Oleh Moh Faiz Maulana
“Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya...” (Gus Dur)
“Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya...” (Gus Dur)
Mengenai apa yang disebut Islam Nusantara, dan ketakutan oleh sebagian kelompok masyarakat terhadap pemaknaan Islam Nusantara ini, penulis pikir sangat berlebihan. Kekhawatiran yang memunculkan pemikiran dan berujung pada sekularisasi, pendistorsian, pendangkalan makna Islam, bahkan ada yang menganggap ide Islam Nusantara ditunggangi oleh liberalisme, kapitalisme, maupun radikalisme. Anggapan yang tidak berdasar.
Pandangan peyoratif Islam Nusantra ini perlu dijelaskan. Pertama ingin penulis sampaikan bahwa jauh sebelum mencuatnya ide Islam Nusantara, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah lebih dahulu muncul dengan konsep keislaman yang “membudaya” atau kita kenal dengan konsep Pribumisasi Islam. Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya kira-kira adalah “relevan untuk segala zaman dan tempat”. Keislaman yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya lokal.
Kedua, bahwa Islam memang secara de facto turun di tanah Arab, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bukan “Arabnya” yang terpenting melainkan nilai keislamannya yang perlu dikaji lebih mendalam –seperti apa yang tertulis pada ungkapan di atas. Islam datang bukan untuk mengganti budaya kita dengan budaya Arab, namun tak lantas juga kita menyerukan sikap anti budaya Arab. penulis hanya ingin mengatakan, budaya Arab itu ya budaya, sama seperti budaya-budaya lain di dunia. Tak identik dengan Islam. Artinya, anda tak lantas lebih Islami hanya karena telah berjubah, bersorban, berjenggot atau pakai antum, akhi, milad, atau ahad dalam keseharian. Islam Nusantara hadir sebagai kritik terhadap tradisi Arab yang pada satu sisi terlanjur disalahpahami sebagai pokok nilai keislaman.
Ketiga, munculnya ide Islam Nusantara sendiri bertitik tolak dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman sejarah berkembangnya Islam di Nusantara sebagian masyarakat. Hingga mengakibatkan munculnya gerakan Islam radikal di Nusantara ini. Islam mampu berkembang dan tersebar luas di tanah Nusantara tentu tidak dengan pedang, parang, amarah dan marah-marah, bukan? Islam mampu bertahan sampai detik ini di Nusantara justru karena adanya sinergi positif antara budaya dan agama, bukan malah menyalahkan dan mendustakan budaya sebagai biang keladi kekufuran dan kekafiran.
Ini sama seperti apa yang dikatakan Kuntowijoyo, bahwa memang sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi. Tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Interaksi antara agama dan kebudayaan, masih menurut Kuntowijoyo dapat terjadi dengan, pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Lalu ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.
Baik agama dan budaya, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol yang saling keterkaitan. Di Indonesia agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberikan kekayaan terhadap agama. Jadi tak bisa disamaratakan keislaman yang ada di Indonesia dengan keislaman yang ada di Arab, misalnya. Sebab Islam di Arab telah melebur dengan budaya Arab, dan budaya Arab dengan budaya Indonesia tentu sangat berbeda –sebagaimana Gus Dur menegaskan wajah "Islam Indonesia" untuk muslim Indonesia, Tariq Ramadan menekankan "Islam Eropa" untuk muslim Eropa- Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan dan menyalahkan, melainkan berwujud dalam pola yang sejajar dengan nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Maka Islam Nusantara ini hadir adalah sebagai bentuk penanaman nilai-nilai keislaman yang sesuai dengan jati diri bangsa. Konsep yang membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Islam nusantara adalah cara berislam yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Maka Islam menjadi tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah. Dan itu artinya penegasan tentang Islam Indonesia untuk kaum muslim Indonesia, bukan Islam Arab. Hanya dengan cara itulah justru terbukti Islam itu shalih li kulli zaman wa makan, relevan untuk setiap masa dan tempat.
Moh. Faiz Maulana, Mahasiswa Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta.
Pandangan peyoratif Islam Nusantra ini perlu dijelaskan. Pertama ingin penulis sampaikan bahwa jauh sebelum mencuatnya ide Islam Nusantara, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah lebih dahulu muncul dengan konsep keislaman yang “membudaya” atau kita kenal dengan konsep Pribumisasi Islam. Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya kira-kira adalah “relevan untuk segala zaman dan tempat”. Keislaman yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya lokal.
Kedua, bahwa Islam memang secara de facto turun di tanah Arab, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bukan “Arabnya” yang terpenting melainkan nilai keislamannya yang perlu dikaji lebih mendalam –seperti apa yang tertulis pada ungkapan di atas. Islam datang bukan untuk mengganti budaya kita dengan budaya Arab, namun tak lantas juga kita menyerukan sikap anti budaya Arab. penulis hanya ingin mengatakan, budaya Arab itu ya budaya, sama seperti budaya-budaya lain di dunia. Tak identik dengan Islam. Artinya, anda tak lantas lebih Islami hanya karena telah berjubah, bersorban, berjenggot atau pakai antum, akhi, milad, atau ahad dalam keseharian. Islam Nusantara hadir sebagai kritik terhadap tradisi Arab yang pada satu sisi terlanjur disalahpahami sebagai pokok nilai keislaman.
Ketiga, munculnya ide Islam Nusantara sendiri bertitik tolak dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman sejarah berkembangnya Islam di Nusantara sebagian masyarakat. Hingga mengakibatkan munculnya gerakan Islam radikal di Nusantara ini. Islam mampu berkembang dan tersebar luas di tanah Nusantara tentu tidak dengan pedang, parang, amarah dan marah-marah, bukan? Islam mampu bertahan sampai detik ini di Nusantara justru karena adanya sinergi positif antara budaya dan agama, bukan malah menyalahkan dan mendustakan budaya sebagai biang keladi kekufuran dan kekafiran.
Ini sama seperti apa yang dikatakan Kuntowijoyo, bahwa memang sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi. Tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Interaksi antara agama dan kebudayaan, masih menurut Kuntowijoyo dapat terjadi dengan, pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Lalu ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.
Baik agama dan budaya, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol yang saling keterkaitan. Di Indonesia agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberikan kekayaan terhadap agama. Jadi tak bisa disamaratakan keislaman yang ada di Indonesia dengan keislaman yang ada di Arab, misalnya. Sebab Islam di Arab telah melebur dengan budaya Arab, dan budaya Arab dengan budaya Indonesia tentu sangat berbeda –sebagaimana Gus Dur menegaskan wajah "Islam Indonesia" untuk muslim Indonesia, Tariq Ramadan menekankan "Islam Eropa" untuk muslim Eropa- Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan dan menyalahkan, melainkan berwujud dalam pola yang sejajar dengan nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Maka Islam Nusantara ini hadir adalah sebagai bentuk penanaman nilai-nilai keislaman yang sesuai dengan jati diri bangsa. Konsep yang membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Islam nusantara adalah cara berislam yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Maka Islam menjadi tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah. Dan itu artinya penegasan tentang Islam Indonesia untuk kaum muslim Indonesia, bukan Islam Arab. Hanya dengan cara itulah justru terbukti Islam itu shalih li kulli zaman wa makan, relevan untuk setiap masa dan tempat.
Moh. Faiz Maulana, Mahasiswa Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar