Jumat, 05
Juni 2015, 16:00 WIB
Safar
keempat dapat dikatakan sebagai puncak dari sebuah perjalanan spiritual. Para
salik yang sampai di makam ini sudah dapat disebut penghulunya para wali
(al-imam al-auliya’/the saint of the saints). Ia sudah tidak lagi mengenal
tabir pemisah dengan Tuhan (al-hujb). Ia sudah bebas dari hijab-hijab putih,
apalagi hitam. Walaupun bukan nabi atau rasul, ia sudah masuk ke dalam kelompok
yang terbebas dari dosa (min al-ma’shumin), sebagaimana kekhususan yang
diberikan kepada para nabi dan rasul.
Ia tidak perlu naik ke atas dan tidak memerlukan fana untuk berjumpa dengan Tuhan. Karena itu, safarnya disebut Min al-khalq ila al-khalq bi al-Haq. Ia sudah meninggalkan makam ‘al-qurb al-nawafil’ menuju makam permanennya, ‘al-qurb al-faraid’ karena Tuhan sudah proaktif terhadapnya, bukan lagi ia yang proaktif mendekati Tuhannya, sebagaimana safar-safar sebelumnya. Ia sudah masuk ke dalam kategori "pejalan Ilahi" (al-sa’ir al-haqqani/Godly journeyer) yang bebas hambatan.
Ia memiliki kualitas-kualitas kenabian (prophetic quality) meskipun bukan nabi. Mereka inilah yang disebut di dalam Alquran, "Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS al-Baqarah [2]:38). Dialah yang disebut Allah SWT dalam ayat, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS Yunus [10]: 62).
Semakin tinggi makam seseorang, semakin kuat pula ia merahasiakan dirinya. Hal yang paling ditakuti para salik level atas ialah keterkenalan. Mereka menghindari keterkenalan, baik keterkenalan di bumi maupun di langit karena sehalus apa pun sifat itu bisa mengundang hijab-hijab putih.
Ini juga yang membedakan di level safar sebelumnya yang masih menolerir istilah: Majhul fi al-ardh ma’lum fi alsama’ (tidak terkenal di bumi, tetapi terkenal di langit). Para salik di level empat di langit pun tidak ingin terkenal. Ia senantiasa mempertahankan prinsip: Majhul fi al-‘alamin (tidak ada yang mengenalnya di seluruh alam selain Tuhannya).
Ia memelihara diri untuk tidak menunjukkan kekeramatan (karamah) seperti yang masih sering muncul di safar awal. Ia juga menghindari untuk mengungkapkan pernyataan-pernyataan aneh yang mungkin membingungkan umat, yang dalam ilmu tasawuf biasa disebut syathahat (theopatical stammering), seperti salik yang masih berada di level kedua. Ia sudah mampu menghilangkan huruf ka pada hadis Nabi: "An ta’bud Allah ka annak tarahu.." (Hendaklah menyembah Allah bagaikan engkau melihatnya) menjadi: "An ta’bud Allah annaka tarahu…" (Hendaklah menyembah Allah sebagaimana yang engkau lihat).
Para salik di level puncak ini betul-betul merasa sudah menyatu dengan Tuhannya. Ia berada dalam posisi seperti dikatakan Allah SWT dalam ayat, "Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-'Ankabut [29]:5). Bagi para salik di level ini selalu merasa bersama dengan Tuhan.
Dengan demikian, hidup atau mati bagi kelompok ini tidak ada bedanya, baik menurut dirinya maupun menurut Allah dan rasul. Merekalah yang termasuk orang yang disebut di dalam Alquran, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki." (QS Ali Imran [3]:169).
Mereka menganggap kematian itu sebagai sesuatu yang biasa. Mereka hidup dalam lintas alam, dalam arti lintas ‘Alam Mulk (Alam Syahadah/dunia), ‘Alam Malakut (Alam Malaikat), ‘Alam Jabarut (Alam Ruh), bahkan ‘Alam ‘Aql, ‘Alam ‘Imi, dan A’yan Tsabitah, atau lebih tinggi dari itu (au adna). Allahu a’lam.
Ia tidak perlu naik ke atas dan tidak memerlukan fana untuk berjumpa dengan Tuhan. Karena itu, safarnya disebut Min al-khalq ila al-khalq bi al-Haq. Ia sudah meninggalkan makam ‘al-qurb al-nawafil’ menuju makam permanennya, ‘al-qurb al-faraid’ karena Tuhan sudah proaktif terhadapnya, bukan lagi ia yang proaktif mendekati Tuhannya, sebagaimana safar-safar sebelumnya. Ia sudah masuk ke dalam kategori "pejalan Ilahi" (al-sa’ir al-haqqani/Godly journeyer) yang bebas hambatan.
Ia memiliki kualitas-kualitas kenabian (prophetic quality) meskipun bukan nabi. Mereka inilah yang disebut di dalam Alquran, "Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS al-Baqarah [2]:38). Dialah yang disebut Allah SWT dalam ayat, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS Yunus [10]: 62).
Semakin tinggi makam seseorang, semakin kuat pula ia merahasiakan dirinya. Hal yang paling ditakuti para salik level atas ialah keterkenalan. Mereka menghindari keterkenalan, baik keterkenalan di bumi maupun di langit karena sehalus apa pun sifat itu bisa mengundang hijab-hijab putih.
Ini juga yang membedakan di level safar sebelumnya yang masih menolerir istilah: Majhul fi al-ardh ma’lum fi alsama’ (tidak terkenal di bumi, tetapi terkenal di langit). Para salik di level empat di langit pun tidak ingin terkenal. Ia senantiasa mempertahankan prinsip: Majhul fi al-‘alamin (tidak ada yang mengenalnya di seluruh alam selain Tuhannya).
Ia memelihara diri untuk tidak menunjukkan kekeramatan (karamah) seperti yang masih sering muncul di safar awal. Ia juga menghindari untuk mengungkapkan pernyataan-pernyataan aneh yang mungkin membingungkan umat, yang dalam ilmu tasawuf biasa disebut syathahat (theopatical stammering), seperti salik yang masih berada di level kedua. Ia sudah mampu menghilangkan huruf ka pada hadis Nabi: "An ta’bud Allah ka annak tarahu.." (Hendaklah menyembah Allah bagaikan engkau melihatnya) menjadi: "An ta’bud Allah annaka tarahu…" (Hendaklah menyembah Allah sebagaimana yang engkau lihat).
Para salik di level puncak ini betul-betul merasa sudah menyatu dengan Tuhannya. Ia berada dalam posisi seperti dikatakan Allah SWT dalam ayat, "Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-'Ankabut [29]:5). Bagi para salik di level ini selalu merasa bersama dengan Tuhan.
Dengan demikian, hidup atau mati bagi kelompok ini tidak ada bedanya, baik menurut dirinya maupun menurut Allah dan rasul. Merekalah yang termasuk orang yang disebut di dalam Alquran, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki." (QS Ali Imran [3]:169).
Mereka menganggap kematian itu sebagai sesuatu yang biasa. Mereka hidup dalam lintas alam, dalam arti lintas ‘Alam Mulk (Alam Syahadah/dunia), ‘Alam Malakut (Alam Malaikat), ‘Alam Jabarut (Alam Ruh), bahkan ‘Alam ‘Aql, ‘Alam ‘Imi, dan A’yan Tsabitah, atau lebih tinggi dari itu (au adna). Allahu a’lam.
Oleh Prof Dr
Nasaruddin Umar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar