Oleh:
Haidar Bagir
Dalam berbagai kepustakaan sufi,
biasa dikutip sebuah hadis Qudsi yang biasa disebut sebagai hadits
al-kanz. Hadis ini sangat sentral bukan hanya dalam menjelaskan penciptaan,
melainkan juga “motif” Allah yang berada di balik penciptaan alam semesta.
“Aku ‘sebelum ini’ (kata “sebelum”
di sini tidak terkait dengan waktu serial, melainkan jenis waktu lain semacam
gagasan elan vital-nya Bergson) adalah perbendaharaan yang
tersembunyi. Maka Aku Rindu untuk dikenali. Maka Aku ciptakan Ciptaan agar Aku
dikenali.”
Melalui hadis Qudsi, yang juga
banyak dikutip oleh Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi ini, Allah mengungkapkan bahwa
alam semesta tercipta sebagai “konsekuensi” kerinduannya untuk dikenali. Pada
gilirannya, melalui suatu hadis Qudsi yang lain, kita diberitahu bahwa
kerinduannya ini merupakan “konsekuensi” langsung dari Esensi-Nya sebagai Zat
Pengasih dan Penyayang :
“Aku ingin mengenalkan Diri-Ku bahwa
Aku Pengampun, Penutup Aib, Yang Mahaindah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Karena itu, Aku menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.”
Sebagai “konsekuensi” dari wujud-Nya
Yang Pengasih dan Penyayang, maka meluaplah Kasih-sayang-Nya dalam bentuk
kebaikan-kebaikan yang mengambil bentuk alam ciptaan. Karena, menyebut-Nya
sebagai Pengasih dan Penyayang tak akan bermakna apa-apa jika tak meluap
dari-Nya kasih-sayang atau kebaikan.
Kesimpulan pertama yang bisa kita
ambil dari pembahasan ini adalah bahwa alam semesta dicipta berkat dorongan
atau luapan Kasih-Sayang Allah dan, karena itu, pada dirinya sendiri merupakan
kebaikan. Selanjutnya, luapan Kebaikan Allah
itu mengambil bentuk limpahan (emanasi atau faydh) “menurun”,
seperti pancaran sinar matahari, yang menciptakan hirarki wujud-wujud. Ada
wujud yang paling dekat dengan-Nya, ada juga yang, secara berlapis, lebih jauh
dari-Nya. Tapi lapisan ini tak boleh difahami sebagai terpisah-pisah.
Sebaliknya, lapisan-lapisan ini menyatu satu sama lain, sehingga – betapa pun
berlapis-lapis – membentuk suatu kesatuan wujud yang tak terbagi-bagi
(simple, basith). Perlu juga diingatkan di sini bahwa dimensi waktu
dan tempat, ketika dikaitkan dengan Allah, tak mengandung makna sebelum dan
sesudah atau pun jarak. Keterpisahan, baik waktu maupun jarak adalah tak
mungkin, jika dikaitkan dengan Allah Swt., karena hal itu akan meniscayakan
keterbatasannya – yang adalah mustahil. (Lihat tulisan tentang “Barzakh”
dan “Waktu” setelah ini).
Nah, lapis-lapis – atau
martabat-martabat –tersebut terbagi dua. Yang pertama adalah yang berada dalam
lingkup Kehadiran Ilahi (Hadhrah Ilahiyah), dan selebihnya
martabat-martabat yang masuk ruang lingkup “selain Allah” (maa siwa Allah).
Yakni alam semesta – mencakup alam fisik-fenomenal (‘alam syahadah)
maupun alam malakut (alam khayal, atau alam imajinal). Martabat
tertinggi dalam Kehadiran Ilahi adalah Dzat al-Wujud (Wujud Ketuhanan itu
sendiri). Martabat ini sepenuhnya bebas dari penyifatan atau atribusi. Ia
berada di atas penyifatan dan atribusi. Tak ada cara apa pun yang dengannya
kita bisa menunjuk martabat ini. Itu sebabnya kenapa martabat ini juga disebut
Ghayb al-Ghuyub (Yang Gaib dari Kegaiban-kegaiban). Dengan kata lain Misteri
Mutlak. Oleh alasan yang sama, Martabat ini sering disebut sebagai Kekosongan
Mutlak. Ajaran Tao menyebut martabat ini sebagai Wu wu wu (non-non-non
Wujud). Orang Hindu menyebutnya Nirguna Brahman. Heidegger menyebutnya Nothingness.
Dan Ronggowarsito menunjuknya sebagai “suwung sakjatining isi” (kosong tapi
sejatinya berisi/ada).
Selanjutnya, melalui pancaran atau
penetapan awal (first determination atau ta’ayun awwal)
dari Dzat al-Wujud itu, terciptalah Kehadiran Ilahi (Hadhrah Ilahiyah)
yang disebut sebagai Martabat Ahadiyah (Ketunggalan). Masih dalam Hadhrah
Ilahiyah, melalui pancaran atau penetapan kedua (ta’ayun tsani)
terciptalah Martabat Wahidiyah.
Berbeda dengan Dzat al-Wujud,
Ahadiyah – berbeda dengan Dzat al-Wujud yang melampaui
penyebutan atau atribusi — masih bisa disebut atau diungkapkan dengan
pernyataan-pernyataan negatif (via negativa), seperti laysa ka
mitsli-Hi syai’, dsb. Allah dalam Perbendaharaan Tersembunyi, seperti
diungkap dalam hadis yang dikutip di atas, adalah dalam Hadirat atau Martabat
Ahadiyah ini.
Perbedaan Martabat Ahadiyah dan
Wahidiyah terkait dengan perbedaan makna kata ahad dengan wahid yang
masing-masing menjadi dasar penamaan kedua martabat Ilahiyah ini : ahad itu
berarti tunggal mutlak, tak terbagi, tak terkali, tak tertambah atau
terkurangi, sedang wahid itu satu yang bisa dikali , dibagi,
ditambah, dan dikurangi (misal, dikali 2 jadi 2, dibagi 2 jadi 1/2, ditambah 1
jadi 2, dst). Memang, tidak seperti Martabat Ahadiyah yang memiliki sifat
ketunggalan, Martabat Wahidiyah sudah mengandung kemajemukan. Yakni mengandung
ilmu Allah – kesadaran Allah akan “potensi” yang terkandung dalam kesempurnaan
Dzat-Nya (Kamalat dzati-H), yang melahirkan arketipe-arketipe
abadi/permanen (al-a’yan al-tsabitah), yang menjadi model-model bagi
maujud-maujud di alam semesta (lihat judul khusus mengenai al-a’yan
al-tsabitah yang akan datang). Pada Martabat Wahidiyah ini Tuhan sudah
“turun ke level asma’ dan sifat, yang memang sudah
berjumlah banyak (majemuk).
Barulah, selanjutnya, dari level
Wahidiyah yang mengandung model-model ciptaan di alam semesta ini, pancaran
wujud sampai ke level alam semesta (‘alam, maa siwa Allah,
yang selain Allah). Mulai dari alam malakut atau
alam mitsal – kadang disebut alam khayal atau alam
imajinal (yang masih memiliki sifat bentuk dan jumlah, tapi tak memiliki wadag konkret).
Para awliya’ dan ‘arifin yang mempunyai akses
ke sini bisa melihat gambaran persis sesuatu, padahal sesuatu itu tak ada
bentuk konkretnya. Gambaran masa depan juga bisa diakses melalui alam mitsal ini.
Kemampuan ini yang biasa disebut sebagai kasyf, atau fath.
Rasul saww., misalnya, ketika isra’-nya diragukan, Allah
menunjukkan kepada beliau gambar/bentuk Masjid al-Aqsa di depan matanya (tanpa
bisa dilihat orang lain), sehingga beliau bisa menerangkannya secara detil di
depan orang-orang. Pengetahuan yang gaib, yang datang kepada manusia-manusia
pilihan melalui alam mitsal ini bisa sampai kepada mereka,
baik dalam keadaan jaga (yaqadhah) maupun tidur (melalui mimpi,
khususnya karena mimpi termasuk dalam alam mitsal ini).
Pada gilirannya, alam mitsal ini
adalah alam-antara yang memisahkan alam asma’ dan sifat dengan
alam syahadah (alam inderawi/empiris), yang merupakan alam terbawah atau alam
rendah (dunya). Karena sifatnya sebagai perantara ini, alam mitsal disebut
juga sebagai alam barzakh. (Kelak, kita ketahui bahwa alam kubur,
yang mengantarai alam dunia dan alam akhirat disebut juga alambarzakh bersama
alam mimpi). Pada gilirannya alam inderawi masih bisa dibagi-bagi ke alam
manusia, hewan, tumbuhan, mineral, dan alam materi-awal (al-hayula al-ula).
Mengingat Allah adalah Cahaya, maka
makin menurun posisi suatu martabat atau alam dalam hirarki wujud, makin rendah
intensitas cahaya yang membentuknya. Jika Allah pada puncaknya adalah Cahaya
Mutlak, maka Materi Awal adalah kegelapan mutlak. (Untuk urut-urutan martabat
dan alam, lihat bagan di bawah ini)
Martabat Dzat al-Wujud atau Ghayb al-Ghuyub (Misteri
Mutlak) .
Martabat Ahadiyah (Martabat al-Kanz) (Ruhani-Tunggal)
Martabat Wahidiyah (Martabat Asma’ dan Sifat/al-a’yan
al-tsabitah) (Ruhani-Majemuk)
Alam Mitsal (Alam Khayal/Alam Barzakh) (Antara Ruhani
dan Material-Majemuk)
Alam Syahadah (Empiris) (Materi-Majemuk)
[Islam-Indonesia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar