Kamis, 12 November 2009

WAWANCARA EKSKLUSIF HERNOWO DENGAN MUNIF CHATIB TENTANG BUKU SEKOLAHNYA MANUSIA

1. Mas Munif, Anda baru saja meluncurkan buku pertama Anda yang berjudul Sekolahnya Manusia. Bagaimana perasaan Anda melihat produk Anda ini? Secara ringkas, apa yang ingin Anda sampaikan (bagikan) lewat Sekolahnya Manusia?
Jawab:
Perasaan saya tentunya senang dan lega, seperti bendungan air yang dibuka pintunya, terus air mengucur deras mengguyur tanah-tanah kering di bawahnya. Seperti itu perasaan saya. Dalam buku tersebut sebenarnya saya ingin menyampaikan sebuah kenyataan bahwa jutaan institusi yang bernama sekolah sudah tidak manusiawi lagi. Anak dipaksa oleh target-target tertentu yang tidak sesuai dengan kecerdasan dan bakatnya. Sehingga lahirlah jutaan siswa bodoh dan sedikit siswa yang pandai. Dalam ‘sekolahnya manusia’ tiba-tiba sekolah menjadi tempat yang nyaman buat para siswanya. Mereka menuangkan apa yang mereka ingin lakukan dan ingin capai. Ternyata dengan cara yang khas dan multiple semua siswa adalah cerdas. Banyak orang bilang, itu mustahil, namun dengan ‘sekolahnya manusia’ ternyata bukan hanya sekedar mimpi.


2. Apakah setelah berhasil melahirkan buku pertama ini, Anda kemudian memiliki keinginan untuk melahirkan buku kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya? Jika berkenan, apa saja topik-topik yang akan Anda tulis dan dijadikan buku?
Jawab;
Ya … sekolahnya manusia seperti gambaran seekor gajah. Pembaca yang membaca akan mengetahui ternyata gajah itu kakinya empat, telinganya lebar, belalainya panjang dan lain-lain. Tidak mungkin pembaca menyebutkan gajah itu punya sayap. Gambaran global (global analysis) itulah target dari buku sekolahnya manusia. Saya sudah mempersiapkan buku-beku berikutnya, yaitu lebih ‘task analysis’, artinya bagaiman sih detail kaki gajah, telinga gajah, mulut gajah. Atau bagaimana kalau gajah makan, lari, dan lain-lain. Buku kedua, saya ingin memaparkan bagaimana sebuah ‘special moment’ terjadi antara guru dan siswanya. Buku ke3 saya ingin mengulas apa yang terjadi pada siswa yang nakal dan bodoh di sebuah sekolah. Buku ke 4 saya ingin mengulas habis tentang kreatifitas guru sebagai tantangan buat teman-teman guru dalam profesionalitas. Dan seterusnya saya ingin menulis hal-hal yang fokus terkait dengan pembelajaran di sekolah. Saya pernah me-list rencana buku-buku selanjutnya, sampai hari ini sudah tersusun sekitar 125 judul buku, ‘subhanallah’ semoga diberikan kesehatan dan umur panjang.
3. Saya membaca di buku pertama Anda ini bahwa Anda dahulu adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Namun, kemudian Anda merasakan bahwa Anda lebih mantan mengajar atau menerjuni dunia pendidikan. Anda kemudian pun iku kuliah jarak jauh di Supercamp Oceanside California USA yang dipimpin Bobbi DePorter dan lulus dengan menduduki peringkat ke-5. Tolong ceritakan mengapa Anda lebih tertarik di dunia pendidikan?
Jawab:
Jujur, saya sebelumnya tidak tahu menahu dunia ‘hukum’. Saya masuk fakultas hukum hanya coba-coba saja, sebab waktu itu tidak ada informasi yang tepat tentang program jurusan apa yang sesuai dengan kecenderungan kecerdasan dan bakat saya. Saya sempat menangani beberapa kasus ketika lulus, namun tidak ada yang menang dan tuntas. Saya akhirnya introspeksi diri dan menemukan bahwa dunia saya buk an menjadi ‘pengacara’. Ketika mencoba jadi asisten dosen dan akhirnya menjadi dosen, saya merasa ‘AHA’ inilah dunia saya. Saya paling suka menyampaikan sesuatu yang rumit namun akhirnya menjadi mudah ditangkap oleh para mahasiswa saya. Apalagi setelah belajar tentang multiple intelligence, saya mencoba mengajar mulai dari tingkatan TK sampai perguruan tinggi. Dan akhirnya saya merasa ‘inilah dunia saya – I am a teacher’. Itu ketertarikan saya di dunia pendidikan yang mikro. Kalau yang makro, saya melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang kecepatan untuk majunya rendah. Beda dengan negara-negara lain yang punya speed cepat. Saya melihat problemnya ada dua hal yang mendasar yaitu ‘sistem pendidikan’dan kualitas sdm guru. Pada saat banyak guru yang mau maju dan kreatif, mereka berhenti bahkan mundur karena ‘sistem’ yang memaksa itu. Setiap guru yang kreatif mempunyai tembok penghalang yang demikian kokoh untuk ditembus yaitu ‘sistem’.
4. Salah satu hal yang sangat menarik dalam buku Anda, Sekolahnya Manusia, adalah rekaman tentang keberhasilan Anda mengubah beberapa sekolah di Jawa Timur yang hampir sekarat menjadi sekolah yang berprestasi. Dalam mengubah sekolah-sekolah yang hampir sekarat itu, Anda menggunakan MIR dan MIS. Apa itu MIR dan MIS mas Munif?
Jawab:
MIS adalah Multiple Intelligence System, yaitu semua sistem yang holistik dari proses pendidikan dari mulai input, proses dan outputnya.
Pada wilayah input, difokuskan pada konsep bahwa ‘setiap anak cerdas dengan multiple intelligencenya. Jadi dalam sekolah binaan saya, penerimaan siswa baru tidak memakai tes-tes kognitif apapun sebagai saringannya. Kita berpedoman pada kapasitas tempat. Kalau untuk siswa baru memuat 100 siswa. Maka pendaftar ke 100 adalah pendaftar terakhir. Dan setelah itu tutup. Semua siswa dalam berbagai kondisi diterima, terutama tidak menganut ‘the best input’, yaitu sekolah yang menerima siswa-siswa yang pandai-pandai secara kognitif. Walhasil sekolah kami banyak diserbu oleh siswa yang bodoh dan nakal, namun kami bertekad mengubahnya menjadi pinter dan baik. Nah apa rahasianya? Setelah mereka masuk, dilakukanlah Multiple Intelligence Research (MIR). MIR adalah alat riset psikologi yang mendiskripsikan banyak hal terutama adalah kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar siswa. Dengan MIR maka wilayah proses dalam MIS menjadi cantik dan manusiawi. Rumus ajaibnya adalah setelah diketahui gaya belajar siswa dengan MIR maka gaya mengajar guru menyesuaikan dengan gaya belajar tersebut, lahirlah kondisi tidak ada anak bodoh dan tidak ada pelajaran sulit. Konsep ini kita sebut ‘the best process’.
5. Mengapa Anda tertarik menekuni Multiple Intelligences (MI)? Apakah di Supercamp Oceanside, Anda mendapatkan pendidikan khusus tentang temuan Howard Gardner ini? Saya dengar, Anda membuat tesis “Islamic Quantum Learning” yang membuat kagum para pengajar di Supercamp. Apakah tesis Anda itu terkait dengan MI?
Jawab:
Faktor utama yang menyebabkan saya tertarik menekuni MI adalah sifat ‘manusiawi’nya. Tiba-tiba setiap orang mempunyai potensi untuk menunjukkan ‘benefiditas’nya, dalam kondisi apapun. Sebenarnya Howard Gardner menaungi lembaga psikologi yang bernama ‘project zero’ di Harvard University yang merupakan salah satu stake holder dari ‘Learning Forum – Supercamp’ yang dikomdani oleh Bobbi de Porter. Selain ‘project zero’ masih banyak lagi stake holder yang terkait. ‘Islamic Quantum Learning’ sangat terkait dengan MI. IQL merupakan strategi pembelajaran dengan menghadirkan tokoh. Materi-materi belajar terutama yang terkait dengan character building di ajarkan dengan menghadirkan tokoh yang terkait. Kata-kata ‘Islamic’ saya buat sebab hampir 90% tokoh yang saya tampilkan dan yang terkait dengan materi-materi pembelajaran seperti keberanian, patuh kepada orangtua, kesederhanaan, kepedulian, tanggung jawab dan lain-lain adalah tokoh-tokoh real Islam. Mulai dari Muhammad Rasulullah SAAW, keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Dalam dunia barat, strategi penokohan ini 90% adalah tokoh fiktif dan 10% tokoh real. Padahal mereka meneliti bahwa tokoh fiktif mempunyai durasi yang pendek untuk masuk memori jangka panjang. Sedangkan tokoh real sebaliknya, sangat disukai oleh ‘memori jangka panjang’. Contoh tokoh “Theletabis’ dulu sangat disukai oleh anak-anak, hampir di setiap alun-alun dan toko-toko menjual bonekanya. Namun sekarang, boneka Theletabis sudah tidak digemari lagi, mungkin ganti dengan tokoh yang lain. Namun apabila tokoh tersebut real, seperti di Amerika terkenal dengan Abraham Lincon, Thomas Jeferson, mulai dari anak kecil sampai orang tua sangat menyukai tokoh-tokoh tersebut. Nah dalam IQL, tokoh yang ada adalah hampir semuanya real, bukan fiktif. Mestinya tokoh-tokoh Islam tersebut akan disukai, dikenang dan jadi bahan pembicaraan anak-anak sampai orang tua setiap hari. Hanya saja kita jarang menggunakannya. Kita terbiasa untuk materi keberanian disandingkan dengan tokoh super hero, seperti batman, spiderman, atau superman. Jarang kita belajar makna keberanian dengan tokoh Sayidah Ali bin Abi Thalib, yang dengan keperkasaannya mampu merobohkan pintu Khaibar yang kokoh dan kuat.
6. Apakah keberhasila Anda mengubah sekolah-sekolah di Jawa Timur dengan MIR dan MIS juga dapat diterapkan di sekolah-sekolah lain di seluruh Indonesia? Apa syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar MIR dan MIS dapat mendekati sempurna penerapannya? Atau, sebenarnya, apa pun keadaan sekolah, MIR dan MIS akan membantu memperbaiki kinerja sekolah tersebut? Mohon Anda jelaskan ya?
Jawab:
Ya.. setiap sekolah dimana saja dapat menerpakan MIR dan MIS. Syarat-syarat penerapan MIR dan MIS utamanya biasa saya namakan segitiga emas, yaitu Paradigm, Know How dan Commitment.
Pertama, paradigma yang sama. Setiap komponen dari sekolah tersebut, manajemen, kepala sekolah, guru dan wali siswa mempunyai paradigma yang sama tentang hakekat ‘sekolahnya manusia’. Kedua, Know How. Setiap komponen sekolah mengikuti pelatihan-pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia yang sudah dikemas dalam suatu sistem yang holistik. Dengan sistem ini target yang ingin dicapai adalah ‘profesionalitas’. Ketiga, adanya komitmen. Semua elemen sekolah harus mempunyai komitmen yang tidak boleh luntur untuk menerapkan sistem ini. Adanya team work atau kerja sama dari setiap komponen sekolah menjadi hal yang penting, sebab akan banyak masalah yang akan dihadapi. Namun masalah tersebut adalah masalah yang wajar dalam dunia pendidikan. Nah.. itu saja syaratnya menurut saya.
7. Tak sedikit orang yang masih salah paham terkait dengan teori MI ini. Misalnya, penerapan MI harus benar-benar memerhatikan secara satu per satu anak didik karena setiap anak didik unik, tidak ada yang sama. Bukankah ini melawan kegiatan belajar-mengajar klasikal yang di dalamnya ada sekian puluh murid? Bagaimana pandangan Anda tentang soal ini?
Jawab:
Memang masih banyak yang salah paham dalam menerapkan MI di sekolah atau kelas. Sebenarnya setiap anak mempunyai kecenderungan kecerdasan yang beragam, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah dari 9 kecerdasan yang ditemukan Gardner. Dalam proses belajar mengajar kecenderungan kecerdasan tersebut harusnya diartikan sebagai pintu masuk informasi yang disampaikan guru kepada para siswanya. Pintu masuk yang terbesar inilah yang sebenarnya dinamakan ‘gaya belajar’ atau ‘learning style’. Apabila informasi tersebut sudah berhasil memasuki pintu terbesar dari kecenderungan kecerdasannya, maka dapat diartikan bahwa siswa tersebut mendapatkan informasi itu sesuai dengan gaya belajarnya. Biasanya siswa akan memahami informasi tersebut. Setelah informasi masuk, maka akan terjadi ‘flow’ yaitu dimungkinkan terbukanya pintu-pintu kecerdasan yang lainnya. Jadi sangat dinamis dan kompleks. Dengan Multiple Intelligences Researh (MIR) akan diketahui diskripsi tentang kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar siswa. Atas dasar data inilah dapat digunakan pembagian kelas, tentunya bagi sekolah yang mempunyai lebih dari satu kelas. Pembagian kelas berdasarkan hasil MIR berkaitan dengan persamaan gaya belajar. Sehingga akan tercipta efektifitas dalam proses pembelajaran sebab dalam kelas tersebut rata-rata semua siswanya mempunya gaya belajar yang cenderung sama. Namun setelah itu konsep ‘flow’ harus tetap dilakukan. Jadi tidak kaku dan terkotak-kotak menjadi kelas-kelas permanen berdasarkan 9 kecerdasannya. Inilah yang banyak terjadi di sekolah-sekolah. Akhirnya gaya mengajar para gurunya ‘selamanya’ disesuaikan dengan kecerdasan yang dimiliki siswanya dalam satu kelas tersebut. Akhirnya sangat membosankan. Sampai-sampai ada siswa yang menjuluki gurunya dengan sebutan ‘ustadzah lingkaran’ sebab setiap kali mengajar para siswanya terus diminta berdiri dan membentuk lingkaran. Pendekatan individul MI sebenarnya sangat efektif digunakan untuk siswa-siswa yang mengalami kesulitan pemahaman. Jadi menurut saya, jumlah ideal siswa dalam satu kelasnya di bawah 30 siswa. Dari hasil MIR gaya mengajar guru disesuaikan dengan gaya belajar rata-rata semua siswa untuk masuk dalam ‘pintu kecerdasan yang terbesar’. Setelah itu guru harus menerapkan flow, mengajar dengan strategi yang beragam. Sistem ‘grouping’ akan sangat membantu. Apabila ada siswa yang kurang paham, maka digunakan pendekatan individual. Insyaallah akan terwujud kelas yang indah dan bermakna.
8. Oh ya menurut Anda, problem-pokok pendidikan di Indonesia ini apa? Lantas, agar pendidikan di Indonesia dapat terus maju dan berkembang sebagaimana negara-negara lain—misalnya sejajar dengan Jepang atau Finlandia—apa yang kira-kira harus ditangani pertama kali?
Jawab:
Problem pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Namun saya yakin ada ujung benang kusutnya. Dan akhirnya dapat diselesaikan. Menurut saya ujung benang kusut ada dua yaitu sistem dan kualitas sumber daya manusianya. Banyak masalah yang terkait dengan sistem, antara lain yang menonjol adalah sistem pendidikan yang masih sentralistik, terutama dalam wilayah ‘output’, yaitu standar kelulusan siswa ditentukan oleh alat tes yang dibuat pusat, bukan oleh guru. Pada wilayah akhir yang ‘salah’ inilah yang akhirnya menjadi orientasi pendidikan mulai dari wilayah yang pertama yaitu input, san diikuti oleh prosesnya. Jika sistem di output ini diperbaiki, maka input dan prosesnya akan mengikuti. Betapa banyak kreatifitas guru yang lumpuh akibat kondisi output yang ‘academic minded’. Yang kedua adalah kualitas SDM, terutama tenaga pengajar. Guru juga manusia yang perlu belajar. Maka peningkatan kualitas dengan pelatihan dan pengembangan adalah hal yang terpenting dalam posting dana pendidikan. Negara yang maju pendidikannya mempunyai ciri-ciri yang hampir sama, yaitu posting dana pendidikan yang cukup besar dan diprioritaskan untuk pengembangan sdm-nya. Jadi kesimpulannya, agar bisa seperi Jepang dan Finlandia adalah pertama perbaiki sistem mulai dari input, proses dan output. Kedua sistem tersebut harus diisi oleh sdm yang berkualitas. Sebenarnya sederhana dan klasik. Hanya saja menurut saya pemerintah kita ‘sangat politis’ dalam mengurusi masalah pendidikan.
