Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Berapa gaji Anda? Berapa persen dari
gaji itu yang bisa ditabungkan? Mengapa sampai sekarang belum kaya raya juga?
Ah, pasti Anda tidak tertarik untuk memberikan jawabannya. Jangan tersinggung ya.
Pertanyaan itu bukan hanya saya ajukan kepada Anda. Melainkan kepada diri saya
sendiri. Soalnya, sesuai dengan pengamatan terhadap orang-orang disekitar dan
pengalaman pribadi saya sendiri; ternyata dari hasil jerih payah bekerja itu
hanya sedikit sekali yang masih ‘tersisa’. Sebagian terbesarnya sudah menguap
entar kemana. Hal ini tidak hanya berlaku pada orang yang berpenghasilan kecil
saja. Yang sudah sudah besar pun nasibnya tidak jauh berbeda. Ternyata, apa
yang kita hasilkan dari pekerkaan itu tidak awet.
Bayangkan seandainya ini adalah hari
gajian Anda. Pagi-pagi upah kerja keras kita sebulan itu sudah masuk ke
rekening tabungan kita. Hanya namanya saja yang disebut ‘rekening tabungan’.
Faktanya, rekening itu tidak benar-benar digunakan untuk menabung kan? Tapi
lumayanlah, pagi ini ada transferan masuk dari kantor. Terus, apa yang kita
lakukan pada jam makan siang nanti? Pergi ke mesin ATM dong. Mengeluarkan
kartu, lalu memasukkan kedalam slotnya. Kemudian – meskipun sudah tahu
jumlahnya – kita mengecek saldonya. Alhamdulillah. Nambah.
Setelah itu, kita kembali ke layar
awal di mesin ATM. Lalu memilih menu ‘pembayaran’. Memasukkan nomor rekening
istri, lantas mengetik sejumlah digit uang belanja, terus trasfer. Memasukkan
nomor langganan listrik, terus transfer. Mengetik nomor telepon rumah, terus
transfer. Mengetik nomor kartu kredit, terus transfer. Eh, sebentar dulu,
sebelum transfer direvisi dulu. Bayarnya minimum payment aja dulu deh. Barulah
memencet tombol ‘YA’. Dicek lagi saldonya. Dan, Deg.
Jantung seperti berhenti berdegup.
Soalnya angka-angka yang tadi terpampang dilayar ATM sepertinya sudah menguap
begitu saja. Tinggal beberapa digit yang masih tersisa. Itupun tak seberapa.
Mikir sebentar, lalu... ya udahlah. Ambil 100 ribu aja. Lantas lihat saldo
lagi. Manyun sebentar. Lalu, merenggut kembali kartu ATM dari mesin.
Menyelipkannya di dompet. Kemudian keluar dari mesin ATM itu. Tidak lupa
memasang wajah seolah-olah happy. Kan orang lain tidak perlu tahu jika gaji
yang tadi pagi sudah diterima itu kini sudah tinggal bayang-bayangnya saja.
Asshhh... itu bukan tentang Anda.
Tenang saja. Itu tentang saya kok. Dan teman-teman yang senasib dengan saya
tentunya. Lantas saya bertanya; apa sih sebenarnya yang kita dapat dari bekerja
banting tulang ini? Oh, banyak banget. Bayangkan jika kita tidak memiliki
pekerjaan ini. Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga kan? Beras.
Lauk pauk. Minyak goreng. Sabun mandi. Nggak kebayang deh gimana kalau tidak
punya semuanya itu. Belum lagi kebutuhan lainnya seperti keperluan anak-anak
sekolah. Ongkos naik ojek mereka. Iuran RT. Iiiiiiih... mengerikan sekali kalau
sampai tidak punya penghasilan untuk membayarnya kan.
Pagi ini, semuanya itu lunas. Tepat
dihari kita menerima gaji. Memang sih, gaji itu habis begitu saja. Menguap
dengan hanya menyisakan beberapa lembar untuk sekedar bekal ‘operasional’
harian. Tapi. Alhamdulillah dong. Kita masih memilikinya. Nggak banyak memang.
Tapi, bagaimana pun juga tetap masih lebih baik, kan? Lebih baik sih. Tapi
masak sih cuman segini-gininya aja. Apa nggak ada cara lain yang bisa
menghasilkan pendapatan yang benar-benar ‘awet’?
Ada. Kata para ahli pengelola
keuangan, ‘investasikan’ sebagian dari pendapatan Anda di saham, di properti,
di warung, dimana saja deh. Yang penting bisa diputer untuk menghasilkan uang
lagi. Lucunya, ‘hasil’ dari invetasi itu menguap juga. Malah ada yang sampai
dengan modal pokoknya segala. Dan ketika kita menggugat nasihat orang pinter
itu, mereka bilang; “Yaaaah kan namanya juga investasi. Pasti ada resikonya
lah’. Maka sebagian dari pendapatan yang diinvestasikan itu pun tidak lagi bisa
dilacak. Raib tanpa jejak.
Apa nggak ada cara lain yang bisa
menghasilkan pendapatan yang benar-benar ‘awet’? Ada. Nah, kalau yang ini bukan
ahli keuangan yang bilang. Melainkan saya. Orang awam yang tidak mengerti
bagaimana caranya menjadikan uang beranak pinak. Lho, kalau nggak ngerti kenapa
ikutan nimbrung?!
Tenang saja. Karena saya tidak akan
nimbrung soal uang. Melainkan soal penghasilan yang awet bin langgeng. Kalau
soal uang mah, biar sajalah itu bagiannya para konsultan keuangan. Meskipun
saya sering melihat bahwa para konsultan keuangan itu pun kondisi keuangannya
tidak jauh beda juga dari kita-kita. Nggak perlu heran juga sih. Soalnya, memang
begitu sifat uang kan? Tidak betah berlama-lama berada dibawah kekuasaan
seorang konsumen tulen. Buktinya, ketika pendapatan kita naik; biaya hidup kita
juga ikut berjingkrak, dan merangkak meniti langit.
