Wilâyah & Cakupannya (1)
- Apa Wilâyah itu?
"Wilâyah, diambil dari kata wilâ, yang berarti kekuasaan, wewenang atau sebuah hak atas hal-hal tertentu. Dalam teologi Syiah, wilâyah adalah wewenang yang diberikan Allah Swt kepada Nabi dan Ahlulbait sebagai wakil Allah di muka bumi.
Menyitir almahrum Syahid Mutahhari, wilâyah memiliki empat dimensi :
- Hak kecintaan dan ketaqwaan (wilâ-e mahabbat)
Hak ini menempatkan kaum muslimin di bawah kewajiban untuk mencintai Ahlulbait.
- Wilâyah dalam bimbingan ruhani (wilâ-e imâmat)
Hak ini mencerminkan kekuasaan dan wewenang Ahlulbaitdalam menuntun pengikutnya dalam urusan-urusan spiritual.
- Wilâyah dalam bimbingan sosial-politik (wilâ-e ziâmat)
Dimensi wilâyah ini mencerminkan hak bahwa Ahlulbait harus menuntun kaum muslimin dalam kehidupan sosial dan politik.
- Wilâyah semesta (wilâyah tasarruf)
Dimensi wilâyah ini
mencerminkan kekuasaan yang meliputi semesta raya yang menegaskan bahwa
Nabi dan Ahlulbait telah dianugerahkan oleh Allah Swt.[1]
Dengan menggunakan pembagian dimensi-dimensi wilâyah ini, saya ingin menunjukkan area kesetujuan (pro) dan ketidaksetujuan (kontra) mereka di antara kelompok-kelompok muslim.
Dimensi pertama : Hak Cinta
Seluruh kaum muslim sepakat menerima dimensi pertama dari wilâyah Ahlulbait ini. Mencintai Ahlulbait merupakan "dharuriyat ad-din" (ushuluddin). Termasuk shalawat[2] dalam salat setiap hari adalah sebagai bukti yang cukup untuk hal ini. Lihat kitab-kitab anti-Syiah seperti as-Shawâiqul Muhriqa, Ibnu Hajar al-Makki dan Tuhfa-e Ithna Ashariyayh
milik Shah 'Abdul 'Aziz Dehlawi, dan anda akan mengetahui bahwa
Ahlusunnah berusaha dengan segenap kekuatan untuk menjelaskan bahwa
mereka menentang orang-orang Syiah, namun tidak kepada Syiah Imamiyah
karena mereka tahu bahwa mencintai Ahlulbait merupakan bagian esensial
dalam keimanan.
Cinta kepada Ahlulbait seperti tercermin firman Allah Swt: "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan".
(Qs Asy Syuraa [26]:43) yang telah kita bahas bersama pada bab
sebelumnya. Di sini saya hanya akan mengutip satu lagi hadis dari kitab
Ahlusunnah. Imam Ali berkata, "Demi Allah Yang telah memecah butir padi,
biji dan mencipta jiwa, sesungguhnya Rasulullah Saw telah berjanji
bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali dia seorang beriman dan tidak
ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik."[3]
Sebenarnya Jabir bin Abdullah al-Ansari dan Abu Sa'id al-Khudri, dua
sahabat utama Nabi, pernah berkata: "Kami tidak mengenali kaum munafik
kecuali kebencian mereka terhadap Ali."[4]
Sudah menjadi pandangan umum para ulama Syiah bahwa siapa pun yang menolak salah satu dari dharuriyat ad-din ini, maka dia tidak dipandang lagi sebagai seorang yang beriman.[5]
Dan juga berdasarkan kepada prinsip ini, Khawarij dan Nawasib (mereka
yang menyatakan secara terbuka kebencian dan permusuhannya terhadap
Ahlulbait) dipandang sebagai non-Muslim oleh para fuqaha Syiah.[6]
Dimensi Kedua : Bimbingan Ruhani
Dimensi kedua dari wilâyah ini
adalah sebuah keyakinan yang disepakati secara umum oleh Syiah, demikian
juga oleh sebagian besar Ahlisunnah khususnya yang mengikuti
tarekat-tarekat sufi. Tidak ada yang lebih baik merefleksikan
interpretasi ini selain yang diberikan oleh Maulawi Salamat Ali, seorang
ulama Sunni dari India, sehubungan dengan hadis al-Ghadir. Ia
menulisnya dalam at-Tabsira, "Ahlisunnah tidak meragukan imâmah
Amirul Mukminin Ali; dan hal ini merupakan esensi iman. Bagaimanapun,
ini perlu, dalam mengambil hadis al-Ghadir ini, ia bermakna Imâmah Ruhani
bukan politik. Hal ini merupakan makna yang diambil dari komentar ulama
Ahlisunnah dan ulama Sufi, dan, akibatnya, baiat seluruh
tarekat-tarekat sufi sampai ke Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib dan
melalui Imam Ali mereka dapat tersambung hingga ke Rasulullah Saw."[7]
Selain dari tarekat NaqSyabandi, seluruh
sufi ditelusuri mata rantai ruhani mereka sampai kepada para Imam
Ahlubait, dan berakhir pada Imam Ali bin Abi Talib sebagai orang yang
memegang wewenang spiritual par excellence setelah Nabi.[8]
Tarekat Naqsabandi jika ditelusuri pemimpin spiritual mereka kembali
kepada Imam Jafar Sadiq dan mengikut nasab dari ibunya kepada Muhammad
bin Abu Bakar dan kemudian ke Abu Bakar. Pengalihan yang berasal dari
Imam ash-Shadiq kepada Abu Bakar adalah, betapapun tidak sahih, karena
Muhammad bin Abu Bakar tumbuh dewasa dalam bimbingan Imam Ali bin Abi
Thalib yang menikahi ibunya, Asma binti Umays, setelah wafatnya Abu
Bakar. Dan ustad ruhani Muhammad bin Abu Bakar hanyalah Imam Ali bin Abi
Thalib As.
Dimensi Ketiga dan Keempat :
Wilâyah Sosio-politik dan Semesta
Dimensi ketiga dan keempat dari wilâyah ini merupakan wilâyah yang unik dari keyakinan Syiah, dan dipandang sebagai bagian dari dharuriyat al-mazhab, bagian asasi dari mazhab Syiah. Dan pandangan umum ulama Syiah menyatakan bahwa siapa yang menolak salah satu dari daruriyat al-mazhab, tidak dipandang sebagai seorang penganut mazhab Syiah.
Kedudukan Ahlulbait
di antara kaum Muslimin
Sunni | Sufi | Syiah | |
Kecintaan Ahlulbait | √ | √ | √ |
Bimbingan Ruhani Ahlulbait | X | √ | √ |
Kepemimpinan Politik Ahlulbait | X | X | √ |
Wilâyah Universal Ahlulbait | X | X | √ |
Penting untuk diperhatikan bahwa dimana saja Syiah menggunakan istilah imâmah atau imam, maka ini sudah mencakup seluruh empat dimensi dari wilâyah tersebut. Termasuk wilâyah spiritual (ruhani) dan universal demikian juga sosial dan kepemimpinan."[9]
Dalam definisi ini, istilah Syiah "imâmah" atau "imam" lebih komprehensif dari istilah Sunni "khilâfat" dan "khalifah".
Dalam kitab-kitab yang berisikan dialog antara Syiah-Sunni ihwal
kepemimpinan setelah Nabi, fokus pembahasannya lebih ditekankan pada
kepemimpinan sosial-politik namun tidak dalam artian yang menafikan wilâyah
spiritual dan universal Imam. Sehingga ketika sedang membaca atau
berdiskusi masalah suksesi Nabi Muhammad Saw, seseorang seharusnya tidak
kehilangan muatan universal tentang status seorang imam menurut
pandangan Syiah. [Bersambung]
[1] . Lihat, Murtadha Muthahari, Wilayah: the Station of the Master (Walâ'hâ wa Wilâyat hâ), terjemahan Yahya Cooper, Tehran: World Organisation for Islamic Services, 1982.
[2]
. Shalawat bermakna meminta kiranya Allah mengucurkan rahmat dan berkah
ke atas junjungan Nabi Saw dan Ahlulbaitnya. Shalawat ini termasuk
dalam ritual harian yang didoakan oleh seluruh kaum Muslimin.
[3] . Sebuah hadis otentik dan sahih yang dinukil oleh an-Nasa'i, Khasâis Amiril Mu'minin 'Ali bin Abi Thalib (Beirut: Darul Kitab, 1987), hal. 101-102; annotator, al-Athari, telah memberikan banyak nukilan seperti Sahih Muslim, Sahih Tirmidzi dan yang lainnya.
[4]
. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan at-Tirmidzi, keduanya dalam
bagian al-Manaqib, sebagaimana dinukil oleh Muhibuddin at-Tabari, Dzakhâirul Uqba Fi Manâqib Dzawil Qurba, editor, Akram al-Busyi (Jeddah: Maktabatus Shabah, 1995) hal. 165.
[5]. Dalam menolak Dharuriyat, lihat al-Majlisi, "Risâlah fil I'tiqâdat, 'Manâhijul Haqq wa an-Najat, editor, Sayid Hasan Bani Taba (Qum: Markaz-e Athar Syiah, 1372 S) hal. 308-309; Sayid Muhammad Kazim al-Yazdi, al-Urwâtul Wutsqa (Tehran: Darul Kutub al-Islamiyyah, 1392) hal. 24.
[6]. Ash-Shaduq, I'tiqâdatul Imâmiyyah, hal. 94; dalam terjemahan Inggrisnya, The Shiite Creed, lihat hal. 85. Lihat juga setiap buku standar Ushul Syiah bagian "najâsat" di bawah "kâfir".
[7]
. Sebagaimana dinukil dari Almarhum Allamah Mir Hamid Husain al-Musawi
yang kemudian menolaknya untuk membuktikan universalitas Imamah Amirul
Mukminin Ali As melalui hadis Ghadir. Lihat al-Milani, Nafahâtul Azhar fi Khulâsati 'Abaqâtul Anwâr, vol. 9 (Beirut: Darul Muarrikhil Arabi, 1995) hal. 311.
[8] . Sayid Husain Nasr, "Shi'ism and Sufism," hal. 103.
[9] . Lihat, Muthahhari, Wilâyah, hal. 72; lihat juga Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 163 sebagaimana dinukil oleh guru kami, Sayid Muhsin al-Kharrazi, Bidâyatul Ma'ârifil Ilahiyyah, vol. 2, hal. 12-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar