Gerak Sejarah
Jiwa dari teori-teori
sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan
berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. Menurut Muthahhari,
pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan
transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu
proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang
diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke
arah heterogenitas.
Dalam proses evolusi
sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti
masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya
begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak
sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat
diterangkan sebagai berikut.
- Pandangan sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat. Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
- Gerak sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.
- Pengaruh alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
- Kekuatan penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka jalan bagi Cauvinisme.
- Teori evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
- Teori historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
Dari berbagai pendapat
tentang gerak sejarah, Muthahhari memandang bahwa gerak sejarah dari arti active
cause, yakni pemahaman tentang determinisme sejarah dan arti ideal cause,
yakni pandangan tentang masa depan manusia. Bagi Muthahhari, determinisme
sejarah dipahami dari dua makna yang saling terkait. Makna ini diambil dari
ayat al-Qur’an surat [35]: 43 “ Maka engkau sekali- kali tidak akan mendapatkan
pergantian di dalam sunnatullah ”, dan di dalam al-Qur’an surat [13]: 11 “
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri
yang mengubah diri mereka sendiri ”. Ayat pertama determinisme sejarah dipahami
sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat kedua determinisme
sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia berhubungan dengan
kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”. Selagi semuanya belum
berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.
Sementara itu, tentang
pandangan masa depan manusia ada yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan
sosialis. Bagi Islam, masa depan manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama,
Islam tidak menganggap masa lalu dengan pesimis secara total. Kedua, Islam
tidaklah demikian sinis terhadap watak manusia. Dengan kata lain, Islam
memandang masa depan manusia dengan sikap optimisme
Pandangan masa depan ini
sangat terkait dengan pemahaman hukum-hukum sejarah. Hukum- hukum sejarah
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Kitab Allah dalam kedudukannya
sebagai petunjuk suci yang akan mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada
terangnya kebenaran.
Apabila pandangan
tentang masa depan manusia dan hukum-hukum sejarah yang mengitari proses
dinamika sejarah ini diambil makna esensialnya, maka akan terlihat secara jelas
sifat-sifat dari gerak sejarah itu sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini
disebabkan adanya kepercayaan yang tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah)
manusia. Meskipun demikian, kita tidak mampu menentukan bentuk fisik masa depan
sejarah manusia.
Penggerak Sejarah
Di dalam al-Qur’an surat
ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi
(objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi
(subjektif) yang ada pada mereka sendiri ” menggambarkan bahwa manusia
memainkan peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut
juga tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan
yang ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.
Konsepsi Islam dan
al-Qur’an meyakini bahwa dua proses perubahan ini harus berjalan beriringan.
Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pikirannya harus
seiring dengan pembangunan fisik dan sosial budayanya. Jika pembangunan mental
berjalan jauh di depan pembangunan fisik, maka yang akan terjadi adalah menara
gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik
meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang
kropos.
Penjelasan Muthahhari
tentang peran manusia dalam menggerakkan sejarah tidak hanya bersifat umum,
tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci terutama tentang kecenderungan
yang dimiliki manusia. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum
Marxis yang mengatakan bahwa kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu
jalan, yakni ekonomi Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia
pada hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada
kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20),
sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan
tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).
Meskipun manusia
memiliki seluruh kecenderungan ke arah nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan
kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi suatu percikan suci yang secara
esensial menentang kejahatan, pertumpahan darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan,
degradasi, dan penghinaan serta penekanan dan kezaliman. Manusia memiliki
kecenderungan kepada kesempurnaan.
Ada kecenderungan lain
pada diri manusia selain dari kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu
kecenderungan untuk tetap hidup, menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada
makanan dan kelezatan, kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan
keindahan, serta kecenderungan pada ilmu pengetahuan.
Kecenderungan yang
beragam tersebut, menurut Muthahhari, semuanya dapat dijadikan sebagai motor
penggerak. Alasannya, dalam realitas kehidupan manusia, segala macam bentuk
pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian bersumber dari satu
kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak hanya satu motor penggerak. Jika
memang benar dalam masyarakat hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil
akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat.
Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan karena
berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain.
Penjelasan Muthahhari
tentang manusia sebagai penggerak sejarah tidak hanya dilihat dari setting
individual yang terpisah, melainkan juga dari sisi masyarakat. Muthahhari
membedakan secara jelas tindakan individu dengan tindakan kolektif. Tindakan
individu mengandung dua dimensi (sebab aktif dan sebab material), sedangkan
tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab aktif, material, dan sebab
akhir).
Penutup
Muthahhari dalam kajian
sejarahnya lebih memfokuskan pada kajian yang bersifat filosofis. Kajian ini
dimaksudkan untuk menampilkan filsafat sejarah perspektif al-Qur’an. Selain
itu, kajiannya dimaksudkan untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada,
khususnya Marxisme. Untuk membedakan filsafat sejarahnya dengan
filsafat-filsafat sejarah yang ada, Muthahhari mengawali pembahasannya tentang
sifat sejarah yang bukan hanya bersifat bendawi, melainkan bersifat non-bendawi
dan suprabendawi. Sifat inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan filsafat
sejarah berikutnya, khususnya tentang tujuan sejarah, gerak sejarah, dan
penggerak sejarah.
Daftar Pustaka
- Algar, Hamid. 1985. The Roots of the Islamic Revolution. London: The Open Press.
- Bagir, Haidar. 1988. Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Bandung: Yayasan Muthahhari.
- Hugiono dan Poerwantara. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Rineka Cipta.
- Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
- Muthahhari, Murthada. 1984. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
- _______, 1991. Menguak Masa Depan Manusia Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah.
- _______, 1991. Kritik Islam terhadap Paham Materialisme. Jakarta: Risalah Masa.
- _______. 1991. Falsafah Kenabian. Jakarta: Pustaka Hidayah.
- ______. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Jakarta: Pustaka Hidayah.
- Qutb, Muhammad. 1992. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
- Siddiqi, Mazheruddin. 1986. Konsep Qur’an tentang Sejarah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
- Suryanegara, Ahmad Mansur. 1995. Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan.
- Al-Sarqawi, Effat. 1981. Filsafat Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Shadr,
- Muhammad Baqir. 1992. Tafsir Modern. Jakarta: Risalah Masa.
- ____. 1993. Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an Sebuah Analisis. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar