oleh:
Haidar Bagir
Meski menganggap bahwa semua agama
adalah kebenaran, namun Ibn ’Arabi berpendapat bahwa agama yang paripurna dan
serba mencakup adalah agama Islam. Agama-agama lain diturunkan sesuai dengan
konteks zaman dan kaum yang kepadanya agama itu diturunkan. Tidak demikian
halnya dengan agama Islam. Agama terakhir, yang dibawa oleh Nabi terakhir, ini
telah mencakup kesemua agama terdahulu.
”Semua agama wahyu (sharai’)
adalah cahaya. Di antara agama-agama ini, agama yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw adalah seperti cahaya matahari di antara cahaya
bintang-bintang lain.
Ketika matahari muncul, cahaya
bintang-bintang lain akan tersembunyi dan cahaya tercakup dalam cahaya
matahari. Ketersembunyian ini adalah seperti pe-nasakh-an agama-agama
lain itu melalui (kehadiran) agama yang diwahyukan kepada Muhammad. Sekalipun
demikian, agama-agama itu sebenarnya tetap eksis, sebagaimana cahaya-cahaya
bintang (tetap) terpancar. Hal ini menjelaskan mengapa dalam agama
serba-inklusif kita, kita diwajibkan untuk percaya pada kebenaran semua rasul
dan semua agama yang diwahyukan. Semua agama tersebut tidak menjadi batal
dengan adanya penghapusan (nasakh) – itu adalah pendapat orang bodoh.
Yang benar adalah, berbagai syari’ah itu semuanya bermuara pada syari’ah Nabi.
”
Menurut sang Syaikh, sebelum turun
ke alam tajalliy, syari’at adalah tunggal. Baru ketika berada di
alam ciptaan, dan terikat oleh zaman, masyarakat, dan lokasi-geografis, ia
menjadi beragam sejalan dengan kekhasan misi dan risalah masing-masing nabi.
Pandangan Ibn ‘Arabi tentang posisi
Islam di tengah agama-agama lain ini terkait erat dengan gagasannya tentang Nur
Muhammadi atau Haqiqah Muhammadiyah, sebagai ciptaan pertama yang
mencakup tajalliy sempurna (yang mungkin) dari Allah. Nah
keberadaan para Nabi sesungguhnya mengambil bagian dalam Nur Muhammadi ini.
Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi memahami bahwa syari’at Muhammad bukanlah hanya
penyempurna bagi syari’at-syari’at terdahulu. Yang lebih penting adalah bahwa
sesungguhnya keberadaan syari’at-syari’at terdahulu adalah bagian dari upaya
merealisasikan syari’at Muhammad, dalam konteks zaman dan masyarakat yang di
dalamnya para Nabi, sebelum Muhammad, diutus. Dengan kata lain,
syari’at-syari’at terdahulu adalah manifestasi kontekstual dari syari’at Nabi
Muhammad, yang disebutnya sebagai “syari’at penuh rahmat”.
Di tempat lain Ibn ’Arabi mengutip
sabda Nabi Muhammad saw:
“Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya
turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti
sunnah kami, dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari`ah
kami.”
Akhirnya, setiap tulisan tentang
gagasan Ibn ‘Arabi tentang agama-agama tak akan lengkap tanpa membahas sebuah
cuplikan sya’ir Ibn ‘Arabi, yang sering dimaknai sebagai sikap sang Syaikh
untuk menyamakan semua agama.
“Hatiku telah mampu menerima aneka
bentuk (forma); ia merupakan padang-rumputnya menjangan, biaranya para rahib,
rumahnya berhala, ka`bah tempat orang bertawaf, sabaknya Taurat, dan mushafnya
al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang kuikuti kemana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku:”
Berdasarkan puisi ini, Seyyed Hosein
Nasr, misalnya, menyimpulkan bahwa Ibn Arabi “menyadari bahwa
syari’at-syari’at yang diturunkan Tuhan adalah menuju ke puncak/tujuan-akhir
yang sama.” Pernyataan Nasr bisa dibenarkan dalam makna bahwa semua agama
memang memanifestasikan kebenaran, seperti diuraikan di atas. Tapi, adalah
Islam yang merupakan perwujudan paling sempurna dan meliputi dari “kemauan”
Tuhan di alam pasca tajalliy-Nya. Meski agama-agama lain juga
didasarkan pada cinta, tapi adalah Islam yang paling tepat disebut sebagai
agama cinta. Selain didukung oleh gagasan umumnya tentang agama-agama, hal ini
dipertegas oleh pernyataan Ibn ‘Arabi sendiri dalam dalam Dzakha’ir
al-A‘laq (syarah Tarjuman al-Asywaq), bahwa bahwa `agama
cinta’ yang ia maksud – melampaui kebenaran agama-agama lain — ialah agama Nabi
Muhammad. Hal ini dipertegas dengan rujukannya kepada firman Allah dalam
al-Quran : “Katakanlah (hai Muhammad), kalau kalian betul-betul mencintai
Allah, maka ikutilah aku –niscaya Allah akan mencintai kalian.” (QS. 2 :31) [Islam-Indonesia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar