Jumat, 13 November 2015

Hirarki Wujud menurut Ibn ‘Arabi


Oleh: Haidar Bagir
Dalam berbagai kepustakaan sufi, biasa dikutip sebuah hadis Qudsi yang biasa disebut sebagai hadits al-kanz. Hadis ini sangat sentral bukan hanya dalam menjelaskan penciptaan, melainkan juga “motif” Allah yang berada di balik penciptaan alam semesta.

“Aku ‘sebelum ini’ (kata “sebelum” di sini tidak terkait dengan waktu serial, melainkan jenis waktu lain semacam gagasan elan vital-nya Bergson) adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Maka Aku Rindu untuk dikenali. Maka Aku ciptakan Ciptaan agar Aku dikenali.”

Melalui hadis Qudsi, yang juga banyak dikutip oleh Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi ini, Allah mengungkapkan bahwa alam semesta tercipta sebagai “konsekuensi” kerinduannya untuk dikenali. Pada gilirannya, melalui suatu hadis Qudsi yang lain, kita diberitahu bahwa kerinduannya ini merupakan “konsekuensi” langsung dari Esensi-Nya sebagai Zat Pengasih dan Penyayang :

“Aku ingin mengenalkan Diri-Ku bahwa Aku Peng­ampun, Penutup Aib, Yang Mahaindah, Yang Ma­ha Pengasih dan Penyayang. Karena itu, Aku men­ciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.”
Sebagai “konsekuensi” dari wujud-Nya Yang Pengasih dan Penyayang, maka meluaplah Kasih-sayang-Nya dalam bentuk kebaikan-kebaikan yang mengambil bentuk alam ciptaan. Karena, menyebut-Nya sebagai Pengasih dan Penyayang tak akan bermakna apa-apa jika tak meluap dari-Nya kasih-sayang atau kebaikan.

Kesimpulan pertama yang bisa kita ambil dari pembahasan ini adalah bahwa alam semesta dicipta berkat dorongan atau luapan Kasih-Sayang Allah dan, karena itu, pada dirinya sendiri merupakan kebaikan. Selanjutnya, luapan Kebaikan Allah itu mengambil bentuk limpahan (emanasi atau faydh) “menurun”, seperti pancaran sinar matahari, yang menciptakan hirarki wujud-wujud. Ada wujud yang paling dekat dengan-Nya, ada juga yang, secara berlapis, lebih jauh dari-Nya. Tapi lapisan ini tak boleh difahami sebagai terpisah-pisah. Sebaliknya, lapisan-lapisan ini menyatu satu sama lain, sehingga – betapa pun berlapis-lapis – membentuk suatu kesatuan wujud yang tak terbagi-bagi (simple, basith). Perlu juga diingatkan di sini bahwa dimensi waktu dan tempat, ketika dikaitkan dengan Allah, tak mengandung makna sebelum dan sesudah atau pun jarak. Keterpisahan, baik waktu maupun jarak adalah tak mungkin, jika dikaitkan dengan Allah Swt., karena hal itu akan meniscayakan keterbatasannya – yang adalah mustahil. (Lihat  tulisan tentang “Barzakh” dan “Waktu” setelah ini).

Nah, lapis-lapis – atau martabat-martabat –tersebut terbagi dua. Yang pertama adalah yang berada dalam lingkup Kehadiran Ilahi (Hadhrah Ilahiyah), dan selebihnya martabat-martabat yang masuk ruang lingkup “selain Allah” (maa siwa Allah). Yakni alam semesta – mencakup alam fisik-fenomenal (‘alam syahadah) maupun alam malakut (alam khayal, atau alam imajinal). Martabat tertinggi dalam Kehadiran Ilahi adalah Dzat al-Wujud (Wujud Ketuhanan itu sendiri). Martabat ini sepenuhnya bebas dari penyifatan atau atribusi. Ia berada di atas penyifatan dan atribusi. Tak ada cara apa pun yang dengannya kita bisa menunjuk martabat ini. Itu sebabnya kenapa martabat ini juga disebut Ghayb al-Ghuyub (Yang Gaib dari Kegaiban-kegaiban). Dengan kata lain Misteri Mutlak. Oleh alasan yang sama, Martabat ini sering disebut sebagai Kekosongan Mutlak. Ajaran Tao menyebut martabat ini sebagai Wu wu wu  (non-non-non Wujud). Orang Hindu menyebutnya Nirguna Brahman. Heidegger menyebutnya Nothingness. Dan Ronggowarsito menunjuknya sebagai “suwung sakjatining isi” (kosong tapi sejatinya berisi/ada).

Selanjutnya, melalui pancaran atau penetapan awal (first determination atau ta’ayun awwal) dari  Dzat al-Wujud itu, terciptalah Kehadiran Ilahi (Hadhrah Ilahiyah) yang disebut sebagai Martabat Ahadiyah (Ketunggalan). Masih dalam Hadhrah Ilahiyah, melalui pancaran atau penetapan kedua (ta’ayun tsani) terciptalah Martabat Wahidiyah.
Berbeda dengan Dzat al-Wujud, Ahadiyah – berbeda dengan Dzat al-Wujud yang melampaui penyebutan atau atribusi — masih bisa disebut atau diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan negatif (via negativa), seperti laysa ka mitsli-Hi syai’, dsb. Allah dalam Perbendaharaan Tersembunyi, seperti diungkap dalam hadis yang dikutip di atas, adalah dalam Hadirat atau Martabat Ahadiyah ini.

Perbedaan Martabat Ahadiyah dan Wahidiyah terkait dengan perbedaan makna kata ahad dengan wahid yang masing-masing menjadi dasar penamaan kedua martabat Ilahiyah ini : ahad itu berarti tunggal mutlak, tak terbagi, tak terkali, tak tertambah atau terkurangi, sedang wahid itu satu yang bisa dikali , dibagi, ditambah, dan dikurangi (misal, dikali 2 jadi 2, dibagi 2 jadi 1/2, ditambah 1 jadi 2, dst). Memang, tidak seperti Martabat  Ahadiyah yang memiliki sifat ketunggalan, Martabat Wahidiyah sudah mengandung kemajemukan. Yakni mengandung ilmu Allah – kesadaran Allah akan “potensi” yang terkandung dalam kesempurnaan Dzat-Nya (Kamalat dzati-H), yang melahirkan arketipe-arketipe abadi/permanen (al-a’yan al-tsabitah), yang menjadi model-model bagi maujud-maujud di alam semesta (lihat judul khusus mengenai al-a’yan al-tsabitah yang akan datang). Pada Martabat Wahidiyah ini Tuhan sudah “turun ke level asma’ dan sifat, yang memang sudah berjumlah banyak (majemuk).

Barulah, selanjutnya, dari level Wahidiyah yang mengandung model-model ciptaan di alam semesta ini, pancaran wujud sampai ke level  alam semesta (‘alam, maa siwa Allah, yang selain Allah). Mulai dari alam malakut  atau alam mitsal – kadang disebut alam khayal atau alam imajinal (yang masih memiliki sifat bentuk dan jumlah, tapi tak memiliki wadag konkret). Para awliya’ dan ‘arifin yang mempunyai akses ke sini bisa melihat gambaran persis sesuatu, padahal sesuatu itu tak ada bentuk konkretnya. Gambaran masa depan juga bisa diakses melalui alam mitsal ini. Kemampuan ini yang biasa disebut sebagai kasyf, atau fath. Rasul saww., misalnya, ketika isra’-nya diragukan, Allah menunjukkan kepada beliau gambar/bentuk Masjid al-Aqsa di depan matanya (tanpa bisa dilihat orang lain), sehingga beliau bisa menerangkannya secara detil di depan orang-orang. Pengetahuan yang gaib, yang datang kepada manusia-manusia pilihan melalui alam mitsal ini bisa sampai kepada mereka, baik dalam keadaan jaga (yaqadhah) maupun tidur (melalui mimpi, khususnya karena mimpi termasuk dalam alam mitsal ini).

Pada gilirannya, alam mitsal ini adalah alam-antara yang memisahkan alam asma’ dan sifat dengan alam syahadah (alam inderawi/empiris), yang merupakan alam terbawah atau alam rendah (dunya). Karena sifatnya sebagai perantara ini, alam mitsal disebut juga sebagai alam barzakh. (Kelak, kita ketahui bahwa alam kubur, yang mengantarai alam dunia dan alam akhirat disebut juga alambarzakh bersama alam mimpi). Pada gilirannya alam inderawi masih bisa dibagi-bagi ke alam manusia, hewan, tumbuhan, mineral, dan alam materi-awal (al-hayula al-ula).
Mengingat Allah adalah Cahaya, maka makin menurun posisi suatu martabat atau alam dalam hirarki wujud, makin rendah intensitas cahaya yang membentuknya. Jika Allah pada puncaknya adalah Cahaya Mutlak, maka Materi Awal adalah kegelapan mutlak. (Untuk urut-urutan martabat dan alam, lihat bagan di bawah ini)

Martabat Dzat al-Wujud atau Ghayb al-Ghuyub (Misteri Mutlak) .
Martabat Ahadiyah (Martabat al-Kanz) (Ruhani-Tunggal)
Martabat Wahidiyah (Martabat Asma’ dan Sifat/al-a’yan al-tsabitah) (Ruhani-Majemuk)
Alam Mitsal (Alam Khayal/Alam Barzakh) (Antara Ruhani dan Material-Majemuk)
Alam Syahadah (Empiris) (Materi-Majemuk)


 [Islam-Indonesia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...