Apa yang dimaksud dengan dzikir? Ada berapa jenis
dzikir? Apakah mengamalkan dzikir harus sesuai dengan makam dan kedudukan
spiritual seseorang? Apakah dzikir nama-nama Tuhan berpengaruh pada manusia
untuk memasuki alam ghaib?
Dzikir atau
mengingat Tuhan memiliki banyak pengaruh positif dan konstruktif pada kejiwaan
dan moral manusia dimana mengingat Tuhan (dzikrullâh) bagi hamba adalah
pencerah hati, penenang kalbu, takut dari (maksiat kepada) Tuhan, pengampun
dosa, membuahkan ilmu dan kebijaksanaan adalah beberapa pengaruh yang dituai
dari zikir. Biasanya, dzikir dibagi menjadi dzikir kalbu dan dzikir lisan
dimana dzikir lisan disebut sebagai "wirid." Dzikir dalam artian
sebenarnya bermakna mengingat dan dari sudut pandang ini, setiap eksisten,
tergantung pada tingkatan wujudnya, berada pada tingkatan khusus zikir dan
mengingat Tuhan.
Setiap
manusia, sesuai dengan teraju pengetahuan dan makrifatnya, terhadap sumbernya
merupakan tingkatan dari zikir kepada Tuhan atau melupakan identitas aslinya
yang juga merupakan tingkatan lain dari zikir.Dengan demikian manusia paripurna
(insan kamil) merupakan jelmaan dan manifestasi puncak dalam mengingat Tuhan
(zikruLlah) dimana salah satu nama Rasulullah Saw adalah dzikir.
Wirid atau
mengingat Tuhan baik dalam syariat juga dalam Irfan sangat mendapatkan
perhatian khusus. Tujuan dari wirid ini adalah untuk mengingatkan manusia
kepada Tuhan dan menghidupkan kalbu dengan mengingat-Nya. Sepanjang dzikir dan
mengingat ini berlangsung maka pelbagai tirai dan hijab antara dzâkir (yang
mengingat) dan madzkûr (yang diingat) akan tersingkap. Karena itu, jalan
dzikir-dzikir dalam Irfan juga merupakan sebuah pendahuluan untuk sampai pada
tujuan besar yaitu tersedianya kapasitas yang diperlukan untuk menyingkirkan
pelbagai hijab alam dunia (katsrat) dan kegelapan dalam diri seorang salik
(pejalan yang meniti lintasan menuju Tuhan).
Dzikir
bermakna mengingat yang dialirkan melalui lisan, melalui kidung, pujian, doa
dan wirid dan sebagainya.[1] Dalam tuturan-tuturan para arif, zikir bermakna
mendisiplikan amalan, menjaga, taat, shalat, Qur'an, dan seterusnya.[2]
Salah satu
jelmaan teriindah hubungan kasih dengan Tuhan dan merupakan jalan fundamental
sair dan suluk adalah dzikir. Dzikirullah (mengingat Tuhan) adalah mengingat
entitas wujud manusia yang terbatas dan berada dalam lintasan mengingat
nama-nama Tuhan dan kontinuitasnya. Mengingat Tuhan akan mengeliminir segala
dosa dari hati manusia; lantaran lalai dan lupa dari mengingat Tuhan akan
menodai dan melegamkan hati manusia. Berangkat dari sini, salah satu risalah
para wali Allah dan kitab-kitab samawi adalah melenyapkan kelegaman dan noda
ini. Atas dasar itu, "dzikir" disebut sebagai salah satu sifat
Rasulullah Saw dan sebuah nama dari nama-nama al-Qur'an. Sebagaimana al-Qur'an
menyinggung sifat dzikr ini bagi Rasulullah Saw, "Qad anzalaLlâh ilaikum
dzikrâ Rasulân yatlu 'alaikum Ayatillâh…" (Sesungguhnya Allah telah
menurunkan peringatan kepadamu, dan (mengutus) seorang rasul yang membacakan kepadamu
ayat-ayat Allah, Qs. Thalaq [65]:10-11)
Demikian
juga salah satu nama al-Qur'an adalah dzikir sebagaimana hal itu dinyatakan
dalam, "Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun."
(Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. Qs. Al-Hijr [15]:9)
Alasan
penamaan Rasulullah Saw dan al-Qur'an sebagai dzikir lantaran keduanya
mengingatkan manusia kepada Allah Swt; lantaran mengingatkan bergantung pada
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan para nabi dan kitab-kitab samawi
inilah yang telah berhasil menyingkirkan tirai kelalaian dan kelupaan dari hati
mereka dan memendarkan cahaya Ilahi atasnya. Karena itu, mengingat Tuhan akan
melesakkan manusia kepada puncak spiritual meninggalkan penjara dunia dan menghidupkan
harapan pada manusia dan melenyapkan segala putus asa dan putus harapan mansia
atas kesempitan kehidupan dunia materi dan kalkulasi-kalkulasi manusiawi.
Bagian dan
Tingkatan Zikir
Mengingat bahwa zikir merupakan salah satu ibadah
kepada Tuhan; seperti ibadah lainnya maka ia terbagi menjadi beberapa bagian:
seperti zikir umum dan zikir khusus; zikir umum tidak terkhusus pada satu
makhluk tertentu, melainkan dapat dijumpai pada segala sesuatu; artinya seluruh
entitas dan makhluk berzikir kepada Allah Swt. Zikir khusus, dilakukan utamanya
oleh jenis tertentu dari makhluk-makhluk; seperti zikir khusus malaikat atau
khusus manusia. Zikir terkadang bermuara dari hati dan terkadang bersumber dari
lisan. Akan tetapi pembagian ini tidak eksklusif terbatas pada manusia;
lantaran entitas-entitas lainnya yang memiliki inteleksi berbeda terkadang
berzikir dengan hati mereka dan terkadang berzikir mengingat Allah dengan lisan
yang terkhusus buat mereka yaitu zikir lisannya.
Imam
Muhammad Ghazali dalam Kimiyâ Sa'âdat berkata bahwa zikir memiliki empat
derajat:
Pertama: Dengan lisan dan hati lalai dari apa yang diungkapkan
oleh lisan; pengaruh dari jenis zikir semacam ini lemah. Namun tetap memberikan
pengaruh. Karena lisan yang sibuk melayani (berzikir) masih lebih baik
ketimbang lisan yang menganggur atau berkata-kata tanpa ada makna. Sekaitan
dengan itu, Imam Khomeini Ra terkait dengan zikir lisan berkata, "Kendati
mengingat Tuhan (dzikrullah) merupakan salah satu sifat hati dan apabila kalbu
berzikir maka seluru faidah dan manfaat bagi orang yang berzikir akan ia
peroleh. Akan tetapi lebih baik zikir kalbu yang mengekor pada zikir lisan.
Sesempurna dan seutama tingkatan zikir adalah zikir yang dilakukan pada
sumber-sumber tingkatan kemanusiaan dan efeknya merajalela terhadap lahir dan
batin, terang-terangan atau diam-diam… Zikir lisan juga merupakan suatu ha yang
terpuji dan ideal dan pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada hakikat.
Karena itu, dalam riwayat dan hadis juga banyak memuji zikir lisan ini.[3]
Kedua, zikir yang ada dalam hati namun
tidak bersemayam di dalamnya.
Ketiga, zikir hati yang bersemayam dalam
hati yang diraup dengan usahanya memanifestasikan zikir itu dalam setiap
kegiatannya.
Keempat, yang berkuasa dalam hati dan
penguasa itu adalah Allah Swt, bukan lagi zikir.[4]
Pengaruh
Zikir
Mengingat Tuhan (dzikrullah) adalah hubungan spiritual
seorang hamba pesalik dengan Rabb Malik. Hubungan ini memiliki efek dan
pengaruh yang sangat menakjubkan dimana masing-masing dari efek tersebut sangat
berperan dalam mengerangka dan mengonstruksi mental dan moral manusia. Sebagian
efek dan pengaruh penting tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengingat
Tuhan bagi hamba
Efek pertama mengingat Tuhan dan dzikrullâh adalah
Tuhan juga mengingat manusia, “Fadzkuruni adzkurkum..” (Ingatlah aku, Aku akan
mengingatmu, Qs. Al-Baqarah [2]:152) Karena itu, pada ayat ini zikir Tuhan
kepada hamba bersyarat pada zikir hamba kepada Tuhan. Dari ayat ini satu poin
penting yang dapat dipahami yaitu dua gambaran zikir dari sisi Tuhan: Pertama,
zikir umum. Kedua, zikir khusus.
Zikir umum
adalah petunjuk umum Ilahi yang mencakup seluruh makhluk dan entitas serta
tidak terkhusus pada kelompok tertentu dan buktinya zikir umum terdapat di
seantero alam. Zikir tersebut merupakan anugerah dan pemberian beragam Tuhan
kepada seluruh makhluk. Dan zikir ini yang merupakan emanasi intens Ilahi yang
sekali-kali tidak akan terputus. Akan tetapi zikir khusus terkait dengan para
hamba khusus Tuhan dan dzâkir (pengingat) dan satu model perhatian dan
kepedulian (inâyah) dari sisi Tuhan.
2. Penerang
hati
Allah Swt menjadikan zikir kepadanya sebagai penerang
dan hidupnya hati. Imam Ali As dalam nasihatnya kepada Imam Hasan Mujtaba dalam
suratnya kepada putranya menulis, Bahwa sebelum segala sesuatunya hendaknya
memikirkan bagaimana menghidupkan hati: “Fainni ushika bitaqwallâhi Ya Bunayya!
Wa Luzumu amrih wa imâratun qalbik bidzikrih.” Aku menasihatkan kepadamu nanda
untuk bertakwa dan menjalankan perintah-perintah Tuhan, menghidupkan hati dan
ruh dengan berzikir kepada-Nya…”[5]
Satu faktor
yang paling berpengaruh mengobati matinya hati dan untuk menghidupkannya
kembali adalah berlindung dengan berzikir kepada Allah Swt. Dzikrullaâ
(mengingat Allah) adalah cahaya dan intens melakukan zikir akan menyelamatkan
hati dari kegelapan, keputus asaan dan kekerasan hati. Serta memberikan
kehangatan dan keceriaan padanya. Hasil zikir dapat kita jumpai pada tuturan
Imam Ali As: InnaLlaha ta’ala ja’ala al-dzikr jilâ’an lilqulûb tusma’u bihi
ba’da waqra dan tubshir bih ba’d ‘usywat wa tanqâdu bihi ba’d al-mu’ânid.”
Allah Swt menjadikan zikir (kepada-Nya) sebagai penerang hati dan hasil (dari
zikir) adalah telinga akan mendengar setelah ketulian, mata akan melihat setelah
kebutaan, dan melalui zikir hati akan tenang dan taat setelah pembangkangan dan
permusuhan.”[6]
3.
Ketentraman Hati
Pengaruh positif ketiga mengingat Allah adalah
ketentraman hati manusia. Sesuai dengan ungkapan al-Qur’an, tuma’ninah dan
sukun al-qalb adalah salah satu pengaruh lansung dzikrullah, “Alladzina A^manû
tathmainnu qulubûhum bidzikriLlâh ala bidzikriLlâh tathmainnu al-qulûb.”
(Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram, Qs. Al-Ra’ad [13]:28)
Mengingat
Tuhan merupakan obat maknawi segala jenis stress dan depresi dimana dalam
pandangan para psikolog sebab-sebab stress dan depresi adalah: takut, masa
depan yang suram, ketakutan untuk kalah, ketakutan terhadap penyakit dan
kerisauan-kerisauan terhadap faktor-faktor natural. Terlepas dari depresi,
tuntutan untuk hidup tentram dan tenang berakar pada fitrah manusia dan pada
nurani manusia terpendam tuntutan untuk hidup tentram dan kebanyakan aktifitas
manusia sejatinya untuk menjawab seruan Ilahiah fitrah ini.
Tatkala
manusia menengok kehidupan pribadi dan kehidupan orang lain di sekeliling kita,
kita saksikan bahwa kebanyakan tujuan perbuatan kita adalah untuk sampai pada
mutiara berharga berupa ketentraman ini . Artinya manusia sepanjang hidupnya,
selama hayat di kandung badan, berupaya untuk sampai pada ketenangan dan
ketentraman (serenitas). Pada poin ini tidak terdapat perbedaan di antara
manusia, akan tetapi perbedaan mencuat ke permukaan tatkala ktia ingin
menentukan dan mengidentifikasi apa saja yang mendatangkan ketenangan dalam
kehidupan manusia. Terdapat banyak orang memandang bahwa mutiara berharga ini
terpendam pada mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dan hidup sejahterah.
Sebagian lainnnya meyakini terkandung pada status sosial dan ketenaran dan
seterusnya. Akan tetapi al-Qur’an menandaskan bahwa satu-satunya jalan untuk
meraup ketenangan adalah dengan mengingat Allah Swt. “ala bidzikriLlâh
tathmainnu al-qulûb.” Dan terkait dengan shalat, Allah Swt berfirman,
“Aqimisshalat lidzkri.” (Tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku, Qs. Thaha
[20]:14)
4. Takut
kepada Allah
Di antara pengaruh positif dan konstruktif lainnya
mengingat Allah Swt adalah berseminya ketakwaan dan sifat takut kepada Allah
Swt. Al-Qur’an menandaskan, “Innama al-Mu’minuna alladzina idzâ dzakaraLlâhu
wajilat qulûbûhum…” (Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, Qs. Al-Anfal [8]:2)
5. Pengampunan
dosa-dosa
Di antara pengaruh dan buah ukhrawi mengingat Allah
Swt adalah ampunan Ilahi yang akan diperoleh orang-orang yang mengingat Tuhan
(dzâkirun billah) dan di samping itu, Allah Swt menjanjian ganjaran dan pahala
besar kepada mereka. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Wa al-DzakirinaLlâh
katsiran wa al-Dzakirâtu a’addaLlâh lahum maghfiratan wa ajran ‘azhima.” (Dan
Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar, Qs. Al-Ahzab [33]:35)
Allah Swt
menjadikan pelbagai amalan dan jalan sebagai media pengampunan para hamba. Dan
siapa saja dengan media tersebut memohon ampunan. Salah satu media tersebut
adalah mengingat Allah Swt.
6. Menuai
Hikmah dan Ilmu
Salah satu pengaruh positif lain dari zikir adalah
kematangan akal, kesempurnaan dan kebijaksanaan (wisdom). Zikir menyebabkan
semakin bertambahnya fakultas pemahaman manusia dan kematangan pemikiran. Jiwa
manusia memiliki kelayakan untuk merefleksikan hakikat-hakikat ghaib pada
dirinya dan Allah Swt akan memberikan pertolongan pada pikiran dan akal
orang-orang ini. Realitas ini dituturkan oleh Imam Ali As dalam sabdanya,
“Allah Swt – dengan segala nikmatnya yang agung – pada setiap masa dan waktu
ketika tidak ada nabi, memiliki orang-orang yang berbisik-bisik dengan-Nya
dalam pikiran-pikiran mereka, dan berbicara melalui pikiran mereka. Mereka
adalah pelita hidayah yang menghidupkan dengan cahaya kesadaran pada telinga,
mata dan hati.” [7]
Zikir dan
Kedudukan Spiritual Orang-orang Berzikir
Mengingat bahwa zikir terdiri dari dua makna ingat
(mengingat) dan wirid yaitu mengulang-ngulang nama-nama Allah – baik secara
lisan atau non-lisan –karena itu dalam pembahasan tingkatan zikir dan
hubungannya dengan kedudukan spiritual orang-orang berzikir (dzâkirun) juga
harus dibahas pada dua makam ini.
Terkait
dengan zikir yang bermakna mengingat harus dikatakan bahwa setiap manusia dan
setiap pesalik dalam proses zikirnya, sejatinya sibuk mengingat lintasan
perjalanan yang bermula dari Tuhan sampai pada “asfal al-safilin” (kedudukan
sedimenter). Artinya salik mengingat lintasan perjalanan ini sebagai jalan
kembali kepada Tuhan dan proses mengingat ini disertai dengan gelombang kondisi
maknawi dan irfani yang terkadang disebut sebagai mengingat sahabat, tanah
tumpah darah dan mengingat masa perjumpaan; lantaran ruh manusia adalah unggas
arasy yang terpisah dan terasing di dunia dan secara perlahan mengingat kembali
kediaman aslinya dan bergerak mudik ke arahnya. Jalur mudik ini adalah melalui
jalur dzikruLlah. Seseorang mengingat sesuatu yang sebelumnya ia lihat dan kini
telah dilupakannya. Demikian juga dalam al-Qur’an kandungan seperti ini
disebutkan, orang-orang yang melupakan Tuhan sesungguhnya telah melupakan
diriya sendiri. “Wala takunu kalladzîna nasuLlâh faansahum anfûsahum.” (Dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Qs. Al-Hasyr [59]:19)
Karena itu,
shalat, al-Qur;’an, nabi dan urusan lainnya yang semuanya berada dalam daur dan
siklus zikir. Dan tatkala beberapa hal ini diartikan sebagai zikir maka
semuanya merupakan hikayat dari mengingat ini dan karena itu mereka juga
disebut sebagai zikir.
Dari sudut
pandang ini jelas bahwa setiap orang berdiri di tingkatan khusus zikir. Dan
boleh jadi orang-orang yang sama sekali tidak memiliki pengaruh dari hakikat
Ilahianya dan tidak mengingat hubungan fitrawinya dengan Tuhan kemudian
mencukupkan diri semata-mata dengan zikir lisan.
Sebagian
lainnya menyadari identitas Ilahiahnya ini dan menuntut untuk mudik kepada
Tuhan kemudian bergerak di jalur zikir, sedemikian ia bergerak sehingga antara
dzâkir (yang mengingat) dan madzkûr (yang diingat) menjadi satu. Karena itu,
dari sudut pandang ini setiap orang dapat mengkhususkan dirinya pada makam
khusus zikir tertentu.
Akan tetapi
terkait dengan zikir yang bermakna wirid dan mengulang-ngulang nama-nama Allah
harus dikatakan bahwa masalah ini mendapatkan sorotan dan perhatian dari dua
dimensi berbeda dalam Islam:
1. Dimensi syariat
2. Dimensi
irfan dan tarekat
1.Pada
dimensi syariat kita dapat menyinggung banyak hadis yang di dalamnya
menganjurkan zikir-zikir dan wirid-wirid suci dimana dengan melakukan hal
tersebut akan menyebabkan kemajuan maknawi dan taqarrub kepada Allah Swt dan
akan menuai hasil yang diharapkan oleh Sang Pemilik Syariat (Syâre’). Dari sisi
ini, seluruh zikir dan wirid memiliki nilai ideal tersendiri. Barang siapa pada
setiap makam dan tingkatan maknawi, ia dapat menyebutkan zikir-zikir ini. Misalnya
zikir shalawat yang banyak dianjurkan atau zikir istighfar dan zikir la haula
wa la quwwata illa biLlah dan seterusnya yang disebutkan pada kitab-kitab doa
dan riwayat.
Zikir ini
pada umumnya mengikut pada kondisi-kondisi tertentu dan tipikal yang dilakukan
oleh para ahli irfan (urafa). Zikir juga ini tidak terkhusus pada individu atau
kelompok atau makam-makam spiritual tertentu dan seluruh zikir ini sejatinya
mempersiapkan hati untuk melakukan mikraj maknawi dan perjalanan batin mudik
kepada Tuhan yang dimulai pada seseorang.
2. Akan
tetapi dari dimensi irfani umumnya pada sebagian aturan-aturan praktis (dastur
al-‘amal) irfani kita saksikan seorang salik dianjurkan untuk melakukan sebuah
zikir tertentu pada bilangan tertentu, hari tertentu (pada satu putaran empat
puluh hari) dan menuai hasil-hasil mental dan kejiwaan tertentu. Hal yang patut
mendapat perhatian dalam masalah ini adalah bahwa aturan-aturan praktis irfani
ini memerlukan guru dan izin serta tidak dapat dianjurkan kepada setiap orang. Akan
tetapi, pada tingkatan ini, setiap zikir dan wirid sesuai dengan tingkatan
spiritual dan makam salik serta sekaligus akan menjadi penghalang-penghalang
pada tingkatan tertentu baginya. Karena itu, seyogyanya ada seorang guru
sempurna, sesuai dengan ilmunya, yang memotivasi murid dan salik dengan program
tertentu dari zikir-zikir dan wirid-wirid. Sejatinya zikir dan wirid ini akan
menjadi satu media spiritual yang diperoleh dari pengaruh-pengaruh zikir-zikir
ini.
Dari sudut
pandang tarekat, wirid-wirid dan zikir-zikir digunakan sebagai satu faktor
pembantu, hingga tingkatan-tingkatan mikraj spiritual atau masuknya pada
makam-makam ghaibi dan maknawi bagi seorang salik yang telah sampai pada
tingkatan tertentu dari zikir dalam artian mengingat alam-alam maknawi.
Di sebutkan
bahwa terkadang pada sebagian kitab-kitab dinukil hal-hal dan aturan-aturan
praktis yang mencakup wirid-wirid tertentu untuk mengakses urusan-urusan
metafisis dan ghaib. Melakukan wirid-wirid seperti ini tanpa perantara seorang
guru dan arif akan menyebabkan kebingungan salik; karena itu memiliki guru
sempurna dan penyambung dalam perjalanan ini merupakan sebuah hal yang harus
dan niscaya dipenuhi untuk meniti jalan mudik kepada Tuhan.
Catatan
Kaki:
[1]. Gul Babai Sa’idi, Farhangg-e Isthilâhât-e Ibnu
Arabi, hal. 228, Intisyarat-e Syafi’i, Cetakan Kedua, Teheran, 1384.
[2]. Sayid
Ja’far Sajjadi, Farhangg-e Isthilâhât-e ‘Irfâni, hal. 402, Intsiyarat-e
Thahuri, Cetakan Keempat, Teheran, 1478.
[3]. Imam
Khomeini, Syarh Cihil Hadits, hal. 292-293, Muassasah Nasyr Atsar Imam
Khomeini, Teheran, Cetakan 28, 1378.
[4].
Ghazali, Kimiyâ Sa’âdat, jil. 1, hal. 254, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi,
Teheran, Cetakan Ketuju, 1375.
[5]. Nahj
al-Balâgha, Surat 31
[6]. Nahj
al-Balâgha, Khutbah 222.
[7]. Nahj al-Balâgha,
Khutbah 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar