Oleh Asmawi Mahfudz
Fiqih adalah nilai-nilai ajaran Islam yang berdimensi normatif sebagai aturan dasar bagi seorang Muslim dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Aturan ini muncul dan berkembang seiring dengan pengamalan Islam itu sendiri. Tatkala Islam diamalkan pada masa Rasulullah SAW dan Sahabat, di situ juga berkembang aturan-aturan Islam untuk mengamalkannya. Demikian juga pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, fiqih dijadikan sebuah kerangka acuan untuk mengamalkan Islam.
Fiqih adalah nilai-nilai ajaran Islam yang berdimensi normatif sebagai aturan dasar bagi seorang Muslim dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Aturan ini muncul dan berkembang seiring dengan pengamalan Islam itu sendiri. Tatkala Islam diamalkan pada masa Rasulullah SAW dan Sahabat, di situ juga berkembang aturan-aturan Islam untuk mengamalkannya. Demikian juga pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, fiqih dijadikan sebuah kerangka acuan untuk mengamalkan Islam.
Hanya saja pada masa awal-awal Islam tersebut fiqih teraktualisasikan dalam alam realitas empiris, belum menjadi sebuah disiplin kajian ilmu pengetahuan. Fiqih ajaran Islam diamalkan sesuai pemahaman saat itu, yang bersifat normatif dan praktis sesuai dengan kebutuhannya.
Dengan praktik ajaran Islam semacam itu, tidak heran kalau fiqih bernuansa arabisme, fanatisme, sektarianisme dan isme-isme yang lain sesuai dengan lingkungan di mana orang arab dan kulturnya mengamalkan Islam dalam wujud fiqih. Di samping itu praktik pengamalan Islam kala itu lebih menitikberatkan kepada penanaman akidah dan kesadaran kepada keberagamaan Islam, di banding kepada dimensi-dimensi praktik formalitas keagamaan termasuk di dalamnya adalah bidang fiqih. Sehingga nuansanya kelihatan dominan aspek aqidah dan ubudiyah.
Misalnya dalam ibadah shalat, thaharah, haji, puasa dan lain-lain. Bidang-bidang ini dipraktikkan oleh orang Arab yang notabene meyakini kebenaran ajaran yang di bawa oleh Muhammad SAW. Praktik-praktik yang dijalankan oleh mereka dengan tidak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mendarah daging, turun temurun diyakini kebenarannya. Maka aspek-aspek nuansa ibadah tauhid sebagai risalah Muhammad SAW dan kebiasaan sehari-hari menjadi sinergi dan berjalan bebarengan.
Taruhlah bidang thaharah yang di dalamnya dianjurkan untuk memakai siwak ketika akan menjalankan ibadah. Dalam Hadits Rasulullah, (” Lawla an Asyuqa ‘ala Ummati La Amartuhum bi siwaki ‘inda Kulli Sholat”, Seandainya tidak memberatkan bagi umatku maka aku perintahkan untuk memakai siwak setiap akan melakukan sholat).
Dalam Hadits ini dapat dipahami sebagai anjuran dan kesunahan bagi seorang Muslim untuk memakai siwak ketika mau melakukan ibadah. Artinya Praktik siwak sebagai sebuah piranti thaharah (bersuci) dan ibadah menjadi dua hal yang dapat menyatu dan berpisah tergantung pemahaman kita dalam menyimpulkan Hadits di atas.
Tapi nampaknya memaknai siwak sebagai sebuah keniscayaan untuk mendapatkan kesunahan beribadah kadang mendera akal pikiran kita. Padahal piranti atau alat bersuci tidak hanya kayu Arak/siwak, tapi bisa pasta gigi atau alat kesehatan yang lain. Tetapi kalau fanatisme dan formalitas beribadah kita telah terpatri, maka menggunakan selain siwak berarti tidak mendapatkan kesunahan thaharoh sesuai yang di terangkan dalam Hadits Rasul tersebut.
Itu merupakan sebagian contoh dari praktik keberagaan Islam yang kadang selalu bergandengan tangan di mana Islam akan dipraktikkan, diamalkan, diyakini kebenarannya. Seakan-akan antara aspek praktik kemanusiaannya dan aspek ibadah ilahiyahnya menjadi satu dan sulit untuk dibedakan. Belum lagi nanti berhubungan dengan aspek munakahah, ekonomi Islam, pidana Islam dan lain sebagainya.
Maka tema yang sekarang lagi ngetrends ”Islam Nusantara” patut diapresiasi sebagai review terhadap praktik keberagamaan Islam yang semakin hari semakin berkembang aspek kuantitas pemeluknya di dunia ini. Membutuhkan ide-ide dari para pemikir Muslim, contoh-contoh empiris dari praktik keberagaan Islam di dunia Muslim yang barangkali dapat dijadikan miniature untuk dicontoh di belahan dunia Muslim yang lain. Tak terkecuali praktik Muslim Indonesia sebagai pemeluk mayoritas Muslim di dunia.
Fiqih Nusantara berkembang seiring dengan masuknya Islam di bumi Nusantara, mulai zaman penyiar Islam awal (wali songo), masa kolonialisme, masa kebangkitan pasca kemerdekaan, masa orde baru dengan gencarnya arus modernisasi sampai masa milinium sekarang ini. Dari sekian fase atau periodesasi berkembangnya Islam di Indonesia, nampaknya ajaran Islam dapat dipraktikkan dengan subur oleh para pemeluknya. Walaupun juga mengalami dinamika keIndonesiaan yang sangat kental.
Misalnya pada masa penyiar Islam nuansa sinkretisme ajaran Islam mewarnai pengamalan Islam. Ini tidak lepas dari kultur dan keyakinan masyarakat penganut agama agama sebelum Islam. Misalnya kejawen, Hindu, Budha dan aliran-aliran keagamaan yang lain. Maka dengan kondisi semacam ini para penyiar Islam juga menyampaikan Islam dengan pendekatan kultural, agar Islam bisa dipahami dan diamalkan secara sederhana tanpa meninggalkan elan ajaran Islam yang asasi. Artinya pilihan fiqih yang diterapkan oleh para penyiar Islam kala itu juga fiqih-fiqih moderat yang dapat bersanding dengan budaya Nusantara.
Kita dapat melihat ketika acara resepsi pernikahan, syawalan, kupatan, sunatan (khitan), slametan, syukuran dan lain sebagainya. Di dalam acara-acara itu nuansa fiqih Nusantara sangat kentara kalau tidak bisa dikatakan dominan. Artinya nilai-nilai budaya atau adat kebiasaan masyarakat Nusantara berkolaborasi dengan nilai-nilai keIslaman.
Pada masa Kolonialisme di Bumi Nusantara, praktik fiqih sebagai bagian dari Islam juga berhadapan dengan penguasa kolonial kala itu. Sebut saja tarik ulur kebijakan recepcie oleh pemerintah belanda sehingga Fiqih masa itu bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum adat. Atau teori sebaliknya “recepcie in contrario” yang menyatakan sebaliknya bahwa hukum adat dan praktik hukum Islam (fiqih) bisa berjalan beriringan untuk masyarakat Nusantara. Baru pasca kemerdekaan dan orde baru ketika Islam sudah semakin kuat dan kondisi struktur social masyarakat Indonesia jua tertata kemudia muncul fiqih ke-Indonesiaan oleh Hasbi ash-Shidiqi, Fiqih Sosial oleh Raim Am NU, KH. Sahal Mahfudz dan KH Ali Yafie. Tidak berhenti di situ saja upaya pribumisasi Islam oleh KH. Abdurahman Wahid, Reformasi bermadhhab oleh Prof. Qadri Azizi, menyempurnakan ikhtiyar para pejuang Islam Nusantara dalam rangka menjalankan fiqih sesuai dengan kondisi masyarakat Nusantara.
Maknanya upaya-upaya para pemikir Muslim Indonesia untuk mensosialisasikan Islam dan Hukum Islam dalam bingkai masyarakat Nusantara bergerak, dinamis, mewujudkan bentuk-bentuk ajaran yang menyandingkan antara aspek ke-Islaman dan Ke-Nusantaraan. Yang menurut penulis terdapat beberapa sinergis di antara keduanya.
Pertama. Antara Islam dan Nusantara, sama-sama mewujudkan peran masyarakat yang percaya kepada Tuhan yang maha Besar. Allah Swt. Artinya dalam sisi ini potensi monoteisme(taudidiyah-ilahiyah) dalam tradisi agama tumbuh kental dalam bumi Pertiwi. Apalagi masyarakatnya juga mendukung untuk mengamalkan dan meyakini adanya dzat diluar kemampuan manusia.
Kedua, Fiqih yang berkembang di Indonesia sejak awal penyiarannya sampai sekarang selalu biasa beradapsi dengan lingkungannya. Sisi-sisi adaptatip inilah yang kemudian mengejawantah menjadi sebuah aturan yang luwes, ramah, berhadapan dengan umatnya kapanpun berada. Padahal ulama-ulama pendahulu memperjuangkan aktualisasi Islam tidak berbekal ilmu-ilmu kemasyarakatan.
Misalnya ilmu sosiologi, antropologi, politik apalagi saintek. Nampaknya konsep fiqih yang selalu ramah dan luwes dengan lingkungannya yang diterapkan oleh ulama-ulama nusantara dahulu. Mungkin debatable tentang madhhab fiqih juga belum menjadi matakuliah-matakuliah di Perguruan Tinggi. Para ulama mampu menterjemahkan aspek Insaniyah yang terdapat dalam Hukum Islam dalam dunia nyata kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Fiqih nusantara mampu berkembang di Bumi Nusantara di dasari oleh niatan keikhlasan untuk memperjuangkan Islam, Ya’lu wa La Yu’la Alayh. Para pejuang tidak memikirkan status social mereka, kedudukan mereka, apalagi kepentingan mencari jabatan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bisa dibuktikan oleh fiqih yang menjadi kurikulum di pesantren sebagai soko guru perkembangan fiqih di Nusantara. Pesantren paada masa awal-awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sealalu mengambil tempat yang jauh dari keramaian. Tujuannya Islam atau fiqih dapat diamalkan, dipelajari secara totalitas (tanpa ada pretensi apapun). Karena ketika Islam atau fiqih di dalami dengan berinteraksi dengan keramaian kepentingan. Yang dominan di dalamnya adalah kepentingannya bukan nilai-nilai ajaran yang dikembangkan.
Artinya aspek yang ketiga ini ada kebersihan jiwa dalam fiqih yang disamapaikan oleh para ulama Nusantara. Tidak sekedar normativitas ajaran yang kaku, rigid, yang seolah bertabrakan dengan yang lain. Maka tidak heran dimensi-dimensi fiqih Nusantara juga bebarengan dengan ajaran tasawuf atau mistisisme. Misalnya para pengikut thariqah yang ada di Nusanatara kebanyakan adalah ghazalian (mereka yang mengikuti ajaran al-Ghazali dalam mempersatukan dimensi fiqih dan tasawuf).
Maka dari itu fiqih Madzhab Nusantara, kapanpun dia akan direalisasikan harus selalu mengacu kepada tiga hal di atas, yaitu dimensi tauhid-ilahiyah, dimensi adaptatif lingkungan dan juga dimensi ruhaniyah. Dengan ketiga nilai inilah fiqih sejak zaman Rasulullah sampai sekarang dapat eksist mencapai kejayaannya, mengantarkan masyarakatnya menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Wa Allahu A’lam!
Asmawi Mahfudz, Mustasyar NU Blitar, Pengasuh Pondok Pesantren al-Kamal, dan pengajar IAIN Tulungagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar