Senin, 14 Maret 2016

al-Asfar al-Arba'ah Perjalanan (2): Dari Tuhan Menuju Tuhan Bersama Tuhan (Min al-Haq ila al-Haq bi al-Haq)



Jumat, 08 Mei 2015, 16:00 WIB
Perbedaan mendasar antara Safar Awal dan Safar Tsani secara teoritis masih mudah dijelaskan dan diidentifikasi dan dijelaskan. Namun, pada Safar Tsalits dan Safar Rabi’ nanti semakin sulit diidentifikasi dan dijelaskan.

Seperti mencicipi manisnya teh, apakah terlalu manis, kurang manis, atau tidak manis, tidak bisa dijelaskan dengan narasi, tetapi memerlukan penyatuan antara subjek dan objek, yang dalam dunia epistimologi disebut dengan metode hudhuri, bukan lagi metode hushuli, yang masih menoleransi jarak antara subjek ilmu (ilmuan) dan objek keilmuannya. Perbedaan antara keduanya dalam hal ini seperti yang dilukiskan oleh Ibnu Abbas bahwa golongan pertama sudah masuk kategori ashhab al-yamin dan al-muqarrabin.

Golongan ashhab al-yamin dilukiskan dalam QS al-Waqi’ah: Wa amma in kana min ashhab al-yamin, fa salamun laka min ashhab al-yamin (Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan (ashhab al-yamin), maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan/QS al-Waqi’ah [56]:90-91).

Sedangkan, golongan al-muqarrabin dilukiskan dalam surah yang sama: Wa amma in kana min al-muqarrabin, fa rauhun wa raihan wa jannah na’im (Adapun jika dia termasuk orang yang didekatkan kepada Allah (muqarrabin), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan/QS al-Waqi’ah [56]:88-89).

Golongan pertama digambarkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai golongan yang masih mengonsumsi "minuman yang berisi campuran" (yamzaj lahum al-syarab mazjan). Sedangkan, golongan kedua (al-muqarrabin) tidak lagi menggunakan kata ashhab (sahabat), tetapi langsung dikatakan al-muqarrabun (sahabbat lebih dekat lagi). Golongan ini digambarkan dengan pengonsumsi "air murni tanpa campuran" (yasyrabun biha sharfan gair mamzujah).

Dari segi hubungannya dengan Allah SWT, salik di Safar Awal masih dapat dikatakan longgar jika dibandingkan dengan safar-safar berikutnya karena masih membedakan antara yang sunah dan fardhu. Mereka masih lebih memprioritaskan idadah-ibadah wajib, baik dari segi kekhusyukan maupun dari segi pelaksanaan.

Di samping itu, ibadah baginya masih sering dirasakan sebagai beban, belum dirasakan sebagai hobi, kesenangan, dan kebutuhan permanen seperti para salik yang berada di safar lanjutan. Sedangkan, salik di dalam Safar Tsani sudah tidak lagi membedakan antara ibadah-ibadah anjuran atau sunah (nafilah), tetapi sudah merasakannya sama dengan ibadah-ibadah wajib lainnya.

Jika mereka meninggalkan ibadah-ibadah sunah sama tersiksanya jika meninggalkan ibadah-ibadah wajib. Perasaannya ketika melaksanakan berbagai macam ibadah sudah tidak ada lagi kesan wajib, yang dirasakan sebagai keharusan dan mengisyaratkan adanya beban. Semua ibadah dinikmati sebagai sebuah kebutuhan yang sangat indah dalam hidupnya.

Adapun perbedaan yang paling penting ialah dalam Safar Awal  para salik masih sadar, belum sampai mengalami fana dalam arti yang sesungguhnya. Kalaupun mau disebut fana, mereka baru berada di dalam fana level awal. (Ingat kembali artikel yang lalu, ada empat level fana). Mereka masih berada dalam kategori "sadar sebelum fana" (al-mahw qabla al-sahwu).

Belum seperti para salik di level Safar Tsani yang berada dalam suasana "fana setelah sadar" (al-sahwu ba’da al-mahwu), apalagi belum seperti di level Safar Tsalits dan Safar Rabi’ yang sudah berada di dalam keadaan "sadar setelah fana’" (al-mahw qabla al-sahwu).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara Safar Awal dan Safar Tsani ialah dari segi subjek (salik) masih berada di dalam alam kesadaran biasa, meskipun sudah menanjak ke atas. Ia masih sadar dirinya sebagai hamba yang berusaha mendaki menuju Tuhan. Ia juga masih menyadari Tuhannya sebagai objek yang akan dituju. Ia baru berusaha mengecilkan jarak antara dirinya sebagai subjek dan Tuhan sebagai objek.

Meskipun demikian, para salik di level Safar Awal tidak bisa lagi dipandang sebagai orang awam. Justru perjuangan yang paling berat berada di level ini. Ibarat pesawat yang akan tinggal landas, saat tinggal landas itulah memerlukan energi yang luar biasa. Setelah dalam ketinggian tertentu pesawat akan merasa ringan untuk terbang karena sudah mulai terbebas dari gravitasi Bumi. Selama seseorang masik tersedot oleh gravitasi dunia, selama itu ia sulit untuk tinggal landas menuju Tuhan. (Bersambung).

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...