Oleh: M. Kholid Syeirazi
Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 telah usai. Tema Muktamar, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,” telah memantik pembicaraan hangat dan, dalam beberapa hal, sengaja disalahpahami oleh mereka yang pahamnya salah. Mereka membuat idiom tandingan: Mengislamkan Nusantara. Dalam struktur bahasa Indonesia,menambahkan awalan ‘me’ dan akhiran ‘kan’ berfungsi, salah satunya, membentuk kata kerja transitif bermakna “membuatnya jadi” seperti dalam kata “melebarkan,” artinya membuat sesuatu jadi lebar. Dengan demikian, secara semantik, “mengislamkan Nusantara” berarti membuat Nusantara menjadi Islam.
Sepintas kalimat ini tepat, karena tugas setiap Muslim adalah mendakwahkan Islam dan menyampaikan risalah Nabi (ballighû ‘annî walaw âyat). Dulu, yang dilakukan Wali Songo juga mengislamkan Nusantara. Namun, jika digali lebih dalam, idiom “Islam Nusantara” dan “Mengislamkan Nusantara” berangkat dari dua pendekatan yang berbeda. Islam Nusantara adalah pengakuan tentang basis sosial dan budaya pemeluk Islam di Nusantara. Islam didakwahkan oleh para juru dakwah, kemudian diterima, diyakini, dan diamalkan dalam wadah budaya pemeluknya yang khas. Budaya, sebagaimana dilakukan Wali Songo, dijadikan sebagai instrumen dakwah dan sarana “menyusupkan” ajaran Islam secara bertahap. Kearifan dan kesediaan Wali Songo menyampakan dakwah Islam dalam wadah budaya telah membuat proses Islamisasi Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam tidak datang melalui kampanye militer dan konflik kekerasan terhadap para penganut agama dan budaya lokal. Islam tumbuh, tersebar, dan bersenyawa di bumi Nusantara dengan karakter budayanya. Dengan cara seperti inilah dulu Islam berdialektika dengan budaya Arab, tempat risalah Islam turun dan diajarkan Rasulullah. Beberapa bentuk tradisi Arab yang baik dipertahakan, sebagian disyariatkan, sebagian diperbolehkan bukan sebagai syariat. Yang tidak baik dikoreksi, digantikan dengan bentuk yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dari proses tasyri’ syariat shalat, puasa, haji, mu’âmalah, munâkahah, dll.
Para penolak Islam Nusantara, termasuk pengusung idiom “mengislamkan Nusantara,” umumnya menolak dialektika Islam sebagai agama universal dengan budaya pemeluk Islam yang partikular. Mereka ingin menjiplak persis apa yang berasal dari Rasulullah, baik agama maupun budayanya. Islam sebagai agama dan tradisi Arab sebagai budaya hendak diboyong semua sebagai ajaran yang berlaku universal. Cara pandang seperti ini cenderung ahistoris dan anakronis.
Dalil-dalil Islam Nusantara
Pasti tidak cukup ruang untuk membeberkan semua dalil tentang kesahihan Islam Nusantara, karena itu harus diringkas secara sederhana ke dalam tiga hal saja. Pertama, Islam Nusantara lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya manusia yang partikular. Ajaran tauhid, eskatologi, kenabian, akhlak, dan pokok-pokok syariat adalah ajaran universal, tetapi pengamalannya selalu gabungan dari elemen universal dan partikular. Universal karena Islam adalah agama samawi yang turun dari langit, partikular karena pelaku agama adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang berbudaya. Untuk hal-hal yang universal yang bersifat qath’i (kategoris), harus diterima apa adanya. Tetapi, untuk hal-hal yang partikular yang bersifat dhonny (hipotetis), tidak harus dijiplak tanpa proses adaptasi. Contoh, perintah shalat adalah universal, tetapi busana yang dikenakan adalah partikular. Shalat mengenakan jubah plus sorban sama bobotnya dengan batik plus songkok, tergantung hati dan kualitas khusyuknya. Perintah zakat adalah universal, tetapi jenis makanan pokok yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah partikular. Korma atau gandum sama bobotnya dengan beras, tergantung hati dan ikhlasnya. Perintah puasa adalah universal, tetapi soal menu buka puasa adalah partikular. Berbuka dengan korma sama bobotnya dengan kolak pisang, tergantung niat dan derajat halalnya. Haji adalah perintah universal, tetapi sarana menjalankan ibadah haji adalah partikular. Berhaji mengendarai onta sama nilainya dengan naik pesawat atau sarana transportasi lain, tergantung niat dan takwanya. Islam Nusantara memilah yang universal (kulliyah) dengan yang partikular (juziyyah). Ajaran universal diterima apa adanya, sedangkan yang partikular dikawinkan dengan ekspresi budaya lokal.
Kedua, ada sementara anggapan bahwa Islam adalah agama yang syumûl (komprehensif). Semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam dan bisa dirujukkan kepada teks Qur’an atau sunnah (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi). Karena itu, tidak usah menambah atau mengurangi sebab tindakan itu berarti bid’ah. Asumsi ini tidak benar. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang bersifat umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat teknis. Perintah shalat diulang berkali-kali, tetapi tata cara shalat tidak ada di dalam Al-Qur’an. Begitu juga tata cara puasa, zakat, dan haji. Lebih-lebih tata cara bernegara. Apa yang berasal dari Nabi juga tidak semua berhubungan dengan agama. Hal-hal yang bersifat keseharian Nabi seperti busana, pola makan, dan budaya Arab lain tidak mutlak diikuti. Yang wajib diikuti adalah sunnah Nabi yang bersifat agama. Yang harus diteladani adalah akhlaknya, bukan ekspresi budayanya. Hal-hal yang terkait urusan dunia, diserahkan kepada timbangan baik-buruk umatnya.
Pedomannya jelas, yaitu hadis Nabi riwayat Muslim: “Saya ini manusia. Jika aku perintahkan kalian dalam urusan agama, maka patuhilah! Namun, jika aku memerintahkan sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku ini manusia biasa.” (HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudayj). Dalam riwayat lain berbunyi: “Jika aku berasumsi, maka jangan kalian mengambilnya begitu saja. Namun, jika aku berkata yang bersumber dari Allah swt, maka patuhilah karena aku tidak pernah mendustakan Allah.” (HR. Muslim dari Abi Thalhah). Dalam riwayat lain berbunyi: “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian.” (HR. Muslim dari Anas). Oleh Imam Nawâwi penulis Syarah Muslim, rangkaian hadits ini dimasukkan dalam bab berjudul “Kewajiban mematuhi ucapan Nabi yang bersifat syara’, bukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan dunia berdasarkan pendapat pribadi” (lihat Sahîh Musim bi Syarh Nawâwi, juz 10, hal. 116-118).
Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 telah usai. Tema Muktamar, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,” telah memantik pembicaraan hangat dan, dalam beberapa hal, sengaja disalahpahami oleh mereka yang pahamnya salah. Mereka membuat idiom tandingan: Mengislamkan Nusantara. Dalam struktur bahasa Indonesia,menambahkan awalan ‘me’ dan akhiran ‘kan’ berfungsi, salah satunya, membentuk kata kerja transitif bermakna “membuatnya jadi” seperti dalam kata “melebarkan,” artinya membuat sesuatu jadi lebar. Dengan demikian, secara semantik, “mengislamkan Nusantara” berarti membuat Nusantara menjadi Islam.
Sepintas kalimat ini tepat, karena tugas setiap Muslim adalah mendakwahkan Islam dan menyampaikan risalah Nabi (ballighû ‘annî walaw âyat). Dulu, yang dilakukan Wali Songo juga mengislamkan Nusantara. Namun, jika digali lebih dalam, idiom “Islam Nusantara” dan “Mengislamkan Nusantara” berangkat dari dua pendekatan yang berbeda. Islam Nusantara adalah pengakuan tentang basis sosial dan budaya pemeluk Islam di Nusantara. Islam didakwahkan oleh para juru dakwah, kemudian diterima, diyakini, dan diamalkan dalam wadah budaya pemeluknya yang khas. Budaya, sebagaimana dilakukan Wali Songo, dijadikan sebagai instrumen dakwah dan sarana “menyusupkan” ajaran Islam secara bertahap. Kearifan dan kesediaan Wali Songo menyampakan dakwah Islam dalam wadah budaya telah membuat proses Islamisasi Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam tidak datang melalui kampanye militer dan konflik kekerasan terhadap para penganut agama dan budaya lokal. Islam tumbuh, tersebar, dan bersenyawa di bumi Nusantara dengan karakter budayanya. Dengan cara seperti inilah dulu Islam berdialektika dengan budaya Arab, tempat risalah Islam turun dan diajarkan Rasulullah. Beberapa bentuk tradisi Arab yang baik dipertahakan, sebagian disyariatkan, sebagian diperbolehkan bukan sebagai syariat. Yang tidak baik dikoreksi, digantikan dengan bentuk yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dari proses tasyri’ syariat shalat, puasa, haji, mu’âmalah, munâkahah, dll.
Para penolak Islam Nusantara, termasuk pengusung idiom “mengislamkan Nusantara,” umumnya menolak dialektika Islam sebagai agama universal dengan budaya pemeluk Islam yang partikular. Mereka ingin menjiplak persis apa yang berasal dari Rasulullah, baik agama maupun budayanya. Islam sebagai agama dan tradisi Arab sebagai budaya hendak diboyong semua sebagai ajaran yang berlaku universal. Cara pandang seperti ini cenderung ahistoris dan anakronis.
Dalil-dalil Islam Nusantara
Pasti tidak cukup ruang untuk membeberkan semua dalil tentang kesahihan Islam Nusantara, karena itu harus diringkas secara sederhana ke dalam tiga hal saja. Pertama, Islam Nusantara lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya manusia yang partikular. Ajaran tauhid, eskatologi, kenabian, akhlak, dan pokok-pokok syariat adalah ajaran universal, tetapi pengamalannya selalu gabungan dari elemen universal dan partikular. Universal karena Islam adalah agama samawi yang turun dari langit, partikular karena pelaku agama adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang berbudaya. Untuk hal-hal yang universal yang bersifat qath’i (kategoris), harus diterima apa adanya. Tetapi, untuk hal-hal yang partikular yang bersifat dhonny (hipotetis), tidak harus dijiplak tanpa proses adaptasi. Contoh, perintah shalat adalah universal, tetapi busana yang dikenakan adalah partikular. Shalat mengenakan jubah plus sorban sama bobotnya dengan batik plus songkok, tergantung hati dan kualitas khusyuknya. Perintah zakat adalah universal, tetapi jenis makanan pokok yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah partikular. Korma atau gandum sama bobotnya dengan beras, tergantung hati dan ikhlasnya. Perintah puasa adalah universal, tetapi soal menu buka puasa adalah partikular. Berbuka dengan korma sama bobotnya dengan kolak pisang, tergantung niat dan derajat halalnya. Haji adalah perintah universal, tetapi sarana menjalankan ibadah haji adalah partikular. Berhaji mengendarai onta sama nilainya dengan naik pesawat atau sarana transportasi lain, tergantung niat dan takwanya. Islam Nusantara memilah yang universal (kulliyah) dengan yang partikular (juziyyah). Ajaran universal diterima apa adanya, sedangkan yang partikular dikawinkan dengan ekspresi budaya lokal.
Kedua, ada sementara anggapan bahwa Islam adalah agama yang syumûl (komprehensif). Semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam dan bisa dirujukkan kepada teks Qur’an atau sunnah (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi). Karena itu, tidak usah menambah atau mengurangi sebab tindakan itu berarti bid’ah. Asumsi ini tidak benar. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang bersifat umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat teknis. Perintah shalat diulang berkali-kali, tetapi tata cara shalat tidak ada di dalam Al-Qur’an. Begitu juga tata cara puasa, zakat, dan haji. Lebih-lebih tata cara bernegara. Apa yang berasal dari Nabi juga tidak semua berhubungan dengan agama. Hal-hal yang bersifat keseharian Nabi seperti busana, pola makan, dan budaya Arab lain tidak mutlak diikuti. Yang wajib diikuti adalah sunnah Nabi yang bersifat agama. Yang harus diteladani adalah akhlaknya, bukan ekspresi budayanya. Hal-hal yang terkait urusan dunia, diserahkan kepada timbangan baik-buruk umatnya.
Pedomannya jelas, yaitu hadis Nabi riwayat Muslim: “Saya ini manusia. Jika aku perintahkan kalian dalam urusan agama, maka patuhilah! Namun, jika aku memerintahkan sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku ini manusia biasa.” (HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudayj). Dalam riwayat lain berbunyi: “Jika aku berasumsi, maka jangan kalian mengambilnya begitu saja. Namun, jika aku berkata yang bersumber dari Allah swt, maka patuhilah karena aku tidak pernah mendustakan Allah.” (HR. Muslim dari Abi Thalhah). Dalam riwayat lain berbunyi: “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian.” (HR. Muslim dari Anas). Oleh Imam Nawâwi penulis Syarah Muslim, rangkaian hadits ini dimasukkan dalam bab berjudul “Kewajiban mematuhi ucapan Nabi yang bersifat syara’, bukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan dunia berdasarkan pendapat pribadi” (lihat Sahîh Musim bi Syarh Nawâwi, juz 10, hal. 116-118).
Jika menyimak sîrah Nabi, akan banyak ditemukan fakta bahwa selain dalam urusan agama, Nabi adalah pemimpin yang mendengar nasehat dan pendapat para sahabat. Pendapat Nabi kadang dikritisi sahabatnya dan Nabi menerima kritik itu dan mengikutinya seperti dalam kasus Hubâb ibn Mundzir terkait siasat Perang Badar (baca Sîrah Ibn Hisyâm, hal. 296). Ada juga pendapat Nabi dikritisi sahabat, tetapi Nabi menolak kritik itu dan kemudian dikoreksi oleh Allah yang membenarkan pendapat sahabat seperti dalam kasus Umar ibn Khattab RA dalam urusan pampasan perang yang diabadikan dalam Surat al-Anfâl (ayat 67-68) dan dalam urusan Abdullâh ibn Ubay ibn Salûl yang diabadikan dalam Surat at-Tawbah (ayat 84) dan Surat al-Munâfiqûn (ayat 6)(lihat Tafsîr al-Qurthûby, juz 8, hal. 47 dan 200-201).
Dalil-dalil ini menegaskan, apa yang berasal dari Rasulullah ada yang bersifat agama ada yang bersifat budaya, ada yang berdasarkan wahyu dan ada yang berdasarkan pendapat beliau pribadi. Yang bersifat agama dan berdasarkan wahyu mutlak harus dipatuhi, yang bersifat budaya dan pendapat pribadi tidak harus diikuti. Perspektif ini menjelaskan keharusan membedakan agama dan budaya. Arabisasi tidak sama dengan Islamisasi, sebab Islam tidak identik dengan Arab dan Arab tidak indikatif Islam. Mengenakan jubah, sorban, dan memelihara jenggot kemudian merasa sudah lebih Islam ketimbang yang lain adalah keliru, karena hal itu masuk rumpun budaya, bukan agama. Islam Nusantara mendukung pengamalan Islam dalam ekspresi budaya lokal. Bid’ah hanya berlaku dalam lingkup ibadah mahdlah. Di luar ibadah mahdlah, tidak ada bid’ah dalam pengertian kullu bid’atin dlalâlah (setiap bid’ah sesat). Bid’ah dalam ibadahmuthlaqah (ilmu, budaya, teknologi) justru harus digalakkan. Berdasarkan hujjah ini, NU mengarifislametan yang kemudian ditransformasi menjadi tahlilan. NU mempertahankan bentuk, tetapi mengganti isi. Inilah cara dakwah Wali Songo, khususnya Sunan Kalijogo, yang sangat canggih menjalankan substansialisasi Islam.
Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap kehadiran Islam di bumi Nusantara melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Pendekatan budaya ini membuat Islam bisa mendapat tempat dan proses Islamisasi berlangsung sangat cepat. Pengaruh Hindu-Budha selama tiga setengah abad berhasil disisihkan dalam tempo kurang dari sebad. Hasilnya, proses Islamisasi di Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam yang datang dengan karakter damai ini, yang mau bersanding dengan budaya lokal, melahirkan karakter Islam yang moderat, ramah, dan toleran. Karakter ‘Islam ramah’ ini menjadi semakin relevan untuk disyukuri dan dikembangkan di tengah ‘Islam marah’ yang sedang mengamuk Tunisia, mengoyak Mesir, menghancurkan Libya, memecah Yaman, dan memporakporandakan Suriah, Irak, Palestina, Afghanistan, Sudan, dan Somalia. Karena itu, tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” semakin menemukan relevansi dan kesahihannya.
* Penulis adalah sekretaris jenderal PP ISNU
http://www.nu.or.id/
Dalil-dalil ini menegaskan, apa yang berasal dari Rasulullah ada yang bersifat agama ada yang bersifat budaya, ada yang berdasarkan wahyu dan ada yang berdasarkan pendapat beliau pribadi. Yang bersifat agama dan berdasarkan wahyu mutlak harus dipatuhi, yang bersifat budaya dan pendapat pribadi tidak harus diikuti. Perspektif ini menjelaskan keharusan membedakan agama dan budaya. Arabisasi tidak sama dengan Islamisasi, sebab Islam tidak identik dengan Arab dan Arab tidak indikatif Islam. Mengenakan jubah, sorban, dan memelihara jenggot kemudian merasa sudah lebih Islam ketimbang yang lain adalah keliru, karena hal itu masuk rumpun budaya, bukan agama. Islam Nusantara mendukung pengamalan Islam dalam ekspresi budaya lokal. Bid’ah hanya berlaku dalam lingkup ibadah mahdlah. Di luar ibadah mahdlah, tidak ada bid’ah dalam pengertian kullu bid’atin dlalâlah (setiap bid’ah sesat). Bid’ah dalam ibadahmuthlaqah (ilmu, budaya, teknologi) justru harus digalakkan. Berdasarkan hujjah ini, NU mengarifislametan yang kemudian ditransformasi menjadi tahlilan. NU mempertahankan bentuk, tetapi mengganti isi. Inilah cara dakwah Wali Songo, khususnya Sunan Kalijogo, yang sangat canggih menjalankan substansialisasi Islam.
Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap kehadiran Islam di bumi Nusantara melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Pendekatan budaya ini membuat Islam bisa mendapat tempat dan proses Islamisasi berlangsung sangat cepat. Pengaruh Hindu-Budha selama tiga setengah abad berhasil disisihkan dalam tempo kurang dari sebad. Hasilnya, proses Islamisasi di Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam yang datang dengan karakter damai ini, yang mau bersanding dengan budaya lokal, melahirkan karakter Islam yang moderat, ramah, dan toleran. Karakter ‘Islam ramah’ ini menjadi semakin relevan untuk disyukuri dan dikembangkan di tengah ‘Islam marah’ yang sedang mengamuk Tunisia, mengoyak Mesir, menghancurkan Libya, memecah Yaman, dan memporakporandakan Suriah, Irak, Palestina, Afghanistan, Sudan, dan Somalia. Karena itu, tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” semakin menemukan relevansi dan kesahihannya.
* Penulis adalah sekretaris jenderal PP ISNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar