Senin, 14 Maret 2016

Tajafi dan Tajalli



Jumat, 06 Maret 2015, 19:20 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Transformasi satu wujud ke wujud lain, termasuk al-safar al-arba'ah yang menjadi tema dalam tulisan ini, melalui dua proses, yaitu proses tajafi dan tajalli. Tajafi adalah transformasi satu wujud ke wujud lain dengan mengurangi atau menyebabkan hilangnya wujud asli. Sedangkan, tajalli adalah transformasi satu wujud ke wujud lain tanpa mengubah atau mereduksi keaslian wujud pertama.

Transformasi dari alam atas (al-’alam al-’ulwiyyah) ke alam bawah (al-’alam al-sufla) melalui proses tajalli karena keberadaan alam bawah tidak serta-merta mereduksi atau menghilangkan keberadaan alam atas.

Inilah yang dimaksud proses tajalli karena keberadaan wujud alam bawah tetap menyisihkan keberadaan alam-alam atas. Bahkan, keberadaan alam bawah, termasuk manusia dalam waktu bersamaan mewujud juga di alam-alam atas. Inilah yang disebut maratib al-wujud sebagaimana dijelaskan di dalam pembahasan terdahulu. Tidak ada wujud di dalam alam syahadah tanpa diawali dengan wujud yang sama di alam-alam atas. Dengan kata lain, wujud dan peristiwa yang terjadi di alam syahadah dan kejadian serupa juga terjadi di alam-alam atas.

Di dalam Alquran, proses tajafi dicontohkan di dalam ayat, Tatajafa junubuhum 'an al-madhaji' yad'una Rabbahum khaufan wa thama'an wa mimma razaqnahum yunfiqun (Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS as-Sajadah [32]:16). Maksud ayat ini ialah orang yang sedang meninggalkan tempat tidurnya menuju ke tempat lain untuk berdoa. Setelah pindah (tajafi) dari tempat semula ke tempat lain, maka tempat semula menjadi kosong.

Sedangkan, proses tajalli dicontohkan di dalam ayat, Falamma tajalla Rabahu lil jabali ja'alahu dakkan wa kharra Musa sha'iqan. Falamma afaqa qala subhanaka tubtu ilaika wa ana awwalul mu'minin (Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman (QS al-A’raf [7]:143). Maksud ayat ini ialah ketika Allah SWT menampakkan (tajalli) di atas gunung, bukan berarti Allah terbebas dari tempat lain.

Contoh konkret tajafi ialah ketika kita membagi-bagikan laptop ke seluruh mahasiswa di kelas, boleh jadi laptop di kelas itu sudah habis dan kelas lain tidak memperoleh jatah. Sedangkan, tajalli ibarat copy file yang diambil dari master di komputer. Copy bisa mengalir dari master tanpa harus menghilangkan data master. Contoh lain tajafi ialah isi dompet yang dibagi-bagikan kepada mahasiswa, lama kelamaan isi dompet akan habis. Sedangkan, contoh tajalli ialah ilmu sang dosen yang diajarkan kepada seluruh mahasiswa tidak akan menghabiskan ilmunya dosen.

Kaitannya dengan al-asfar al-arba'ah ialah proses penciptaan makhluk oleh Allah SWT terjadi secara tajalli meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, tetapi tidak akan pernah keberadaan makhluk mereduksi atau membebani diri-Nya karena keberadaan makhluk-Nya melalui proses tajalli.

Ibarat seribu cermin di depan suatu benda, benda itu akan terlihat sebanyak seribu tanpa ada reduksi atau pengurangan sedikit pun dari benda asli. Inilah yang disebut Allah dalam Alquran, "Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya, melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS al-Hijr [15]:21). Yang dimaksud khazanah di dalam ayat ini ialah semacam "gudang" yang tak pernah kering, selalu berisi sekalipun selalu diambil.

Jika ingin mengubah tajafi menjadi /tajalli dalam kehidupan sosial, kita perlu mencontoh sifat-sifat Allah SWT. Dia memberi dengan penuh perhatian dan tanpa pamrih, akibatnya ciptaannya banyak, tetapi bentuk aslinya tetap seperti semula. Ilustrasinya, jika seseorang mencontoh sifat Tuhan sebagai Maha Pengasih Maha Pemberi, proses tajalli akan muncul ke dalam diri seseorang. 

Inilah yang disebut Allah SWT dalam Alquran, "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS an-Nahl [16]: 96).

Dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang akan dimurahkan rezekinya, ia harus rajin memberi dengan sikap penuh ketulusan atau tanpa pamrih. Cara demikian ini bisa berubah menjadi proses tajjali dari tajafi. Seorang yang pelit tidak akan bertambah rezekinya karena akalnya lebih dominan ketimbang kasih sayangnya. Tuhan selalu memberi tanpa pernah merasa kekurangan. Keikhlasan selalu mengundang tajalli. Allahu a'lam. 

Oleh Prof Dr. Nasaruddin Umar Guru Besar Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...