Wilâyah & Cakupannya (2)
- Wilâyah Universal
Nampaknya perlu untuk dijelaskan keempat dimensi wilâyah secara lebih jeluk sehingga pembaca dapat mengambil manfaat darinya.
Dimensi keempat dari wilâyah ini adalah wilâyah universal yang telah dianugerahkan kepada Nabi dan Ahlulbait. Wilâyah
ini adalah sebuah wewenang yang memungkingan untuk wali untuk
menggunakan kekuasaannya atas segala maujud. Dalam istilah Ayatullah
Khomeini, "Merupakan sebuah khilafah yang menyangkut seluruh ciptaan,
dengan keutamaannya sehingga seluruh atom-atom yang ada dalam semesta
ini seluruhnya merendah dihadapan pemegang wilâyah ini."[1]
Wilâyah dari hamba-hamba mustafa
(pilihan) Allah ini bergantung sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Pandangan ini tidak dapat ditinjau secara horizontal tapi secara
vertikal vis-á-vis (berhadapan dengan) kekuasaan Allah Swt.
Kita dalam hal ini menggunakan hierarki vertikal bahwa Allah-lah yang
memberikan kehidupan dan kematian. Allah berfirman :
"Allah memegang jiwa (orang) pada saat mereka mati " (Qs. Az Zumar [39]:42)
Tapi pada saat yang sama, al-Qur'an juga menisbatkan kematian kepadanya malaikat-Nya dengan berfirman :
"Katakan : Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawamu) akan mematikan kamu". (Qs. as-Sajdah [32]:11)
Jika Anda menempatkan muatan-muatan kedua ayat ini secara berdampingan (bentuk horizontal), maka Anda telah berbuat syirik,
politheism. Tapi jika anda menempatkannya dalam bentuk vertikalnya
(dengan kekuasaan malaikat-malaikat di bawah dan bergantung kepada
kekuasaan Allah Swt), maka tauhid Anda terpelihara.
Demikian juga, jika kita menempatkan kekuasaan dan wewenang 'anbiya (para nabi) dan aimmah
(para imam) dalam bentuk vertikal (dengan keyakinan bahwa kekuasaan
mereka di bawah dan bergantung pada kekuasaan Allah Swt), maka kita
telah memelihara tauhid juga status hamba-hamba pilihan Allah tersebut.
Al-Qur'an memberikan beragam contoh orang-orang yang telah diberikan wilâyah di alam semesta ini.
- Dalam menjelaskan kekuasaan bahwa Allah Swt, telah memberikan kepada Nabi 'Isa bin Maryam As, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :
"Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil." ( Qs. Al imran [3]:48)
- Dalam menjelaskan kekuasan-kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, al-Qur'an mengisahkannya sebagai berikut :
"Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut apa saja yang dikehendakinya " ( Qs Shaad [38]:36)
"Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam." (Qs. Shaad [38]:37)
"Inilah anugerah Kami, maka
berikanlah (kepada orang lain) atau (tahanlah untuk dirimu sendiri)
dengan tiada pertanggung jawaban. " (Qs Shaad [38]:40)
Juga pada firman-Nya:
"Dan (telah Kami tundukkan)
untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan
perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami
Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula
kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut)
untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain dari pada itu dan adalah Kami
memelihara mereka itu." ( Qs. al-Anbiyaa' [21]: 81-82)
- Dalam menjelaskan kekuasaan Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, al-Qur'an menceritakan adegan detik-detik sebelum Ratu Shiba dan rombongannya datang mengujunginya :
"Berkata Sulaiman: " Hai
pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa
singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai
orang-orang yang berserah diri. Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari
golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku
benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya. Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab "Aku akan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk
karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari
(akan nikmat-Nya)." (Qs. an-Naml [27]: 38, 39 & 40)
Pada ketiga contoh dari al-Qur'an ini,
kita melihat bahwa Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kekuasan
kepada hamba-hamba pilihan-Nya, memberikan nafas kepada seekor binatang,
menghidupkan orang yang telah mati, menyembuhkan orang yang buta dan
yang mengidap penyakit lepra, menundukkan jin untuk menunaikan tugas
mereka, membawa sesuatu dari jauh hanya dalam sekejap mata, dan
sebagainya. Contoh-contoh ini memadai untuk menunjukkan bahwa
kekuasaan-kekuasaan seperti itu dapat diberikan dan telah diberikan oleh
Allah Swt kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kekuasaan ini dalam
teologi Syiah dikenal sebagai "al-wilâyah at-takwiniyah " (kekuasaan untuk mengatur alam semesta atau wilâyah universal)."
Allah telah memberikan peringkat-peringkat kepada para nabi dan rasul "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain." (Qs. al-Baqarah [2]:253) dan "Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain) ."(Qs.
al-Isra' [17]:55), dan kepada seluruh kaum muslimin yang meyakini bahwa
Nabi Saw, Muhammad al-Mustafa, berada pada peringkat yang tertinggi
dari seluruh para nabi dan rasul."[2]
Seluruh para nabi dan rasul datang
untuk menyiapkan umat mereka dalam rangka menyambut Rasulullah, Muhammad
Saw, sebagai Rasul untuk seluruh alam semesta dan Rasul pamungkas. Jika
para nabi seperti Nabi Sulaiman, Dawud, 'Isa dan Musa dan juga perdana
menteri Nabi Sulaiman, dianugerahkan kekuasaan menundukkan alam semesta,
kemudian diikuti oleh kemestian bahwa Nabi Muhammad niscaya telah
dianugerahkan dengan kekuasaan yang lebih untuk menundukkan alam
semesta. Dua contoh telah dengan jelas disebutkan dalam al-Qur'an.
Kemampuan Nabi Saw untuk berjalan melintasi relung ruang dan waktu
dengan raga materinya. (Qs. al-Israa' [17]:1; An-Najm [53]:5-8), dan
membelah bulan dengan menunjuknya dengan tangan. (Qs. al-Qamar [54]:1).[3]
Imam Ali dan para Imam Ahlulbait
diyakini oleh para pengikutnya (baca: Syiah) lebih tinggi kedudukannya
daripada seluruh para nabi dan rasul kecuali Rasulullah Saw.[4]
Dan sebagai sebuah kemestian bahwa mereka juga telah diberikan
kekuasaan oleh Allah Swt seperti yang telah diberikan kepada Rasulullah
Saw.
Pada poin ini, saya hanya akan
menyebutkan satu ayat dari al-Qur'an berkenaan dengan masalah ini.
Selama masa awal-awal di Mekkah, ketika para penyembah berhala
mengingkari seruan Nabi, Allah Swt menurunkan sebuah ayat untuk
menghibur hati beliau: "Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu bukan
seorang yang dijadikan Rasul." Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi
antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab." (Qs. ar-Ra'd [13]:43)
Nabi Muhammad dihibur bahwa tidak
menjadi masalah jika para penyembah berhala itu tidak mempercayai
seruanmu itu; sudah cukup bahwa Allah dan "Orang-orang yang memiliki
pengetahuan tentang al-Kitab" menjadi saksi atas kebenaran seruanmu.
Siapakah yang disebut oleh Allah menjadi saksi atas seruan Nabi ini?
Siapakah yang memiliki pengetahuan atas al-Kitab ini? Menurut
riwayat-riwayat Syiah, yang didukung juga oleh kitab-kitab Ahlisunnah,
orang yang menjadi saksi dan memiliki ilmu pengetahuan seperti yang
dimaksud di atas adalah Ali bin Abi Talib.[5]
Sudah pasti tidak ada di antara sahabat-sahabat Nabi yang dapat
mengklaim lebih memiliki ilmu pengetahuan daripada Ali bin Abi Talib.
Bagaimana uraian "memiliki pengetahuan tentang al-Kitab" membuktikan wilâyah
universal Ali? Jika anda menyebut Asif Barkhiya, perdana menteri Nabi
Sulaiman, demikian memiliki kekuasaan dapat membawa mahkota Ratu Saba
dalam sekejap mata". Asif dikisahkan sebagai seseorang yang memiliki "ilmun min al-kitab"
(pengetahuan tentang sebagian al-Kitab, tidak "pengetahuan tentang
seluruh al-Kitab)." Sebagai perbandingan, Imam Ali dikisahkan oleh Allah
sebagai seseorang yang memiliki "ilmul kitab" – pengetahuan
tentang seluruh al-Kitab, tidak hanya sebagian dari al-Kitab sebagaimana
Asif Barkhiya. Dengan demikian, tidak terlalu sulit untuk menyimpulkan
bahwa kekuasaan Imam Ali atas alam semesta niscaya lebih unggul daripada
Asif Barkhiya yang dapat membawa mahkota dari jauh sebelum "mata
berkedip."
Lagi, penting untuk diingat, saya harus menyebutkan bahwa keyakinan ini harus diteliti dalam bentuk vertikal vis-á-vis
(berhadapan dengan) kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dan hanya dalam
format itu kita dapat menjaga konsep tawhid yang menyatakan bahwa Allah
adalah Pemegang Kekuasaan Mutlak dan sumber segala kekuasaan. Ini juga
mengingatkan kita akan kebergantungan total hamba-hamba pilihan itu
kepada kehendak dan kekuasaan Allah yang memerintahkan Nabi-Nya untuk
berkata. "Katakanlah : Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi
diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki
Allah. " (Qs. al-A'raaf [7]:188) Perkataan Nabi ini bukanlah sebuah
penafian bahwa beliau tidak memiliki kekuasaan; sebuah penegasan
keyakinan bahwa kekuasaan apa saja yang beliau miliki bersumber dari
kehendak dan keridaan Allah Swt. [Bersambung]
[1] . Nukilan penuh dari ungkapan ini akan di bahas pada bagian lain dari rubrik ini.
[2]. Ash-Shaduq, I'tiqâdat, hal. 92-93; dalam terjemahan Inggrisnya, The Shi'ite Creed, hal. 84-85; al-Majlisi, "Risâlah fil I'tiqâdat," hal. 310.
[3]. Ihwal kisah membelah bulan, lihat sumber-sumber Syiah, at-Tabarsi, Majmâ'ul Bayân, vol. 5, hal. 186; at-Thabathaba'i, al-Mizân fi Tafsiril Qur'ân,
vol. 19, hal. 60-72, yang juga menolak isykalan (sanggahan) yang
disampaikan oleh kaum Muslim yang berpikiran materialis yang cenderung
mengintepretasikan ayat-ayat seperti itu dalam bentuk metaforis. Dalam
sumber-sumber Sunni, lihat Fakhrurrazi, at-Tafsirul Kabir, vol. 15, hal. 26; as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur, vol. 6, hal. 133; Mawdudi, Tafhimul Qur'ân, vol. 5, hal. 230-231.
[4] . Ash-Shaduq, I'tiqâdat, hal. 92-93; dalam terjemahan Inggrisnya, The Shi'ite Creed, hal. 84-85; al-Majlisi, "Risâlah fil I'tiqâdat," hal. 310.
[5] . Di antara sumber-sumber Sunni, lihat Ibn al-Maghazali ash-Syafi'i, Manâqib al-Imâm 'Ali bin Abi Thâlib, hal. 313 (hadis # 358); as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur, vol. 4 (Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun) hal. 669; al-Qunduzi, Yanâbiul Mawaddah (Beirut: 1390/1970) hal. 121. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat asy-Syahid at-Tustari, Ihqâq al-Haq,
vol. 3, hal. 280, vol. 14, hal. 362-365, vol. 20, hal. 75-77. Untuk
pandangan kritis atas laporan yang disampaikan oleh Sunni, lihat
ath-Thaba'thaba'i, al-Mizân, vol. 11, hal. 423-428.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar