Konon, pada suatu masa hidup seorang peniaga minyak yang biasa
menjajakan minyaknya dari desa ke desa, kampung ke kampong dengan
menggunakan kuda sebagai tunggangannya. Suatu hari seseorang bertanya
kepadanya, bagaimanakah engkau dapat mengenal Tuhan? Si penjaja minyak
tersebut berkata, “Dengarkan baik-baik! Aku setiap waktu meniti jalan
semenjak awal untuk menjajakan minyak, setelah mengisi penuh wadah ini
dengan minyak, dengan kain atau nilon aku menutupnya dengan kuat. Dan
selepas itu, mengikatnya dengan benang sekencang-kencannya. Dengan semua
langkah antisipatif itu, toh minyak tetap menetes setetes demi setetes
dari wadah tersebut. Akan tetapi Tuhan sedemikian Dia menciptakan kita
sehingga dalam keadaan bagaimanapun kalau kita tidak ada hajat maka
aktivitas penolakan (dâfe’e) tidak akan terlaksana. Dan buang air kecil
atau besar tanpa adanya kehendak dari nafs, tidak akan terjadi.
Sementara pada saat yang sama ia tidak memerlukan nilon atau benang
sebagaimana minyak yang diletakkan pada suatu wadah untuk menjaga minyak
tersebut tidak tumpah! Aku dengan perenungan dan kontemplasi seperti
ini aku menemukan dan mengenal wujud Tuhan!
Mengenal Tuhan dengan menyaksikan fenomena-fenomena natural yang
terjadi di sekeliling kita, dengan perenungan dan kontemplasi, kabut
eksistensi yang menyelimuti semesta dapat disingkirkan dan wujud Tuhan
dapat kita jumpai. Jalan yang dilakukan dengan merenungi eksistensi
diri, menyelami jiwa dan raga secara fisiologis, eksoteris dan esoteris,
dengan menatap batin sebagai sebuah fenomena yang dinamis, memandang
diri sebagai bagian kecil dari tatanan kosmos ini adalah apa yang sering
disebut sebagai sair anfusi. Sair anfus merupakan jalan atau argumen
yang sering disebut berdampingan dengan sair afaqi. Sair anfusi atau
mengenal Tuhan dengan jalan mengenal diri (nafs) umumnya akrab digunakan
dalam bidang Akhlak atau bahkan Irfan.
Dalam bidang ini diktum “barang siapa yang mengenal dirinya akan
mengenal Tuhannya” sangat sering diketengahkan. Khususnya dalam bidang
akhlak, tidak satu buku yang mengupas masalah moral dan etika yang tidak
menyebutkan diktum di atas. Dan disebutkan bahwa di salah satu tempat
ibadah Apollo di Delphi, di gerbangnya tertera tulisan, “Pergilah dan
kenali dirimu”. Pesan moral inilah yang banyak menjadi muatan utama
dalam filsafat Socrates dan Pyhtagoras.Sedemikian penting usaha dan
proyek mengenal diri ini sehingga natijahnya seorang yang meniti
perjalanan mengenal diri ini, tidak hanya akan mengenal kosmos tapi juga
akan mengenal Tuhan pencipta kosmos. Apakah mengenal diri dalam diktum
di atas adalah mengenal diri manusia secara fisikal yaitu mengenal panca
indra dan anggota tubuh lainnya, secara esoteris dan eksoteris atau
lebih subtil dan sublim dari itu? Pengenalan diri ini termasuk dalam
ilmu atau pengenalan apa? Pengenalan diri di sini adalah termasuk
pengenalan panca indra dan angota tubuh lainnya, fisiologis, esoteris
dan eksoteris. Namun secara umum manusia merupakan maujud yang secara
esensial, sifat dan perbuatan memiliki warna dan corak Ilahi. Yang
ditekankan dalam tema ini adalah lebih pada dimensi esoteris dan
ruhaninya. Dan dapat dikatakan bahwa antara Tuhan dan manusia terdapat
persamaan, akan tetapi secara dzati, karena esensi manusia dan nafs
natiqa-nya merupakan maujud mujarrad yang tidak terpengaruh oleh kantuk
dan tidur dan secara sifat karena nafs manusia memiliki peran manager
dan pengelolah anggota tubuh. Di sini nafs memiliki peran sifat, seperti
menarik, menolak, mengendali, menghafal, mengelola, mengatur,
bijaksana, melihat, mengetahui, mendengar dan mencipta dan sebagainya.
Di mana pada hakikatnya seluruh sifat ini dapat dicerap dan
diabstraksikan dari sifat-sifat manusia. Dan sifat perbuatan Tuhan juga
seperti, pemberi rizki, pencipta, mendengar, mengetahui dan sebagainya
demikian juga dapat dicerap dan diabstraksikan dari sifat-sifat
perbuatan Tuhan.
Definisi Nafs dan Ma’rifat an-Nafs
Banyak definisi yang diberikan oleh para filosof dan urafa tentang
nafs. Sebagian mereka dalam menjelaskan hakikat nafs terdapat empat
belas mazhab dan pendapat. Dan sebagian yang lain menganggap bahwa dalam
mengekplanasi realitas nafs terdapat empat puluh mazhab dan pendapat.
Dan sebagian lain berkata bahwa, “para qudama dan ulama kiwari
senantiasa masygul dan berselisih pendapat tentang definisi nafs natiqah
ini, mereka beranggapan bahwa pendapat dan definisi yang disampaikan
hingga kini ada seratus pendapat.” Tapi yang benar adalah bahwa nafs
merupakan substansi yang kosong dari materi dan sifat-sifat materi dan
ia menempel pada badan; menempel maksudnya di sini adalah bahwa nafs
bagi badan adalah pengendalli dan pengatur, dan tingkatan badan adalah
tingkatan turunan dari nafs. Selain definisi yang disebutkan paling
akhir, barangkali keliru atau mereka harus menakwilkan nafs sebagaimana
definisi ini. (‘Uyun Masâil Nafs wa Syarh A^n, hal. 16) Adapun definisi
ihwal ma’rifat an-nafs atau mengenal diri sebagaimana yang disebutkan
pada awal-awal pembahasan ini, bukanlah sekedar mengenal anggota tubuh
dan panca indra. Atau berkaitan dengan pengetahuan akan nama seseorang,
nama ayah, atau tanggal dan tempat lahirnya. Ma’rifat an-nafs lebih
banyak berkenaan dengan dimensi spiritual, esoteris dan ruhani
seseorang.
Urgensi Mengenal Diri
Semakin urgen sesuatu nilai dan harganya semakin melambung tinggi.
Terlebih apabila nilai dan harga barang tersebut menyangkut sukses
tidaknya seseorang, berjaya tidaknya seseorang, bahagia tidaknya
seseorang dan paling akhir, selamat tidaknya seseorang dalam
kehidupannya. Manusia yang dual-dimensi, dimensi ragawi dan dimensi
ruhani, adalah makhluk yang memiliki warna dan corak Ilahi. Tentu
apabila ia tidak mengaktualkan potensi yang diberikan Tuhan kepadanya,
sekali-kali ia tidak akan menjelma menjadi manusia unggul dan sempurna.
Setiap manusia berhajat kepada kesempurnaan. Fitrah manusia menegaskan
bahwa ia cinta dan kasih kepada kesempurnaan. Apabila kita melakukan
kontra-predikasi (naqsh al-haml) atas diktum di atas, barang siapa yang
mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, menjadi barang siapa yang tidak
mengenal dirinya tidak mengenal Tuhannya. Karuan saja ia tidak akan
pernah meraih derajat kesempurnaan. Manusia untuk meraup kesempurnaan
dan mentransendental, mau tidak mau ia harus mengenal tipologi,
karakteristik dan segala potensi yang diberikan Tuhan kepadanya.
Lantaran dunia kiwari dengan kerusakan moral dan kejahilan akan
pengenalan diri telah terjerembab dalam jurang alienasi diri. Mereka
telah melupakan diri dan Tuhannya. Mereka tak mengenal dirinya sehingga
tidak sampai gilirannya untuk mengenal Tuhannnya. Pertanyaan-pertanyaan
eksistensial darimana datangnya, kemana jalan yang ia tuju dan untuk
tujuan apa ia ada tak akan pernah dapat terjawab bagi orang-orang
seperti ini. Oleh karena itu, pembahasan pengenalan diri ini menemukan
urgensinya apabila insan dengan mengaktualkan potensi yang dimilikinya
maka ia akan dapat meraih kesempurnaan insani dan maknawi yang akan
menghantarkannya kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Tentu saja kali
ini kita tidak lagi berada pada arsy dan tataran pembahasan argumentasi
pembuktian wujud Tuhan dan wujud judgment day (hari kiamat). Pembahasan
kita kali ini adalah sequel dari seri argumentasi pembahasan tentang
wujud Tuhan. Dimana sebelumnya lebih banyak menitikberatkan pada
pembahasan sairi afaki. Sebagai pelengkap, di sini kita akan mengambil
manfaat dari cahaya hadis yang memotivasi dan mendorong setiap orang
untuk mengenal diri dan kediriannya. Di nukil dari Sayidina Ali Ra bahwa
ia bersabda: “Pengenalan terhadap diri merupakan sebaik-baik dan
seuntung-untungnya pengenalan. (Mîzân al-Hikmah, vol. 6, hal. 142, no.
11923) Atau dari hadis yang lain, “Puncaknya pengetahuan (atau
pengenalan) manusia adalah pengenalan terhadap dirinya.” (Mîzân
al-Hikmah, vol. 6, hal. 141, no. 11902)
Kegunaan Mengenal Diri
Sangat banyak kegunaan dan manfaat dari makrifat diri ini. Di sini
kami akan menyebutkan empat hal saja dari selaksa manfaat dan keutamaan
yang ada tentang kegunaan pengenalan diri ini.
Pertama, kegunaan atau faidah praktis dari pengenalan diri adalah
memberikan peluang kepada manusia untuk lebih familiar terhadap
kemampuan dan bakatnya. Hal ini akan banyak membantu seseorang dalam
hidupnya, misalnya mencegahnya dari memilih bidang studi atau pekerjaan
yang tidak sesuai dengan kemampuan dan bakat yang diberikan Tuhan
kepadanya.
Kedua, di samping itu pengenalan diri sangat bernilai karena manusia
dapat menyadari bahwa ia bukanlah sosok atau maujud yang mengada dengan
sendirinya atau wujudnya tidaklah mandiri (self-existent). Hal ini
penting, lantaran akan membantu seseorang untuk memahami bahwa sehebat
apa pun ia atau setinggi apa pun kedudukan dan status sosialnya, toh ia
hanyalah seorang yang berhajat dan berkeinginan, bahkan dalam
terminologi Mulla Shadra, sifat berhajat dan berkeinginan pada manusia
adalah bersifat dzati (faqr adz-dzati) dimana esensi (dzat) manusia
adalah butuh dan berhajat kepada Dia, yang wujudnya secara dzati kaya
dan tidak memiliki hajat kepada apa dan siapa pun (ghani adz-dzati).
Ketiga, Pengenalan diri sangat efektif bagi sistem dan mekanisme
pengembangan diri; bahkan seseorang dapat mengatakan bahwa makrifat diri
atau mengenal diri mirip dengan “bio-feed back therapies” yang
dikembangkan oleh banyak fisikawan di beberapa negara Barat yang
menganjurkan kepada para pasiennya yang aktif dalam proses healing
(penyembuhan) atau kepada pasien yang telah angkat tangan dari perawatan
medikal moderen.
Keempat, mengenal diri akan membantu seseorang memahami bahwa ia
tidak tercipta secara kebetulan (by chance). Jika kita menginternalisasi
dan menghayati akan keberadaan kita, diri kita, dengan argumen-argumen
atau bahkan tanpa memerlukan argumen, maka kita akan sampai kepada
kesimpulan yang tak-terelakkan bahwa Tuhanlah yang mencipta seluruh
keberadaan. Kita tidak mewujud dengan sendirinya atau hanya karena
persemaian antara sperma dan ovum dari kedua orang tua kita. Manusia
secara natural senantiasa mencari alasan keberadaannya. Ia akan
melakukan monologue pada dirinya ihwal Darimanakah kedatanganku?Ke mana
langkah yang aku tuju? Untuk tujuan apa keberadaanku? Dengan mengenal
diri, ia akan menuai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial
ini.
Apakah Nafs itu Ada?
Pertanyaan ontologis yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah
apakah wujud nafs itu dapat dibuktikan secara filosofis dan logis. Atau
sederhananya, apakah nafs itu ada dan eksis dalam diri kita. Ibn Sina
dalam berargumen tentang wujud nafs ia mengemukakan beberapa dalil dan
demonstrasi. Dalil pertama, perhatian manusia kepada Akunya sebagai
sebuah realitas selain badan dan raga. Penalaran dan argument Ibn Sina
ini dikenal sebagai “argumen manusia yang terangkum dalam ruang.” Ia
berkata, setiap manusia pada masa meleknya dan bahkan pada saat tidur
atau mabuknya, ia mengenal dirinya. Dan ia tidak pernah lalai dan alpa
dari realitas “Aku” ini. Sekarang mari kita melihat penjelasan Ibn Sina
tentang burhan yang dimaksud ini: “Perhatikan diri Anda secara seksama!
Apakah ketika Anda berada dalam kesehatan yang normal dan bahkan dalam
ketika Anda menderita sakit, sepanjang Anda tidak kehilangan ingatan dan
memori, sekali-kali Anda tidak akan pernah merasa kehilangan dari diri
Anda? Artinya sedemikian Anda tahu bahwa Anda ada dan wujud? Aku tidak
percaya kepada ingatan semacam ini, bahkan seseorang yang tertidur dan
atau mabuk sementara ia tidak tahu siapa dirinya, kendati perhatian
kepada dirinya tidak terlintas dalam pikirannya. Dalil kedua, Ibn Sina
menegaskan bahwa nafs bukanlah badan. Penalaran Ibn Sina bersandar
kepada landasan bahwa manusia dapat menemukan dirinya sebagai sesuatu
selain badan. Oleh karena itu, manusia selain dari badan, ia memiliki
nafs non-jasmani. Dalam menguraikan inferensi ini, Ibn Sina menjelaskan:
Hakikat dan realitas nafs yang terdapat pada diri manusia dapat
dibuktikan dengan jalan efek dan perbuatan-perbuatan. Seperti dengan
memperhatikan bahwa manusia memiliki gerak, perasaan dan mencerap, kita
bertanya kepadanya bahwa sumber gerakan dan perasaan ini darimana
datangnya? Sangatlah jelas bahwa gerakan tidak dapat bersumber dari
jasmani dan raga manusia, lantaran apabila raga dan jasmani dapat
menjadi sumber gerakan, maka seluruh raga dan jasmani mampu bergerak
dengan sendirinya, sementara kenyataannya tidaklah demikian. Bagaimana
mungkin kita menganggap gerakan bersumber dari jasmani, sementara
jasmani dan mixture jasmani, kadangkala ketika bergerak, menahan manusia
dari bergerak pada sebuah arah khusus dan kadangkala juga menahan
manusia dari gerakan aslinya. Oleh karena itu, jasmani dan mixture
jasmani dan tabiat jasmani tidak dapat dianggap sebagai sumber gerakan
kehendak manusia. Maka dalam diri manusia haruslah terdapat sesuatu yang
menjadi sumber gerakan dan itulah nafs yang disebut manusia sebagai
“diri”.
Klasifikasi Nafs
Ibn Sina sebagaimana para filosof sebelumnya beranggapan bahwa nabat
(flora), hewan dan manusia memiliki nafs. Nafs atau ruh merupakan sebuah
realitas atau hakikat dimana ia membuat format-format nabat (flora),
hewan dan manusia. Nafs merupakan sumber kekuatan-kekuatan dan efek-efek
dan aktifitas-aktifitas dimana materi yang tanpa jiwa tidak memiliki
hal tersebut. Adapun kekuatan dan kemampuan nafs nabati adalah, kekuatan
memberi makan, berkembang dan tumbuh dan kekuatan untuk reproduksi dan
memperbanyak keturunan. Nafs hewani di samping memiliki kekuatan yang
telah disebutkan pada nafs nabati, ia memiliki dua kekuatan tambahan,
yaitu, kekautan untuk mencerna dan kekuatan bergerak. Nafs dan ruh
manusia, di samping kekuatan-kekuatan yang telah disebutkan di atas, ia
memiliki kekuatan tipikal seperti kekuatan berpikir dan menalar.
Kekuatan-kekuatan tipikal ini, berdasarkan domain dan ranah aktifitas
manusia dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Akal teoritis yang mencakup masalah-masalah ontologi.
2. Akal praktis yang cakupannya merangkum pengenalan terhadap nilai-nilai. [bersambung}
ditulis oleh : Isyraq
sumber : ALHASSANAIN.com