Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Mengapa Anda bersedia untuk
mendengar ketika seseorang berbicara pada Anda? Antara lain karena Anda percaya
kepadanya kan? Seandainya tidak mempercayainya, maka Anda tidak akan tertarik
untuk mendengarnya. Bahkan, bisa saja tidak tertarik untuk mengenalnya lagi.
Dan kita ingin menjauh dari orang-orang yang tidak kita percayai lagi kan? Jika
hal itu berlaku bagi orang lain, maka itu juga berlaku bagi kita. Artinya,
orang lain pun tidak akan mau mendengar kita jika mereka tidak percaya kepada
kita. Mendengar saja tidak mau. Apalagi mengamanahkan sesuatu kan? Ini
menujukkan bahwa ‘kepercayaan’ adalah segala-galanya. Lantas, “Apa sih yang
membuat kita kehilangan kepercayaan?”
Di sekitar kita, ada banyak fenomena
yang bisa dijadikan sarana untuk bercermin. Agar bisa menjadi pribadi yang
layak dipercaya. Di kantor, misalnya. Mungkin Anda mengenal seseorang yang
apapun yang dikatakannya Anda tidak mau percaya lagi. Karena semua orang dikantor
tahu bahwa orang itu ‘tukang ngibul’. Jika Anda seorang pebisnis, mungkin Anda
mengenal seorang rekan bisnis yang janji mau bayar hutang tapi tidak pernah
terealisasi. Anda, tentu tidak mau lagi berbisnis dengannya kan?
Kalau pernah memergoki suami atau
istri Anda melakukan sesuatu yang tidak patut; apakah Anda akan selalu percaya
kepadanya? Percaya sih, kan sudah memaafkan. Tapi didalam hati, kadang muncul
sebuah tanda tanya kan? Di gedung DPR, Anda masih percaya pada para
penghuninya? Fenomena meningkatnya golput menunjukkan sudah semakin lunturnya
kepercayaan publik kepada lembaga terhormat itu.
Dari fenomena yang ada, kita bisa
melihat dengan jelas bahwa kepercayaan bisa hilang hanya karena kata-kata kita,
tidak sesuai dengan perilaku atau tindakan yang kita tunjukkan.
Kepada atasan yang doyan janji-janji doang, Anda tidak percaya lagi
kan? Pada anak buah yang ‘iya-iya tapi tidak’ Anda kesal sekali tentunya.
Kepada mitra yang hanya bicara tanpa tindakan, Anda ogah bergaul lama-lama.
Bagaimana dengan mereka yang hanya dekat setiap 5 tahun sekali kepada rakyat?
Bahkan orang yang terjerat fanatisme pada golongannya pun sebenarnya sadar
bahwa; janji, jargon, dan kata-kata indah mereka itu tidak dijamin bakal sama
dengan perilakunya.
Didalam kitab suci, Tuhan sudah
memperingatkan bahwa kemarahanNya sungguh sangat besar kepada orang-orang yang
mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya. Artinya, lain dibibir lain dihati.
Lain diperkataan, lain diperbuatan. Bahasa paling sederhananya adalah ‘bo-ong’.
Sederhana memang, tampaknya. Tapi dampaknya sungguh luar biasa. “Lah, cuman
bo-ong segitu doang kok dipikirin…” Banyak orang yang bilang begitu kan?
Padahal setiap tindak kriminal, maupun kerusakan atau kekacauan apapun yang
terjadi di muka bumi ini; berkaitan dengan – minimal – satu kobohongan.
Tidak ada hal lain yang bisa
dipegang dari seorang manusia selain kata-katanya. Jika kata-katanya sudah
tidak bisa dipegang lagi, maka kita tidak bisa mempercayainya lagi. “Lah, kalau
nggak dipercaya sama si ini, kan bisa cari orang lain yang masih mau percaya
kan? Toh masih banyak orang yang bisa dibo-ongin dan dibodongin.” Mungkin ada
juga orang yang berpikiran demikian. Makanya, tidak kapok-kapok berbo-ong. Toh
selalu ada ‘audience lain’ yang akan percaya kan?
Memang, fenomena itu terasa kental
di lingkungan kita. Semoga saja kita tidak ikut terjerat kedalamnya. Karena.
Meskipun tampaknya sederhana, bo-ong itu parah banget konsekuensinya. Anda,
tentu masih ingat Rasulullah yang mengingatkan bahwa salah satu dari 3 – tiga –
ciri orang munafik adalah; “jika berkata, dia berdusta”.
Bayangkan, Rasulullah saja sudah memperingatkan sedemikian kerasnya. Masak sih
kita menganggap enteng begitu?
Mungkin manusia masih mau percaya
pada kita. Apalagi di zaman yang segalanya bisa dibeli seperti saat ini kan.
Asal ada imbalannya, maka segala sesuatunya bisa terjadi. Iyya, kalau kita
hanya mikirin penilaian manusia. Memangnya kita tidak percaya bahwa kelak kita
akan mati juga? Lalu berhadapan dengan Sang Maha Menyaksikan. Dzat yang tahu
persis apa yang kita sembunyikan didalam hati. Dia yang memberi siksa atau
pahala. Atas segala sesuatu yang kita ucapkan dan lakukan. Meski sebesar
butiran debu sekalipun.
Atau jangan-jangan, bukan
kepercayaan orang lain pada kita yang hilang itu. Melainkan, kepercayaan kita
kepada Tuhan. Mungkin kita tidak percaya lagi bahwa Tuhan sudah tidak punya
kuasa lagi pada kita. Sehingga demi kekuasaan kita bersedia melakukan apa saja.
Demi jabatan kita sanggup melakukan apapun. Demi mengejar harta kita tega
melanggar norma-norma. Karena kepercayaan kita kepada kuasanya Tuhan; sudah tak
ada. Na’udzubillah.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Author,
Trainer, and Professional Public Speaker
Tidak ada komentar:
Posting Komentar