Kamis, 27 Maret 2014

Penyebab Hilangnya Sebuah Kepercayaan




Hore!
Hari Baru, Teman-teman.

Mengapa Anda bersedia untuk mendengar ketika seseorang berbicara pada Anda? Antara lain karena Anda percaya kepadanya kan? Seandainya tidak mempercayainya, maka Anda tidak akan tertarik untuk mendengarnya. Bahkan, bisa saja tidak tertarik untuk mengenalnya lagi. Dan kita ingin menjauh dari orang-orang yang tidak kita percayai lagi kan? Jika hal itu berlaku bagi orang lain, maka itu juga berlaku bagi kita. Artinya, orang lain pun tidak akan mau mendengar kita jika mereka tidak percaya kepada kita. Mendengar saja tidak mau. Apalagi mengamanahkan sesuatu kan? Ini menujukkan bahwa ‘kepercayaan’ adalah segala-galanya. Lantas, “Apa sih yang membuat kita kehilangan kepercayaan?”

Di sekitar kita, ada banyak fenomena yang bisa dijadikan sarana untuk bercermin. Agar bisa menjadi pribadi yang layak dipercaya. Di kantor, misalnya. Mungkin Anda mengenal seseorang yang apapun yang dikatakannya Anda tidak mau percaya lagi. Karena semua orang dikantor tahu bahwa orang itu ‘tukang ngibul’. Jika Anda seorang pebisnis, mungkin Anda mengenal seorang rekan bisnis yang janji mau bayar hutang tapi tidak pernah terealisasi. Anda, tentu tidak mau lagi berbisnis dengannya kan?

Kalau pernah memergoki suami atau istri Anda melakukan sesuatu yang tidak patut; apakah Anda akan selalu percaya kepadanya? Percaya sih, kan sudah memaafkan. Tapi didalam hati, kadang muncul sebuah tanda tanya kan? Di gedung DPR, Anda masih percaya pada para penghuninya? Fenomena meningkatnya golput menunjukkan sudah semakin lunturnya kepercayaan publik kepada lembaga terhormat itu.

Dari fenomena yang ada, kita bisa melihat dengan jelas bahwa kepercayaan bisa hilang hanya karena kata-kata kita, tidak sesuai dengan perilaku atau tindakan yang kita tunjukkan.   Kepada atasan yang doyan janji-janji doang, Anda tidak percaya lagi kan? Pada anak buah yang ‘iya-iya tapi tidak’ Anda kesal sekali tentunya. Kepada mitra yang hanya bicara tanpa tindakan, Anda ogah bergaul lama-lama. Bagaimana dengan mereka yang hanya dekat setiap 5 tahun sekali kepada rakyat? Bahkan orang yang terjerat fanatisme pada golongannya pun sebenarnya sadar bahwa; janji, jargon, dan kata-kata indah mereka itu tidak dijamin bakal sama dengan perilakunya.

Didalam kitab suci, Tuhan sudah memperingatkan bahwa kemarahanNya sungguh sangat besar kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya. Artinya, lain dibibir lain dihati. Lain diperkataan, lain diperbuatan. Bahasa paling sederhananya adalah ‘bo-ong’. Sederhana memang, tampaknya. Tapi dampaknya sungguh luar biasa. “Lah, cuman bo-ong segitu doang kok dipikirin…” Banyak orang yang bilang begitu kan? Padahal setiap tindak kriminal, maupun kerusakan atau kekacauan apapun yang terjadi di muka bumi ini; berkaitan dengan – minimal – satu kobohongan.

Tidak ada hal lain yang bisa dipegang dari seorang manusia selain kata-katanya. Jika kata-katanya sudah tidak bisa dipegang lagi, maka kita tidak bisa mempercayainya lagi. “Lah, kalau nggak dipercaya sama si ini, kan bisa cari orang lain yang masih mau percaya kan? Toh masih banyak orang yang bisa dibo-ongin dan dibodongin.” Mungkin ada juga orang yang berpikiran demikian. Makanya, tidak kapok-kapok berbo-ong. Toh selalu ada ‘audience lain’ yang akan percaya kan?

Memang, fenomena itu terasa kental di lingkungan kita. Semoga saja kita tidak ikut terjerat kedalamnya. Karena. Meskipun tampaknya sederhana, bo-ong itu parah banget konsekuensinya. Anda, tentu masih ingat Rasulullah yang mengingatkan bahwa salah satu dari 3 – tiga – ciri orang munafik adalah; “jika berkata, dia berdusta”. Bayangkan, Rasulullah saja sudah memperingatkan sedemikian kerasnya. Masak sih kita menganggap enteng begitu?

Mungkin manusia masih mau percaya pada kita. Apalagi di zaman yang segalanya bisa dibeli seperti saat ini kan. Asal ada imbalannya, maka segala sesuatunya bisa terjadi. Iyya, kalau kita hanya mikirin penilaian manusia. Memangnya kita tidak percaya bahwa kelak kita akan mati juga? Lalu berhadapan dengan Sang Maha Menyaksikan. Dzat yang tahu persis apa yang kita sembunyikan didalam hati. Dia yang memberi siksa atau pahala. Atas segala sesuatu yang kita ucapkan dan lakukan. Meski sebesar butiran debu sekalipun.

Atau jangan-jangan, bukan kepercayaan orang lain pada kita yang hilang itu. Melainkan, kepercayaan kita kepada Tuhan. Mungkin kita tidak percaya lagi bahwa Tuhan sudah tidak punya kuasa lagi pada kita. Sehingga demi kekuasaan kita bersedia melakukan apa saja. Demi jabatan kita sanggup melakukan apapun. Demi mengejar harta kita tega melanggar norma-norma. Karena kepercayaan kita kepada kuasanya Tuhan; sudah tak ada. Na’udzubillah.
  

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman 7 Maret 2014
Author, Trainer, and Professional Public Speaker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...