9. Ada sebagian pengamat pendidikan mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selama ini academic oriented. Misalnya, ujian itu selalu hafalan dari TK sampai SMA. Setiap sekolah mengajarkan teaching to the test. Anak didik pun tidak kreatif. Bagaimana menurut Anda?
Jawab:
Betul sekali. Academic oriented inilah yang menjadikan anak didik kita seperti robot. Segalanya dirancang agar lulus dari test akhir. Padahal pengalamn saya sebagai peneliti kualitas soal-soal ujian nasional, yang menjadi standar kelulusan siswa dalam jenjang SD, SMP dan SMA adalah kualitas soalnya masuk dalam kualitas yang paling ‘rendah’. Dengan ‘multiple choice’ murni peserta didik pemikirannya dibatasi dengan kemampuan ‘TAHU APA’ dan BIM SALABIM’. Artinya kalau siswa tidak tahu jawaban mana yang benar, maka mereka menggunakan cara ‘bim salabim, pokoknya semua soal terlingkari. Menurut Taksonomi Bloom, jenis soal semacam ini mestinya tidak dapat untuk menilai standar kelulusan dari sebuah materi atau bidang studi. Hilang sudah wilayah kemampuan pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi. Padahal ketika mereka terjun ke masyarakat untuk mengaplikasikan ilmunya, ternyata dunia sekarang ini membutuhkan sdm yang BISA APA selain TAHU APA. Segala macam cara yang dipakai sekolah agar sekolahnya tidak menjadi sekolah robot akan gagal pada masa akhir tahun ajarannya. Sebab didepan mata ada ‘robotic test’ yang harus dilewati semua siswa. Terkadang saya juga tidak habis pikir tentang ‘teaching to test’ ini sangat kuat mengakar dan sulit diubah di Indonesia. Padahal kenyataan sudah banyak terjadi, IP tinggi bukan segala-galanya. Saya banyak menjumpai dalam tes seleksi guru, calon guru dengan IP yang tinggi, berantakan pada saat menjalani micro teaching test. Almarhum Munir adalah sahabat saya waktu di fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Saya ingat betul, skripsi yang beliau tulis tentang perburuhan, dan IP Kumulatifnya hanya 2,6. Namun setiap orang mengakui kecerdasan Almarhum Munir yang terkait dalam profesinya. Semoga arwah beliau tenang dalam perjalanan menemui Tuhannya.
10. Bagaimana pula tentang pendidikan akhlak atau karakter? Mengapa pendidikan agama seperti gagal dalam menangani pendidikan akhlak ini? Apakah MI dapat membantu mengefektifkan pendidikan akhlak? Atau Anda memiliki strategi lain terkait dengan pendidikan akhlak?
Jawab:
Menurut saya, ada ketimpangan dalam pendidikan agama disekolah. Seperti yang kita ketahui pendidikan agama dibagi menjadi 3 wilayah besar, yaitu akidah, fiqih dan akhlak. Mestinya yang mempunyai bobot pemahaman kognitif terbesar adalah wilayah akidah. Sedangkan fiqih dan akhlak adalah materi praktis. Pada sekolah-sekolah binaan kami, pendidikan akhlak kami namakan ‘Character Building’ (CB). CB disajikan dalam bentuk praktis dan menarik. Materi disusun dalam lessonplan yang penuh dengan aktivitas, games, riset sampai siswa merasakan mengapa mereka harus berbuat baik, sebaliknya harus sekuat tenaga meninggalkan perbuatan buruk. CB tidak disajikan dalam bentuk defenitif. Tapi sangat cair dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tiba-tiba dengan bidang studi CB, karakter siswa yang nakal dalam interaksi di lingkungan sekolah secara efektif dapat berubah. Konsep-konsep karakter diterapkan dengan proses belajar yang sangat cantik dan menyenangkan siswa. Mulai dari jenjang TK sampai SMA. Bahkan saya menilai bidang studi CB ini wajib ada pada sekolah yang menerapkan multiple intelligence, sebab bulan-bulan pertama kebanyakan siswa akan mengalami ‘eforia’ kebebasan belajar. CB mampu mereduksi eforia ini secara efektif dan mengembalikan tanggung jawab keberhasilan belajar ada di pundak masing-masing siswa, bukan di pundak guru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...