Makanya, kalau saya bilang; bukan
uang, penghasilan yang bisa awet itu. Lho, memangnya pekerjaan kita bisa
memberikan hasil lain selain uang? Ohohoho... bisa banget. Sangat bisa malah.
Makanya, keliru jika dalam bekerja kita hanya mengejar uang belaka. Karena dari
pekerjaan kita sesungguhnya bisa dihasilkan banyak hal lain. Misalnya apa?
Salah satunya adalah; nilai ibadahnya.
Halah, nilai ibadah. Emangnya ada
pahala ibadah jika kita bekerja? Ada. Tapi hanya buat mereka yang meniatkannya
untuk ibadah. Bagi mereka yang berniat bekerja itu hanya mengejar uang, yang
tentu tidak ada nilai ibadahnya dong. Ya iiyalah. Gue lakukan ini semata-mata
demi uang. Ya cuman uang itulah yang gue dapatkan. Tapi bagi siapa saja yang
meniatkan bekerja itu untuk menjadi bagian dari proses ibadah kepada Tuhannya,
maka pasti Tuhan akan menghargai ikhtiarnya. Dan Tuhan, pasti suka sekali
kepadanya.
Memangnya Tuhan nggak bakal tanya;
“Ibadah apa-an nih? Kok kayak gini?” Ya nggak bakalanlah. Yang namanya ibadah
itu kan luas maknanya. Bukan hanya sholat lima waktu. Puasa. Berzakat.
Menyumbang. Dan sebangsanya. Apapun tindakan baik yang kita lakukan dengan niat
ibadah; ya pasti bernilai ibadah. Hanya tindakan yang baik ya. Sebab, dalam
ibadah tidak ada keburukan yang boleh menyertainya.
“Lah, kayaknya sih ini cuman akal-akalan
si Dadang aja kaleee!” Anda boleh saja berpikiran begitu. Pada awalnya,
saya pun merasa begitu kok. Maklumlah, setelah bertahun-tahun kerja banting
tulang ya begitu-begitu saja. Wajar dong, kalau kita mencari penghiburan bagi
diri sendiri. Yaaa, minimal nggak terlalu sedih kan.
Tapi kemudian saya membaca kitab
suci. Jelaaaas sekali jika didalamnya Tuhan berfirman; “Barangsiapa yang
mengharapkan penghidupan didunia dan perhiasannya, kami berikan balasan penuh
atas pekerjaan mereka didunia dengan sempurna. Dan mereka tidak akan
dirugikan”. Firman itu ada dalam surah 11 (Hud) ayat 15. Ya persis
seperti kita ini; rajin bekerja banting tulang setiap hari, kemudian kita
mendapatkan gaji. Nggak kerja, ya nggak digaji kan. Makanya, alhamdulillah bisa
bekerja, dan bisa mendapatkan nafkah.
Tapi dalam ayat ke-16 Allah
nenambahkan;”Itulah orang yang tidak memperoleh apapun di akhirat.....” Hiiiy...
mengerikan sekali kan? Didunia kita memang bisa mencukupi kebutuhan hidup –
meskipun pas-pasan begini. Tapi, dengan cara kita bekerja seperti ini ternyata
kita tidak akan memperoleh apapun diakhirat. Padahal, kehidupan dunia kan hanya
sebentar saja. Sedangkan akhirat itu kekal. Jadi, apakah masih tepat ya cara
kita bekerja yang hanya diniatkan untuk mendapatkan sejumlah uang ini?
Dalam surah ke-11 itu Allah tidak
menambahkan keterangan lagi. Sepertinya, ada pelajaran yang belum tuntas. Lalu
saya bertanya suka-suka saja; “Ya terus bagaimana dong Tuhan, supaya dari
pekerjaan ini saya bisa mendapatkan penghasilan yang awet hingga bisa dibawa ke
akhirat?”
Ih, ada saja cara Tuhan menjawab
pertanyaan itu. Dalam surah 17 (Al-Isra) ayat ke-19. “Dan barang siapa
yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan
sungguh-sungguh, dan dia beriman,” demikian firman-Nya. “maka
mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.”
Oooh, ini toh yang bisa membuat
penghasilan kita lebih awet....
Ternyata sangat sederhana sekali
caranya. Cukup dengan meniatkan setiap pekerjaan yang kita lakukan itu untuk
menjadi bagian dari ibadah kepada Allah. Lalu, mengharapkan berbagai kompensasi
dan beragam benefit dari sisi-Nya kelak di akhirat. Oh, betapa mulianya
pekerjaan ini jika demikian. Maka tak pantas jika kita sia-siakan. Dengan niat
ibadah itu, mana mungkin kita mengerjakannya asal-asalan? Kita pasti
melakukannya dengan hal terbaik yang bisa kita dedikasikan, bukan?
Sungguh ketika kita hanya
mengharapkan gaji saja. Maka hanya gaji dari perusahaan itulah yang kita
dapatkan. Tapi ketika kita meniatkannya untuk beribadah, maka gaji itu pasti
dapat. DAN, kita mendapatkan lebih dari itu. Kalau demikian, pekerjaan ini
sungguh sangat berharga ya. Karena selain bisa menjadi sarana mendapatkan
nafkah buat keluarga, pekerjaan ini juga bisa menjadi jalan kita menuju kehidupan
yang indah. Di akhirat kelak. Insya Allah. Aamiin.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!