsman. Jika kaum Syiah Indonesia tidak demikian, tentu mereka tidak
sesat, kata penulis tesis “Hadis-hadis Imamah dalam Shahih Al Bukhari dan Al
Kafi dalam Perspektif Ilmu Hadis Dirayah” ini.
Menurut Mujiyo, dari aspek fikih,
khususnya madzhab Ja`fari, secara metolologi sangat dekat dengan Sunni,
mengingat Ja`far al-Shadiq adalah guru Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Madzhab
Maliki lebih dekat dari pada mazhab Hanafi, mengingat madzhab Maliki dan
madzhab Ja`fari sama-sama ahli hadits (atsari, tekstualis), sedangkan
madzhab Hanafi dikenal sebagai ahli ra’yi (rasionalis). Sementara
madzhab Syafi`i disebut-sebut sebagai madzhab moderat yang menjembatani antara
kedua kubu tersebut.
Ada yang menarik dari paparan Dr.
Mujiyo, yaitu bahwa sejak dulu sudah ada upaya untuk rekonsiliasi Syiah dan
Sunni. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Imam Ja’far Shadiq dan Umar bin
Abdul Aziz yang berkomitmen menghentikan cacian kepada Ali dan Ahlul Bait.
Sehingga di masa itu, akhir khutbah Jumat yang biasanya diisi cacian kepada
Imam Ali, diganti dengan pembacaan surat An Nahl ayat 90. Sayang upaya
rekonsiliasi itu dihalangi oleh pihak-pihak antipersatuan sehingga pada masa
Abbasiyah, cacian dan makian kepada kaum Syiah kembali merebak.
Di akhir diskusi buku yang dihadiri hampir 200 jamaah ini,
diadakan sesi dialog. Salah satu peserta diskusi, KH. Ahmad Rifai, seorang ahli
qiraah dari Bandung, menilai bahwa acara yang dilaksanakan sangat bagus dan
dapat membantu umat memahami perbedaan secara seimbang. Dr. Izzudin Mustafa pun
menyebut bahwa dialog memang harus dibangun dan apa yang terjadi dalam diskusi
buku hari itu sudah pada jalurnya. “Sebab biasanya dialog seperti ini hanya
berisi hujatan dan vonis sesat kepada Syiah tanpa orang Syiah bisa membela diri
karena memang tidak diberi jatah untuk membela dirinya,” kata Izzuddin.
Fahmi Zainuddin, salah seorang
peserta diskusi berkomentar, “Saya baru mengetahui bahwa banyak hadis-hadis
Syiah yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Sunni dan banyak hadis-hadis Sunni
yang diriwayatkan oleh ulama Syiah. Oleh karena itu ummat harus
cerdas, jangan menjustifikasi satu golongan yang sesat sebelum melakukan
penelitian agar tak mudah diprovokasi.”
Ustadz Fajruddin kemudian menutup
diskusi itu dengan kalimat-kalimat puitis ala Mata Najwa :
Jika perbedaan sebuah
keniscayaan maka madzhab adalah kekayaan.
Jika keragaman adalah keindahan
mengapa mesti ada pertengkaran?
Bersatu bukan berarti menyamakan
tapi penghormatan satu sama lain, saling menguatkan, saling memajukan.
Syiah-Sunni adalah produk dinamika
sejarah dua madzhab besar masa kini, yang jika bersatu akan mampu menoreh
sejarah.
Syiah-Sunni disatukan ikatan suci.
Tauhid dan kecintaan pada Nabi. Tak beda mereka bersyahadat. Lalu mengapa
harus saling damprat ?
Mekah tempat tujuan berhaji, tempat
pensucian hati. Madinah tempat berziarah pada Nabi, tempat melabuhkan hati.
Syiah-Sunni sama menghormati karena keduanya berasal dari ajaran Nabi.
Allah mengingatkan agar kita bersatu
supaya rahmat dan keadilan bisa ditumpu. Bagaimana itu bisa kita tuju jika
Syiah-Sunni saling baku tinju?
Nabi melarang kita bertengkar.
Selain menghabiskan tenaga, bertengkar dekat dengan kufur. Kata Nabi, orang
kufur jauh dari yang Maha Ghafur. Sebab itu akan mendapat siksa di alam luhur.
Sudah banyak upaya untuk membuatnya
bisa sama bergerak. Walau itu merupakan jalan panjang nan menanjak. Di sisi
lain memang ada daya tipu yang menginginkan Syiah-Sunni terpecah. Sebab kalau
Syiah-Sunni terpecah musuh-musuh tenang menjarah.
Lihatlah di Palestina, tempat Zionis
menggempur. Sangat lama kita abai karena kita sendiri sibuk saling menggampar,
akibatnya Israel semakin lebay
Berapa lama kita akan sadar melihat
saudara-saudara kita disembelih. Berapa banyak lagi darah harus mengocor agar
kesadaran kita kembali pulih?
Oleh karena itu hendaknya cerdas
mengelola perbedaan, agar perbedaan tidak menjadi hukuman.
Syiah-Sunni berseteru sepanjang masa
dari sepeninggal Nabi hingga masa kini, tak maukah kita mengakhirinya?
Masih maukah kita menulis sejarah
dengan tinta darah merah yang kita alirkan dari tubuh saudara sendiri, yang sama
mengucap seru Tuhan sejati?
Syiah-Sunni mesti saling belajar,
karena pada keduanya ada kearifan. Syiah-Sunni mesti bersatu lebur karena pada
persatuan ada kekuatan.
Hentikan caci maki yang akan
menimbulkan seteru. Akan hebatlah Islam agama Ilahi jika Syiah-Sunni bersatu
padu.
(fm/dw/LiputanIslam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar