Penulis:
Sindhunata
Oleh Penerbit Mizan, saya diminta untuk membagikan pengalaman di sekitar tulis menulis pada
rekan-rekan penulis. Seingat saya,
pengalaman menulis itu begitu luas dan panjang, banyak variasi dan bidangnya. Karena itu, saya tidak tahu, harus mulai
darimana, atau harus mengutarakan pengalaman yang mana. Di bawah ini saya
justru ingin menyampaikan terlebih
beberapa pengalaman dan pernyataan para penulis dunia tentang suka duka
kepenulisan mereka. Pendapat mereka
ingin saya jadikan acuan bagi pengalaman saya sendiri. Semoga juga bagi
pengalaman Anda. Memang, acuan itu
sifatnya lebih reflektif, filosofis, bahkan teologis.
Kepenulisan dan Keberadaan-Diri
Kepenulisan (Jerman: Schreiben) dan keberadaan-diri (Sein)
adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Bahkan untuk seorang penulis,
kesatuan antara dua hal itulah yang menentukan identitasnya (Undine Gruenter,
lih. Die Zeit (2003)14, hlm. 53).
Dalam bidang penulisan sastra, menulis sendiri adalah semacam rencana,
dimana seorang pengarang ingin membangun estetika hidupnya. Dengan menulis, orang ingin menyatakan apa
saja yang ia cita-citakan dan impikan dalam hidupnya.
Kebenaran dari pernyataan ini dapat kita lihat dalam hidup para
penulis-penulis besar. Tampak, karya
tulis mereka adalah pergulatan hidup mereka sendiri. Nyaris tiada lagi perbedaan antara hidup
mereka dengan apa yang mereka tuliskan.
Mulai dari nilai, harapan, keputusasaan sampai cinta mereka. Menulis itu adalah identias bagi keberadaan
mereka, atau sebaliknya: keberadaan mereka ditentukan oleh kepenulisan mereka.
Jelas, menulis di sini lalu bukan sekadar pekerjaan sambilan,
"upaya untuk menambah dan mengejar (ngoyak) setoran", atau
pencarian keselebritasan yang dangkal.
Menulis adalah pergulatan hidup dalam intinya yang terdalam, semacam
upaya untuk menemukan dan menentukan identitas kita yang paling orisinal. Jelas disini menulis bukan hanya pekerjaan
yang menyenangkan, tapi keperihan dan kepedihan untuk mencari diri kita yang
hilang dan tenggelam dalam pelbagai kedangkalan.
Wacana untuk menembus kegelapan
Kau yang turun dari surga
menentramkan segala sakit dan derita
siapa yang deritanya berlipatganda
akan diteduhkan berlipat ganda pula.
Ah, lelah aku sudah dengan pelbagai upaya
Apalagi artinya semua nikmat dan derita
Tentram dan lega, datanglah padaku
berisirahatlah di dadaku
(Goethe: Wanders Nachtlied).
Puisi itu adalah jeritan agar Tuhan menolong manusia, yang didera oleh
derita, dan diombang-ambingkan oleh nikmat dan derita. Ia ingin semuanya itu berhenti dan ia menjadi
tenang. Dalam keadaan demikian rasanya
kematian lebih menghiburkan daripada perjuangan.
Di manakah dia dapat menemukan ketentraman itu? Ya, dalam puisi itu sendiri. Bahan puisi yang ditulisnya adalah kententraman
itu sendiri. Dalam puisi itulah, orang
membuat suatu wacana tentang kegelapan hidup ini, dan mencoba untuk menemukan
alternatif rasional untuk memecahkannya.
Itulah kiranya yang harus kita alami ketika kita menulis. Kita didera oleh suatu persoalan, kita
menjadi lelah dan capai, kita ingin terbebas dari kelelahan dan kecapaian itu,
kita ingin menemukan kedamaian dan ketentraman.
Cara kita membebaskan diri dari persoalan, bukan dengan berpolitik, atau
berdemonstrasi, tapi dengan menulis.
Tulisan kita harus menjadi "obat", atau
"perhentian", yang dapat menyembuhkan sakit kita, mengheningkan dan
mengisitirahatkan kelelahan dan kegelisahan kita.
Tulisan yang terburu-buru dan asal-asalan kitanya tak bakal menjadi
tempat sandaran yang menentramkan. Kita
puas mungkin, tapi kepuasan itu hanya menyentuh nama kita di luaran saja. Di dalam, kita tetap merasa tidak puas,
merasa belum menemukan jawab. Ironisnya,
tulisan yang dalam justru menegur kita, mengapa kamu hanya sedangkal itu
saja. Tulisan yang dalam makin
menggelisahkan kita untuk terus mencari dan mencari lagi. Tulisan itu mungkin menentramkan pembaca,
tapi tidak bagi kita. Dalam arti ini
menulis adalah pekerjaan yang menyakitkan seperti sebuah pencarian diri yang
tak pernah terpuaskan juga amat menyakitkan.
Nasib tulisan itu di tangan pembaca
Tulisan itu menjadi berarti, ketika ia sudah memasyarakat. Artinya, pembacalah yang menentukan apakah
tulisan itu baik atau tidak (Martin Walser).
Ironisnya, ketika kita menulis, pembaca itu tidak terlalu kita
perhitungkan. KIta hanya berekspresi dan
berekspresi. Pembaca sendiri bisa mulai
menemukan arti dalam tulisan itu, jika ia sendiri mempunyai pengalaman, seperti
dituturkan dalam tulisan itu.
Dengan kata lain antara pembaca dan penulis harus ada sambungan
pengalaman yang sama. Dari sinilah
sebuah tulisan itu akan membentuk suatu kesadaran. Hanya kesadaran itu tidak dapat kita
rencanakan dari awal. Kesadaran itu
muncul lewat pembaca dan dari pembaca, setelah mereka membacanya. Ini paradoks suatu penulisan: arti dari suatu
tulisan itu kelihatannya lebih merupakan produk dari pembaca daripada
penulisan. Karena itu benarlah
kata-kata: "Nasib buku itu di tangan pembaca, sesuai dengan daya kemampuan
dan tingkatan mereka" (Manfred Fuhrmann).
Dilihat dari kacamata di atas, menulis itu adalah suatu
petualangan. Kita boleh merasa tulisan
kita baik, ternyata tulisan itu tak berbunyi apa-apa bagi pembaca. Dalam bahasa pemasaran buku: pasar pembaca
itu sulit diterka. Melihat kenyataan
itu, tak bisa kita mematok dari awal, bahwa tulisan kita akan laku. Kita memang harus memperhitungkan pembaca,
tapi kita tidak boleh didikte oleh pembaca.
Biarlah pembaca membacanya, sementara kita hanya menuliskannya. Memang, jembatan antar kita dan pembaca akan
terbangun, jika mempunyai pengalaman yang diandaikan juga dialami pembaca. Maka menulis sesungguhnya bukan hanya
pekerjaan otak, tapi pekerjaan pengalaman: pengalaman mendesak kita untuk
merefleksikannya, dan kemudian menuliskannya.
Menulis karena dunia tak menyerupai kita
Andaikan dunia sudah sama dengan kita atau keinginan kita, literatur itu
takkan pernah ada (Martin Walser). Tapi
dunia tak pernah sama dengan keinginan kita.
Mengapat dunia tak menyerupai kita?
Karena dari dirinya sendiri, dunia itu tak mempunyai makna. Sebagai manusia, kita tak dapat menanggung
sesuatu yang tanpa makna. Bahka
menyelidiki sesuatu yang tanpa makna pun sudah merupakan upaya untuk memberi
makna. Menulis tak lain tak bukan adalah
menanggapi dunia yang tanpa makna dan tak menyerupai kemauan kita itu menjadi
sesuatu yang menyerupai kita. Dengan
menulis kita memberi jawaban atas sesuatu yang kita anggap kurang, karena tidak
menyerupai kita.
Untuk menjalankan tugas kepenulisan itu, kita hanya punya satu alat,
yakni bahasa. Dengan bahasa, kita mengungkapkan apa yang ingin kita
ungkapkan. Sesuatu yang sudah kita rasa
sama dan serupa dengan keinginan kita, belum betul-betul terasa sebagai serupa,
karena belum terungkap dan diungkapkan.
Baru dengan bahasa, kita dapat membuatnya terasa, nyata dan
terungkap. Kalimat, yang kita tuliskan,
mengatakan pada kita tentang sesuatu, yang tidak kita sadari, sebelum kita
mengkalimatkannya. Jadi bahasa adalah semacam
"alat produksi". Patut
diingat, kendati bahasa adalah alat kita, kita bukanlah tuan dari alat
tersebut. Karena itu, kita harus dengan
sabar menunggu, sampai bahasa itu menjadi peluang, yang memberi kita jalan
untuk mengerti dan membukakan banyak hal, yang sebelumnya tidak kita ketahui. Percaya pada kekuatan bahasa, kita akan
diajak untuk melihat banyak kemungkinan dalam hidup kita, untuk kita ungkapkan.
Banyak penulis lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan
pengalamannya. Padahal semua itu tadi
masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa. Jangan mengira, menyatakan dengan bahasa itu
mudah. Sebelum menyatakan dengan bahasa,
kita harus menggulati pengetahuan kita dengan bahasa. Sering terjadi, dalam pergulatan itu kita
kalah. Kita merasa tahu dan mengerti, merasa
mengalami dan sadar, tapi semuanya itu tudak dapat kita kalimatkan, artinya
bahasa tak membantu kita untuk menyatakan semuanya itu tadi. Akhirnya, semuanya tinggal sebagai kegelapan
dan kebawahsadaran, padahal kita merasa tenang dan sadar tentangnya. Dalam hal ini bahasa adalah sarana pencerahan
bagi kegelapan kita.
Kendati tidak pernah bisa menjadi seratus persen tuan atas bahasa,
bahasa harus kita latih dan kuasai.
Kalau logika bahasa kita mampet, kalau gramatika kita kacau, kalau
keindahan bahasa tidak kita kuasai, dan perbendaharaan bahasa tidak kita
punyai, dalam menulis kita hanya akan menjumpai kekeringan belaka. Sebaliknya, jika kita terlatih dan kaya akan
bahasa, lorong-lorong kepenulisan tiba-tiba membuka dengan sendirinya.
Menulis dan kesepian
Berani menyendiri, berada dalam kesepian dan keterasingan adalah hal
yang harus terjadi dalam kepenulisan (Marguerite Duras). Kesepian itu bahkan harus dialami bukan hanya
secara rohani, tapi juga secara badani.
Namun kesepian ini bukan berarti isolasi. Kesepian itu lebih merupakan semacam
keberadaan diri yang sadar, yang justru terus bergulat untuk menemukan kontak
tapi juga menolak kontak.
Dalam kesepian itu orang bahkan menjadi liar. Menulis memang membuat orang menjadi
liar. Menulis membuat orang kembali
kepada kebuasan, yang ada sebelum
hidupnya. Seorang penulis tiba-tiba
mendapati dirinya liar seperti di hutan, dan selalu liar sepanjang hidupnya. Untuk menulis, orang harus menggigit bibir,
bergulat dengan keliarannya. Untuk itu
ia harus menjadi lebih kuat dari tubuhnya.
Ia juga harus lebih kuat daripada apa yang hendak ditulisnya. Kalau tidak, ia akan menyerah dan kalah. Maka menulis itu sebenarnya bukan hanya
menulis, tapi mengalahkan kelemahan dirinya, menundukkan apa yang dihadapinya. Penulis itu bagaikan binatang, yang berseru
di kala malam. Penulis itu tiba-tiba
merasakan hidup ini vulgar, dan ia tidak bisa menghaluskannya, sebelum ia ikut
dan terbenam dalam kevulgaran itu.
Jelas, orang yang tidak berani sepi, dia tak mungkin jadi penulis yang
baik. Tapi kesepian itu bukan romantisme
kesendirian. Kesepian itu adalah
suasana, yang menantang kita untuk berani bergulat dengan seluruh realitas,
yang ternyata tidak mudah kita taklukan.
Tak jarang orang menyerah dalam pergulatan itu, karena ia merasa tidak
kuat dan tidak mampu. Menulis akhirnya
adalah suatu askese, matiraga, suatu kebertapaan di tengah keramaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar