Salju tengah turun dengan deras
ketika seorang pria paruh baya tampak berdiri di sudut sebuah perpustakaan di
kotanya. Pria paruh baya itu berambut ikal, dengan janggut dan brewok yang
memenuhi sekujur dagunya.
Diantara rak-rak buku dgn koleksi
ribuan buku, ia tampak menatap tajam cover bukunya yang baru saja ia rilis.
Sambil mengelus-elus brewoknya yang tebal, ia menatap cover buku itu dengan
bahagia.
Ia layak bangga, sebab karyanya itu
kelak dikenang sejarah sebagai salah satu “konspirasi kemakmuran yang paling
gemilang dalam melakukan kudeta terhadap dominasi kapitalisme global”. Ia
berharap, karyanya itu mampu menghindarkan dunia dari statusiasi ekonomi yang
labil.
Cover buku itu bersahaja. Hanya
tertulis judulnya : Das Kapital. Dibawahnya tertulis : disusun oleh Karl Marx. Berlin tahun 1869.
Karl Marx, pria brewokan itu mungkin
memang layak bersuka cita dengan bukunya itu. Sebab sejarah kelak mencatat :
buku itulah yang paling gigih melawan eksploitasi kelas buruh oleh kelas pengusaha
kapitalistik.
Maka simaklah kalimat-kalimat
berikut yang tertuang dalam karyanya itu. Kaum pekerja selamanya hanya akan
jadi sekrup dalam mesin kapitalisme yang terus menggilas,
demikian ia pernah menulis.
Kelas pekerja/buruh akan terus jadi
alat produksi (tidak beda dengan mesin) yang akan dieksploitasi oleh kaum
pebisnis borjouis. Kaum pekerja hanya akan bermakna dalam nomer (nomer induk
pegawai acap lebih penting dari nama orang).
Dalam deretan angka nomer induk
pegawai itu, kaum buruh manusia lalu terpelanting dalam proses “dehumanisasi”
dan “depersonalisasi”. Kaum buruh/pekerja itu diam-diam berubah menjadi “benda
mati”, dan disedot “nilai produktivitasnya” demi kemakmuran para juragan
bisnis.
Dengan kata lain, setiap tetes
keringat kaum buruh/karyawan akan diperas demi akumulasi profit kaum bisnis
kapitalis.
Dalam kelas-kelas seminar tentang
entrepreneurship, sering diajarkan taktik leverage/daya ungkit. Leverage
artinya : kita menggunakan tenaga ratusan orang lain untk menciptakan profit
bagi kita sebagai pemilik bisnis.
Karl Marx menulis cara seperti itu
tak beda dengan perbudakan. Modern slavery. Dan kaum pekerja yg akan terus jadi
budak-budaknya.
Kini, ketika kaum pebisnis kian
kapitalistik (ingat praktek outsourcing yang kian marak), kalimat-kalimat Marx
itu mungkin tetap bergema.
Lewat buku Das Kapital itu, ia lalu
menyodorkan alternatif : socialist economy. Ia menulis sebuah bisnis akan lebih
mulia jika 100% sahamnya dimiliki oleh pekerja secara bersama-sama.
Itulah saat ketika tidak ada lagi
kelas juragan dan kelas buruh. Sebab semua pekerja bersama-sama memiliki
bisnis.
Koperasi mungkn model bisnis yang
paling mirip dengan gagasan sosialisme Marx. Dan keadilan bisnis mungkn bisa
dipeluk dengan jalan itu.
Sebab, betapa indahnya kalau 100%
saham Telkomsel dimiliki oleh koperasi karyawannya.
Betapa elegannya, jika 100% saham
Astra International dimiliki oleh koperasi karyawannya.
Dan sungguh, keadilan bisnis akan
berkibar-kibar jika 100% saham Indofood, Aqua, dan Bank BCA dimiliki oleh
koperasi karyawan mereka.
Karl Marx sudah memimpikan model
bisnis seperti itu sejak 140 thn silam. Diantara butiran salju di kota Berlin.
Sungguh, gagasan itulah sejatinya
yang layak disebut sebagai “konspirasi kemakmuran”. Sejenis konspirasi yang
bisa mengkudeta labilnya ekonomi dunia yang kapitalistik.
Sayang, model bisnis impian seperti
itu acap jatuh menjadi utopia (ilusi). Gagal di-ejawantah-kan menjadi realitas.
Namun model bisnis seperti itu mungkin layak terus digaungkan. Sebab keadilan
bisnis yang hakiki hanya bisa terwujud via jalan tersebut.
Inilah saat munculnya “class-less
society” yang pernah diimpikan oleh Karl Max. Saat tiada lagi pertentangan
kelas juragan vs kelas buruh. Saat tak ada lagi pembedaan antara kaum
entrepreneur yang sok heroik dengan kaum pekerja yang terus ditindas.
Salju terus turun di kota Berlin.
Ditemani secangkir kopi hangat, Marx terus merenungi isi bukunya, Das Kapital.
Gagasan Marx tentang keadilan bisnis mungkin masih akan terus jadi fatamorgana,
terjepit dalam hegemoni kapitalisme global.
Pagi itu, dingin yg membeku kian
menyergap kota Berlin. Marx tampak menikmati tegukan terakhir kopi hangatnya.
Semangat pagi, teman. Silakan
diminum kopi atau teh hangatnya.
Written by Yodhia Antariksa
Photo
credit by : JD Hancock @ flickr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar