Senin, 14 Maret 2016

al-Asfar al-Arba'ah Perjalanan (2): Dari Tuhan Menuju Tuhan Bersama Tuhan (Min al-Haq ila al-Haq bi al-Haq)



Jumat, 17 April 2015, 16:47 WIB
Setelah menempuh perjalanan pertama (al-safar al-awwal), ‘Dari Makhluk Menuju Tuhan’ (Min al-Khalq ila al-Haq), maka salik memasuki jenjang perjalanan kedua, ‘Dari Tuhan Menuju Tuhan Bersama Tuhan’. Dengan demikian, sang salik sudah mengalami fana pertama, yaitu suasana batin meninggalkan alam materi (al-maqam al-dzati/physical stage) menuju ke alam ketuhanan (al-maqam al-Haqqani/Divine stage).

Dalam maqam/ini sang salik tidak lagi menyaksikan wujud apa pun selain wujud Allah SWT. Ia dengan sendirinya sudah terhijab dari wujud yang banyak (al-katsrah/manynes) oleh wujud Maha Esa (al-Wahdah/The Oneness). Salik tidak lagi melihat alam raya yang beragam, tetapi sudah menyaksikan Allah Yang Maha Esa.

Dalam maqam ini salik dapat diilustrasikan tidak lagi seperti orang buta meraba ekor gajah seperti tongkat, perut gajah seperti tembok, belalai seperti tombak, tetapi ia hanya menyaksikan seekor gajah. Tongkat, tembok, dan tombak sudah tidak ada lagi, yang ada hanya seekor gajah. Ia tidak lagi melihat kuba, menara, mimbar, mihrab, dan lantai, tetapi hanya menyaksikan sebuah masjid. Ia tidak lagi melihat pohon sebagai pohon, gunung sebagai gunung, laut sebagai laut, langit sebagai langit, matahari sebagai matahari, bulan sebagai bulan, dll, tetapi sudah menyadari bahwa pohon, gunung, laut, langit, matahari, bulan, dll hanya sebagai manifestasi (tajalli) dari keberadaan Allah SWT.

Ia menyaksikan kualitas-kualitas Ilahi atau al-Asma’ al-Husna’ yang mewujud menjadi kenyataan. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS Fushilat [41]:53).

Lebih dalam dari ini, ia tidak hanya menyaksikan kualitas Ilahi di dalam hamparan ufuk, tetapi sudah mampu menyaksikan ketunggalan Tuhan dalam ufuk. Ia sudah sampai kepada tingkat kesadaran penyaksian langsung terhadap Dia Yang Maha Esa, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kalian menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui". (QS al-Baqarah [2]:115).

Para salik di maqam ini sudah bebas dari cengkeraman dan gangguan setan yang membuat seseorang bimbang dan terdekonsentrasi pada sebuah obyek. Ia sudah mampu mengenali tipu daya setan sebagaimana disebutkan dalam ayat: "…dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka." (QS al-Isra' [17]:64).

Namun, perlu ditegaskan di sini bahwa para salik di maqam ini tidak menganggap partikularitas (juz'iyyat) ini langsung sebagai Tuhan. Ia tidak secara menganggap gajah, masjid, gunung, pohon, laut, atau benda-benda lainnya langsung sebagai Tuhan. Keberadaan makhluk (al-khalq) bukanlah Allah SWT atau identik dengan-Nya, tetapi keberadaan tajalli-Nya. Ibaratnya, seorang yang berdiri di depan cermin; wajah atau obyek di depan cermin pasti sama gambarannya di dalam cermin. Wujud di depan cermin itulah wujud hakiki/mutlak, dan wujud di dalam cermin tidak lain hanyalah tajjali-Nya atau biasa disebut wujud nisbi/idhafi/relatif. Jika di depan obyek dipasang 1000 cermin maka di sana pasti terlihat 1000 wajah tanpa mereduksi keaslian wajah asli di depan cermin.

Para salik dalam safar tsani ini tidak lagi melihat partikularitas (juz'iyyat), tetapi sudah mampu menyaksikan universalitas (kulliyyat). Sesuatu yang bersifat partikularitas sesungguhnya adalah bagian dari totalitas universalitas. Dengan demikian, tidak mungkin kita bicara tentang juz'iyyat tanpa berbicara tentang kulliyat. Contohnya, keberadaan "kitab kuning". Tidak mungkin kita mengenal "kitab kuning" tanpa mengenal kitab. Kitab adalah sesuatu yang muthlaq dan kuning adalah sesuatu yang muqayyad atau spesies dari yang muthlaq.

Yang kulliyat biasa disebut dengan wujud mutlak atau absolut dan yang juz'iyyat biasa disebut dengan wujud relatif atau nisbi. Orang awam sering kali terlena dengan obyek yang bersifat juz'iyyat atau muqayyad atau wujud relatif dan mereka jarang menyadari keberadaan obyek kulliyyat atau muthlaq atau wujud absolut.

Para salik di maqam ini betul-betul sudah sampai ke tingkat kesadaran hakiki tanpa sedikitpun keraguan. Ia sudah mampu menyaksikan segala sesuatu secara kulliyat, tidak lagu juz’iyyat. Baginya, sudah tidak ada lagi hijab dan sudah mampu menyaksikan Tuhan (al-Haq) secara transparan, seperti yang digambarkan Ibn ‘Athaillah:

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah yang menampakkan segala sesuatu?"

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, apabila Dia-lah yang tampak pada segala sesuatu?"

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah yang terlihat dalam segala sesuatu?"

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, padahal Dia-lah Yang Maha Tampak atas segala sesuatu?"

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, sedangkan Dia-lah Yang Maha Ada sebelum adanya segala sesuatu?"

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, sementara keberadaan-Nya lebih jelas tampak dari segala sesuatu."

"Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu mampu menjadi hijab atas-Nya, sementara tanpa Dia niscaya tidak akan ada segala sesuatu itu?"

"Alangkah mengherankan, bagaimana mungkin keberadaan sesuatu yang ‘pasti ada’ (Allah) bisa terhalang oleh sesuatu yang (sebelumnya) ‘tidak ada’? Bagaimana mungkin pula sesuatu yang baru (al-hadits/makhluk) dapat bersama dengan Zat yang memiliki sifat Qidam (tidak berpemulaan)?"
   
Ibn ‘Atha’illah memberikan resep khusus bagi mereka yang ingin menyingkirkan hijab-hijabnya dengan sebuah bait yang indah:

"Bagaimana hati manusia dapat bersinar, sementara gambar-gambar duniawi tetap terlukis dalam cermin hati itu? Bagaimana hati bisa berangkat menuju Allah, kalau masih terbelenggu oleh syahwat? Bagaimana mungkin seseorang akan antusias menghadap kehadirat Allah, jika hatinya belum suci dari ‘junub’ kelalaian? Bagaimana mungkin seorang hamba bisa memahami kedalaman berbagai rahasia, sementara ia belum bertobat dari kesalahan? (Bersambung)

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...