Jumat, 13 November 2009

MENGGALI SIFAT, BAKAT, DAN KEMAMPUAN ANAK LEWAT PARADIGMA MULTIPLE INTELLIGENCES

Oleh : Haidar Bagir

1. Untuk apa sesungguhnya upaya menggali dan mengembangkan sifat, bakat, dan kemampuan anak? Itulah pertanyaan yang harus diajukan sebelum yang lain-lain. Memelihara perspektif mengenai tujuan pengembangan sifat, bakat, dan kemampuan anak ini kiranya amat penting agar kita tidak melakukannya demi sesuatu yang salah. Saya kira amat mudah diterima oleh semua orang tua bahwa semua kerepotan ini pada puncaknya adalah untuk mengantar anak menuju suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Bukan demi gengsi, popularitas, dan kekayaan. Yang disebut pertama adalah tujuan, sedang yang terakhir tak lain adalah sarana. Karena itu, tepat sekali menekankan pentingnya orang tua selalu memelihara kesejahteraan emosi anak dalam upayanya menggali dan mengembangkan sifat, bakat, dan kemampuan anak.

2. Meski banyak teori tentang bakat, dan anak berbakat, saya hendak memakai pendekatan kecerdasan ganda (multiple intelligences) yang dikembangkan oleh Howard Gardner. Pendekatan – bahkan, paradigma – baru ini, menurut saya, bukan saja mengurai dan mencakup aspek sifat, bakat, dan kemampuan sekaligus, melainkan juga mengarahkan agar pengembangan aspek-aspek ini terus memelihara perspektif tentang tujuan akhir dari semua upaya ini : yakni, kesejahteraan dan kebahagiaan anak. Mari kita lihat.
3. Seperti sudah banyak diketahui, Gardner menggunakan kata “kecerdasan: (intelligence) sebagai “pengganti” kata bakat. Tapi, pada saat yang sama, pendekatan ini juga membahas mengenai bagaimana caranya bakat ini perlu dan dapat dikembangkan menjadi kemampuan konkret. Sekaligus, di antara – sejauh ini – sembilan kecerdasan yang diidentifikasikan oleh psikolog ini, terdapat sedikitnya 3 (tiga) kecerdasan yang bisa disebut sebagai sifat-sifat yang dapat menjadikan kecerdasan-kecerdasan (baca : bakat-bakat) yang dimiliki seorang anak benar-benar membawanya kepada kesuksesan dan, pada gilirannya, kebahagiaan hidup.
4. Gardner menyebutkan ada – sedikitnya – 9 (sembilan kecerdasan) yang mungkin dimiliki seseorang :
• Kecerdasan Pertama : logis-matematis
• Kecerdasan Kedua : linguistic-verbal (kebahasaan)
• Kecerdasan Ketiga : spasial-visual
• Kecerdasan Keempat : musikal
• Kecerdasan Kelima : kinestetik-ragawi
• Kecerdasan Keenam : naturalis
• Kecerdasan Ketujuh : intrapersonal
• Kecerdasan Kedelapan : interpersonal
• Kecerdasan Kesembilan : eksistensial
5. Dua kecerdasan pertama biasanya dianggap sebagai satu-satunya faktor serba mencakup (overall single factor) ukuran kecerdasan konvensional yang biasa disebut IQ (Intelligence Quotient) – suatu pemahaman yang diruntuhkan oleh teori kecerdasan ganda ini. Nah, selain menunjukkan bahwa sesungguhnya kecerdasan bisa mengambil bentuk kecerdasan-kecerdasan lainnya – spasial, musikal, kinestetik, dan naturalis – Gardner menyebut jenis-jenis kecerdasan yang belakangan popular disebut sebagai emotional intelligence (EQ) – dalam teori Gardner ditunjukkan dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal --.serta spiritual intelligence (SQ) yang di sini disebut sebagai kecerdan eksistensial. Ketiga kecerdasan yang disebut terakhir ini kiranya harus dipandang sebagai sifat-sifat yang harus dikembangkan pada diri setiap anak apa pun bakat dan kemampuannya demi memastikan bahwa pada puncaknya sang anak akan dapat menjadikan bakat dan kemampuannya itu untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
6. Jika hendak diringkaskan, keenam kecerdasan yang disebut pertama oleh Gardner – logis-matematis, linguistik (kebahasaan), musikal, spasial-visual, kinestetik-ragawi, dan naturalistik – dapat dikelompokkan ke dalam kategori keterampilan yang dibutuhkan sebagai bekal bagi keberhasilan dalam mendapatkan tempat di percaturan peran dan dan dunia kerja. Kecerdasan Keenam dan Ketujuh merupakan sifat-sifat yang penting bagi bukan hanya kesejahteraan emosional, melainkan juga jaminan bagi kemampuan memanfaatkan keterampilan-keterampilan tersebut untuk mengantar kepada kesuksesan karier. Sedang Kecerdasan Kedelapan mutlak dibutuhkan sebagai jaminan bahwa semua kesuksesan hidup yang bisa dicapai, sebaliknya dari “menggerogoti” kebahagiaan yang seharusnya lahir dari kesuksesan-kesuksesan itu, dapat benar-benar mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup itu sendiri.
7. Nah, seseorang dapat memiliki bakat dan memang memang perlu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang masuk ke dalam kategori pertama itu. Namun, ia tak bisa tidak harus memiliki sifat-sifat yang masuk ke dalam kecerdasan-kecerdasan dalam kategori kedua dan ketiga tersebut di atas. Dalam bahasa yang popular, kecerdasan-kecerdasan kategori kedua dan ketiga itu kiranya bisa disebut sebagai kepribadian (personality), budi pekerti, dan kesadaran keagamaan. Mudah-mudahan tidak berlebihan bahwa, meski pendidikan menyangkut proses penanaman keterampilan-keterampilan atau – dalam bahasa Gardner – kecerdasan-kecerdasan praktis, pada akhirnya pendidikan bertujuan penanaman keterampilan-keterampilan hidup (life skills) yang akan membawa seseorang kepada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
8. Jika kita pinjam peristilahan yang diperkenalkan oleh UNESCO, maka kita dapati bahwa, pada akhirnya, pendidikan bertujuan penanaman sikap untuk mau belajar terus-menerus seumur hidup yang mencakup :
• Belajar cara untuk tahu (learn how to know)
• Belajar cara untuk hidup (learn how to be)
• Belajar cara melakukan (learn how to do)
• Belajar untuk hidup bersama orang lain (learn to live together)
Catatan : Mungkin karena konstrain sekularistik, UNESCO tidak melengkapi semuanya itu dengan aspek “Belajar untuk Hidup Bersama Tuhan” meski sesungguhnya kebutuhan akan Tuhan dan keberagamaan makin diakui sebagai kebutuhan dasar manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (Baca survey Majalah TIME tentang kembalinya agama dan Tuhan dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat, atau buku Varieties ofReligious Experience karya William James dari kelompok buku klasik atau SQ yang lebih mutaakhir, atau pun tulisan-tulisan semacam “Desecularisation of the World” karya sosiolog terkemuka Peter L. Berger, untuk sekadar menyebut beberapa contoh saja.

9. Kembali kepada persoalan cara untuk mengembangkan sifat-sifat , bakat dan kemampuan anak. Perlu untuk ditegaskan di sini bahwa : Pertama, pada dasarnya setiap anak memiliki kecerdasan – atau bakat -- sendiri. Kecerdasan itu bisa satu bisa lebih. Kedua, bakat bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan anak di bidang tertentu. Sudah banyak diketahui bahwa bakat tak banyak gunanya jika tak digali dan dikembangkan dengan dorongan minat yang memadai. Tapi, sebaliknya juga, sesorang anak dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu lewat latihan-latihan yang intensif meski barangkali dia tak memiliki bakat khusus di bidang itu. Penelitian-penelitian belakangan menunjukkan bahwa seorang anak yang mengalami problem autisme, bahkan mengidap Down syndrome, dapat hidup secara sukses dan sejahtera berbekal keterampilan-keterampilan yang diperlukan sebagaimana lazimnya anak-anak yang tak memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus jika saja ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan-pelatihan yang diperlukannya. Ketiga : Meski diidentifikasi sebagai telah memiliki bakat tertentu, ada baiknya anak dilatih untuk memiliki kemampuan lain, mengingat beberapa kemampuan diperlukan untuk mendukung kemampuannya memanfaatkan secara maksimum bakat atau kemampuan-utama yang dimilikinya, di samping kemampuan-kemampuan tersebut sedikti atau banyak juga diperlukan bagi pencapaian tujuan puncak semua pendidikan, yakni mengantar anak untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Termasuk di dalamnya : kemampuan (kecerdasan) kebahasaan (linguistik), musikal, kinestetik (olah-raga, termasuk tari), dan sebagainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...