Oleh: Haidar Bagir
Dalam hubungan dengan pemahaman atas
prinsip ketunggalan wujud, para pemikir faham ini—diwakili oleh Sayid Haidar
‘Amuli—biasa membagi manusia dalam hal kemajuannya di dalam perjalanan ruhaniah
ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah orang-orang
kebanyakan (awam). Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang hanya
menggunakan akalnya saja (dzaw al-‘aql). Yang paling rendah adalah
orang-orang yang tak bisa melihat sesuatu yang lain kecuali dunia kasat mata
ini. Bagi mereka, tak ada sesuatu di baliknya. Masih dalam kelompok orang awam
ini, terdapat sekelompok orang yang bisa melihat bahwa di balik dunia fenomenal
yang kasat mata ini sesungguhnya ada Sesuatu Zat Yang Mutlak, disebut Tuhan.
Tapi, bagi kelompok ini, Tuhan tampil sebagai Zat Yang (semata-mata) Transenden
atau terpisah dari ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam pandangan ini, tak ada hubungan
lain antara Tuhan dan ciptaannya kecuali hubungan eksternal seperti penciptaan
dan dominasi Allah atas ciptaan-ciptaan-Nya. Mereka inilah “manusia-manusia
lahir” (ahl al-zhâhir).
Kelompok kedua, yang sudah lebih
tinggi maqâm-nya dalam perjalanan ruhaniah ini (khawâshsh,
yakni orang-orang yang telah menggunakan intuisi-mistikalnya, atau dzaw
al-‘ain), telah berhasil mencapai tingkat fanâ’—yakni
kesirnaan-diri di dalam Allah Swt. Bersama dengan itu, mereka pun tak lagi
menampak alam semesta ini. Di “mata” mereka, yang ada hanya Allah. Tak ada
diri mereka, tak ada pula ciptaan-ciptaan-Nya yang lain. Yang mereka lihat
hanya “ke-Tunggal-an”, hanya Allah. Namun, ketika orang-orang ini kembali dari
ke-fanâ’-annya—karena fanâ’ adalah satu di antara berbagai
keadaan ruhaniah (ahwâl ) yang bersifat sementara
saja—maka mereka kembali melihat kejamakan (multisiplisitas)
ciptaan-ciptaan-Nya. Hanya, kali ini mereka melihat segala kejamakan ini
sebagai ilusi, atau maya. Dalam pandangan mereka, dunia fenomenal itu tak
memiliki nilai ontologis (kewujudan) karena sejatinya kesemuanya itu tak real.
Objek-objek eksternal itu sesungguhnya tak “wujud” dalam makna-sejati kata itu.
Tapi, di mata kelompok ketiga
(filosof-sufi dari maqâm tertinggi), pandangan kelompok kedua
ini tak sepenuhnya benar. Dunia eksternal ciptaan-ciptaan ini sesungguhnya benar-benar
ada. Bahkan, ketika mereka mengalami “penglihatan” (visiun) akan Allah, mereka
sebenarnya melihat itu sebagai terpantul dalam ciptaan-ciptaan-Nya. Hanya
saja, sebagian orang dalam kelompok ketiga, yang belum lagi mencapai puncak
perjalanan, silau oleh sinar kemilau tak terkira (yang bersumber dari) Allah,
sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk melihat ciptaan-ciptaan yang
memantulkan-Nya itu.
Jika bagi kelompok pertama – yang
melihat Tuhan dalam berbagai ciptaan di alam semesta -- Sang Mutlak bertindak
sebagai cermin-mengkilat yang di dalamnya ciptaan-ciptaan-Nya terpantulkan,
maka bagi kelompok kedua segala-sesuatu yang selain Allah itulah yang memantulkan
Sang Mutlak. Dalam kedua hal itu, orang biasanya hanya melihat
bayangan-bayangan yang dipantulkan dalam cermin itu, sementara cermin itu
sendiri tak tampak.
Dalam pandangan kelompok ketiga yang
telah masuk ke dalam yang elite dari para elite (khawwâsh al-khawwâsh atau
orang-orang yang menggunakan akal dan intuisinya, dzaw al-‘aql wa al-‘ain)
ini, hubungan antara Allah dan ciptaan-Nya mengambil bentuk ke-Tunggal-an dalam
kejamakan. Orang-orang
yang telah mengalami “tinggal-tetap” (baqa) dalam Allah ini mampu melihat
Allah dalam ciptaan-Nya dan ciptaan-Nya dalam Allah. Mereka dapat melihat, baik
cermin maupun bayangan-bayangan yang terpantul di dalamnya. Dengan kata lain,
Allah dan ciptaan-Nya secara bergantian bertindak sebagai cermin dan bayangan.
(Satu-satunya) “wujud”—dalam hal ini harus ditulis sebagai “Wujud”—adalah
sekaligus Allah dan ciptaan-Nya, Sang Mutlak dan dunia fenomenal (inderawi),
serta ke-Tunggal-an dan kejamakan (unitas dan multiplisitas). Penglihatan
akan hal-hal fenomenal tidak menghalangi mereka dari melihat ke-Tunggal-an
murni dari Hakikat puncak. Tak pula penglihatan akan yang Tunggal menghalangi
mereka dari menangkap kejamakan.
Sebaliknya, keduanya melengkapi
satu sama lain dalam mengungkapkan struktur Hakikat yang sebenarnya. Karena
keduanya adalah dua aspek dari Hakikat yang sama. Ke-Tunggal-an menampilkan
aspek “kemutlakan” (ithlâq), sementara kejamakan menampilkan aspek “perluasan
konkret” (perluasan dalam bentuk-bentuk kasat mata atau tafshîl )
(dari Yang Mutlak itu). Orang-orang yang telah mencapai maqâm ini
disebut juga sebagai “yang memiliki dua mata (dzaw al-‘ainyin),” yang
satu melihat ke-Tunggal-an dan yang lain melihat kejamakan. Proses penampakan
ke-Tunggal-an yang pada awalnya tak-terbedakan ke dalam berbagai bentuk ini
biasa disebut sebagai “pengejawantahan-diri” atau “manifestasi-diri” (tajallî )
dari Sang Wujud (Allah).
Memisalkan
hubungan ini dengan hubungan matahari dan sinarnya mungkin akan membantu.
Sinar matahari hanya ada bersama dengan matahari, sebagai sumbernya. Selama
ada matahari, sinar matahari ada. Sinar matahari juga tak pernah berada
terpisah dari matahari itu sendiri. Tapi, sinar matahari tak sama dengan
matahari itu sendiri. Jadi, meski tak pernah terpisah, sinar matahari berbeda
dengan matahari.
[Islam-Indonesia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar