Minggu, 22 November 2009

Gandrung, Wuyung, Majnun

Markesot Bertutur : By Emha Ainun Najib

Markesot hari-hari terakhir ini bergaya metal. Setiap berpapasan dengan siapa saja, tangannya selalu diacungkan dengan jari-jari salam metal. Kalau mandi atau sedang nganggur-nganggur, rengeng-rengengnya juga sekilasan lagu-lagu rock metal kalau dulu kebiasaan sehari-harinya adalah mendendangkan "sarijem...... oh... sarijem", sekarang sedikit-sedikit mendesah serak : "Yeeeeah! Yeeeeeah!...



Sungguh dekaden. Ketinggalan zaman. Juga tidak pantas untuk usianya yang sudah setua itu untuk bermetal-metal ria.
Ketika ditanya oleh anak-anak kenapa ia mendadak punya kebiasaan baru, ia menjawab: "Saya sedang belajar tasawuf dari gerakan metal!"
"Lho!...., anak-anak, tentu saja tidak paham. "Anak-anak muda itu sangat mengutamakan fungsi pendengaran," lanjut Markesot. "Kan di dalam Al Quran selalu disebut Sami'un Bashirun. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tidak pernah di balik menjadi Bashirun Sami'un. Maknanya, alat pendengaran itu lebih penting dan utama dibanding penglihatan serta saraf lainnya. Janin dalam kandungan sudah bisa mendengar jauh sebelum bisa melihat. Dalam keadaan tidur, manusia juga selalu tetap berpendengaran aktif. Jadi pendengaran itu sarana, perangkat, alat atau syariat biologis yang paling penting..."
"Ya itu betul. Apa hubungan antara metal dengan tasawuf?" anak-anak bertanya lagi.
"Anak-anak muda itu, dengan budaya metal dan budaya musik lainnya dari dangdut, uro-uro sampai pop dan rock, bahkan jazz, blues, country, folk dan lain-lain, sangat melatih dan mengaktifkan daya pendengaran. Sesungguhnya itu semua merupakan intruksi dari pusat ruhani mereka agar belajar mendengar suara Tuhan....."
"Ah, itu mendramatisasi!" bantah anak-anak.
"Mungkin. Tapi sekurang-kurangnya, yang didramatisasi itu ada dan real. Anak-anak muda kita belajar mendengarkan suara. Bahwa pilihan-pilihan mereka keliru, sesat, atau suara-suara yang bisa efektuf mengantarkan mereka ke suara Tuhan, itu soal lain. Masih mending anak-anak itu mau belajar mendengar, dibanding banyak bapak-ibu mereka, pemimpin-pemimpin mereka, apalagi pengusaha-pengusaha mereka, bahkan terkadang ulama-ulama mereka, yang telinganya kebanyakan tuli. Jarang mau belajar mendengarkan. Jangankan mendengarkan suara rakyat yang merupakan pusat beban tanggung jawab, mereka saja malas belajar...."
"Ini tasawuf politik, Sot?"
"Pertanyaanmu itu salah. Apa beda tasawuf dengan politik? Obyek realitasnya sama, ya seluruh kehidupan ini. Hanya cara pandangnya saja yang berbeda. Yang satu tasawuf, lainnya politis".
"Tetapi generasi metal itu sedang bertasawuf?"
"Tidak sebagai rasio dan kesadaran. Tetapi mungkin ya secara naluri dan ruhani, yang letak dan mekanismenya berada di luar kesadaran akal dan niatan pikiran...."
"Jadi kenapa sampeyan bilang belajar tasawuf dari mereka?"
"Apa kau pikir belajar tasawuf itu hanya dari ulama, ustadz dan kiai-kiai saja? Apa kalian pikir cacing yang melata dan rerumputan yang diinjak-injak oleh kaki orang tidak bisa berfungsi sebagai sesama mursyid atau mahaguru bagi proses tasawuf kita?"
"Sampeyan selalu membesar-besarkan masalah". "Lho, besar kecilnya masalah itu tergantung pada bagaimana kita mempersepsikan. Memang generasi metal itu tidak begitu mendapatkan peluang dari kebudayaan yang berlangsung untuk membina pendengaran-pendengaran Ilahiah mereka. Produk-produk budaya yang sampai pada mereka lebih banyak bersifat wadak.
"Hampir segala jenis musik bersifat wadak. Inovasi kesenian yang paling modern pun bersifat wadak. Apalagi musik-musik yang lain misalnya suara knalpot di jalan raya, suara penyiar teve yang sangat banyak tidak menyebut realitas-realitas yang seharusnya disebut dan lain-lain. Kalau mereka masuk diskotik, mereka juga mendengarkan suara-suara wadak yang semu. Mereka sesungguhnya dalam diskotik itu merasa kesepian, sehingga mereka memerlukan suara musik fisik yang keras. Itu membuat mereka tidak terbiasa mendengarkan suara dari kedalaman jiwa mereka sendiri. Mereka tidak terlatih untuk mendengarkan suara mereka yang sejati. Tetapi 'kan masih lumayan, mereka masih mau berlatih mendengarkan, mengasah alat pendengaran, kelak pada akhirnya ruhani mereka akan membimbing atau menuntut mereka agar mencari suara-suara yang lebih murni. Suara yang sungguh-sungguh suara..."
"Sejauh yang saya tahu," potong salah seorang dari mereka, "Hura-hura rock dan metal dan sebangsanya itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali pendangkalan jiwa dan gangguan lingkungan. Apa bedanya musik gedebag-gedebug itu dengan suara knalpot yang dibuka."
Kemudian Markesot berkisah tentang seorang anak muda yang hobinya main drum. Tiap hari di rumahnya ia membunyikan drum keras-keras, asyik masyuk dan tak peduli waktu. ia sangat gandrung, bahkan wuyung dan majnun oleh bunyi drum yang menghentak-hentak. Dan ia membunyikannya dengan total dan seakan-akan intrance.
Tetangga kiri-kananya tentu saja merasa terganggu, sehingga akhirnya mereka melapor kepada tokoh ulama setempat, dan sang ulama berkata, "Baiklah akan saya tegur itu anak muda yang tak tahu diri!"
Ia pun melangkah tergesa-gesa menuju anak muda itu dengan niat untuk menegur. Tapi ditengah jalan ia terhenyak kaget oleh sebuah suara entah dari mana. Mungkin dari langit, mungkin dari dalam dirinya sendiri. "He, kamu! jangan ganggu kekasihku!"
Sang ulama menjadi ragu. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk meneruskan niatnya. Maka ia datangi anak muda majnun itu dan berkata: "He anak muda! tadi saya niat ke sini untuk menegur kelakuan kamu yang mengganggu tetangga-tetanggamu. Tapi di tengah jalan Tuhan menegurku: "He! jangan ganggu kekasihku!..."
Si anak muda kaget bukan buatan. Ia terpana sejenak, kemudian mendadak ia tendangi drumnya, ia pukul-pukul dan ia hancurkan lantas membuangnya ke luar rumah.
"Lho, kenapa nak?" bertanya sang ulama. anak muda itu menjawab: "Kalau dalam keadaan saya mengganggu para tetangga saja Allah masih mengakui aku sebagai kekasih-Nya, maka betapa cinta-Nya akan semakin besar kepadaku kalau kubuang semua ini dan mulai belajar mendengarkan suara murni semacam ini dan mulai belajar mendengarkan suara murni semacam yang pak ulama dengarkan itu..."
Akhirnya anak muda itu menjadi sufi sungguh-sungguh.()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...