Jumat, 10
April 2015, 17:00 WIB
Di antara
kendala salik untuk mendaki ke puncak perjalanan ialah adanya berbagai hijab
yang harus ditembus. Dalam ilmu tasawuf dikenal ada dua hijab, yaitu hijab
hitam (hijab dhulmani) dan hijab putih (hijab nurani). Keduanya sama bahayanya.
Hijab hitam membutakan mata dan hijab putih menyilaulan mata. Hijab hitam
umumnya muncul karena dosa yang dilakukan oleh anggota badan, seperti zina,
membunuh, mencuri, berbohong, dan memfitnah.
Sedangkan hijab putih umumnya muncul karena dosa yang dilakukan oleh hati, jiwa, dan pikiran. Hijab hitam banyak dibahas di dalam kitab-kitab fikih dan hijab putih lebih banyak dibahas di dalam kitab-kitab tasawuf. Dalam pembahasan ini, akan lebih banyak dibahas hijab-hijab putih karena pada umumnya yang menjadi penghalang untuk sampai ke maqam puncak bukan lagi hijab-hijab hitam, tetapi hijab-hijab putih.
Hijam putih terselip di dalam dalam jiwa atau hati paling dalam atau di dalam relung-relung pikiran. Contoh hijab putih ialah ujub, yaitu suatu sikap yang membanggakan prestasi. Hijab putih sangat halus. Begitu halusnya, maka terkadang tidak kelihatan atau tidak terasa sebagai sebuah hijab. Contohnya, seseorang yang merasa bangga dengan pujian, termasuk bagian dari hijab putih.
Ibnu ‘Athaillah pernah melukiskan hijab putih ini dalam salah satu bait di dalam kitabnya, Al-Hikam: "Keinginanmu agar orang lain mengetahui keistimewaan yang ada pada dirimu menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu". Jika seseorang menikmati pujian, berarti menjadi bukti kurangnya keikhlasan. Para salik di papan atas jika dipuji ia bersedih karena yang paling pantas untuk dipuji hanya Allah SWT, sebagaimana ditegaskan di dalam surah al-Fatihah: Al-hamdu lillahi Rabbil ‘alamin (Segala puji hanya tertuju kepada Allah, Tuhan segenap Alam).
Imam al-Gazali dalam kitab Ihya’-nya juga pernah menggambarkan tanda-tanda jika seseorang masih ditutupi hijab putih, antara lain: 1) mereka yang menyiksa badan untuk mengejar makrifat. 2) Mereka hanyut dengan hakikat lalu mengabaikan hukum fikih. 3) Mereka tidak mengontrol mulut ketika memperoleh pengalaman batin yang mengesankan. 4) Mereka terlalu cepat merasa puas dengan kebahagiaan spiritual yang diperoleh.
5) Mereka terbetik di dalam hatinya sebagai pilihan Tuhan yang terbaik. Ia seperti membusungkan dada sebagai kekasih khususnya Allah SWT. Ia bangga karena tidak perlu menempuh waktu dan perjalanan panjang, tetapi sudah merasa menemukan apa yang diburu selama ini. 6) Mereka yang melupakan dirinya sebagai khalifah yang masih dituntut tanggung jawab sosialnya di dalam menjalani kehidupan. Pencapaian ilmu mukasyafah tidak bisa membuat orang menjadi a-social.
7) Mereka yang sibuk dengan hakikat, tetapi mengabaikan syariat. Tidak mungkin seorang salik bisa melanjutkan pencarian ke tahap berikut sebelum syariah tuntas. 8) Mereka yang sibuk membahagiakan batinnya, tetapi mengabaikan keluarga dan masyarakatnya. 9) Mereka yang asyik dengan akhiratnya dan mengabaikan dunianya. Tidak boleh seseorang terlalu egois, hanya mengutamakan dirinya meraih kebahagiaan spiritual.
10) Mereka memuji prestasi spiritualnya lantas mengasingkan diri dengan orang lain. Islam tidak menoleransi seseorang memilah-milah orang lain berdasarkan tingkatan spiritual. Imam al-Gazali meriwayatkan sebuah hadis, Nabi menunjuk seorang pengamal tasawuf sebagai penghuni neraka lantaran ia menolak seorang perempuan nakal untuk berkonsultasi dengannya, padahal ia ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Perempuan itu berusaha menemui sang ulama itu lantaran ingin berkonsultasi tentang persoalan agama, tetapi tidak pernah diberi waktu dengan alasan tidak ingin ternodai dengan bertemu dengan perempuan nakal. Nabi mengatakan, ulama itu penghuni neraka dan perempuan itu penghuni surga.
11) Mereka menganggap ilmu tasawuf paling istimewa dan paling benar, sementara ilmu-ilmu ainnya dianggapnya tidak penting.
Siapa pun yang ingin mendaki ke maqam spiritual lebih tinggi, terlebih dahulu harus membersihkan diri dari hijab hitam dan hijab putih. Dalam hadis riwayat Ahmad dikatakan, setiap orang memiliki standar hijab 20.000 lapis. Di antara lapis-lapis hijab itu ada yang tipis dan ada yang tebal, bahkan ada yang seperti benteng.
Hijab-hijab tipis dan bisa ditembus dengan amalan-amalan riyadhah dan mujahadah. Di sinilah kelebihan takbir ihram. Di antara 10 kelebihannya mampu mendobrak hijab-hijab yang tebal. Kalangan ulama tasawuf mengatakan seandainya orang tahu rahasia besar yang terkandung di dalam takbir ihram, mungkin tidak akan ada orang meninggalkan shalat, baik shalat sunah apalagi fardhu.
Jika seseorang sudah mampu menyingkirkan berbagai hijabnya, potensi utnuk mendaki ke jenjang maqam berikutnya semakin besar. Namun, perlu diingat bahwa setiap jenjang pendakian masing-masing memiliki hijab. Hijab-hijab yang disebutkan di atas adalah hijab yang relatif masih mudah dideteksi dan belum terlalu sulit untuk dilewati.
Akan tetapi, jika safar ula ini selesai, hijab berikutnya lebih halus lagi. Di antara hijab itu ada yang disebut dengan hijab katsrah, yaitu manakala seseorang masih menyaksikan banyak (the manyness) pada alam, itu masih merupakan hijab. Jika sudah mampu menyaksikan alam ini satu (the oneness) kemudian menjadi The One, ia akan bebas menempuh safar tsani, sebagaimana akan dibahas dalam artikel mendatang. (Bersambung).
Sedangkan hijab putih umumnya muncul karena dosa yang dilakukan oleh hati, jiwa, dan pikiran. Hijab hitam banyak dibahas di dalam kitab-kitab fikih dan hijab putih lebih banyak dibahas di dalam kitab-kitab tasawuf. Dalam pembahasan ini, akan lebih banyak dibahas hijab-hijab putih karena pada umumnya yang menjadi penghalang untuk sampai ke maqam puncak bukan lagi hijab-hijab hitam, tetapi hijab-hijab putih.
Hijam putih terselip di dalam dalam jiwa atau hati paling dalam atau di dalam relung-relung pikiran. Contoh hijab putih ialah ujub, yaitu suatu sikap yang membanggakan prestasi. Hijab putih sangat halus. Begitu halusnya, maka terkadang tidak kelihatan atau tidak terasa sebagai sebuah hijab. Contohnya, seseorang yang merasa bangga dengan pujian, termasuk bagian dari hijab putih.
Ibnu ‘Athaillah pernah melukiskan hijab putih ini dalam salah satu bait di dalam kitabnya, Al-Hikam: "Keinginanmu agar orang lain mengetahui keistimewaan yang ada pada dirimu menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu". Jika seseorang menikmati pujian, berarti menjadi bukti kurangnya keikhlasan. Para salik di papan atas jika dipuji ia bersedih karena yang paling pantas untuk dipuji hanya Allah SWT, sebagaimana ditegaskan di dalam surah al-Fatihah: Al-hamdu lillahi Rabbil ‘alamin (Segala puji hanya tertuju kepada Allah, Tuhan segenap Alam).
Imam al-Gazali dalam kitab Ihya’-nya juga pernah menggambarkan tanda-tanda jika seseorang masih ditutupi hijab putih, antara lain: 1) mereka yang menyiksa badan untuk mengejar makrifat. 2) Mereka hanyut dengan hakikat lalu mengabaikan hukum fikih. 3) Mereka tidak mengontrol mulut ketika memperoleh pengalaman batin yang mengesankan. 4) Mereka terlalu cepat merasa puas dengan kebahagiaan spiritual yang diperoleh.
5) Mereka terbetik di dalam hatinya sebagai pilihan Tuhan yang terbaik. Ia seperti membusungkan dada sebagai kekasih khususnya Allah SWT. Ia bangga karena tidak perlu menempuh waktu dan perjalanan panjang, tetapi sudah merasa menemukan apa yang diburu selama ini. 6) Mereka yang melupakan dirinya sebagai khalifah yang masih dituntut tanggung jawab sosialnya di dalam menjalani kehidupan. Pencapaian ilmu mukasyafah tidak bisa membuat orang menjadi a-social.
7) Mereka yang sibuk dengan hakikat, tetapi mengabaikan syariat. Tidak mungkin seorang salik bisa melanjutkan pencarian ke tahap berikut sebelum syariah tuntas. 8) Mereka yang sibuk membahagiakan batinnya, tetapi mengabaikan keluarga dan masyarakatnya. 9) Mereka yang asyik dengan akhiratnya dan mengabaikan dunianya. Tidak boleh seseorang terlalu egois, hanya mengutamakan dirinya meraih kebahagiaan spiritual.
10) Mereka memuji prestasi spiritualnya lantas mengasingkan diri dengan orang lain. Islam tidak menoleransi seseorang memilah-milah orang lain berdasarkan tingkatan spiritual. Imam al-Gazali meriwayatkan sebuah hadis, Nabi menunjuk seorang pengamal tasawuf sebagai penghuni neraka lantaran ia menolak seorang perempuan nakal untuk berkonsultasi dengannya, padahal ia ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Perempuan itu berusaha menemui sang ulama itu lantaran ingin berkonsultasi tentang persoalan agama, tetapi tidak pernah diberi waktu dengan alasan tidak ingin ternodai dengan bertemu dengan perempuan nakal. Nabi mengatakan, ulama itu penghuni neraka dan perempuan itu penghuni surga.
11) Mereka menganggap ilmu tasawuf paling istimewa dan paling benar, sementara ilmu-ilmu ainnya dianggapnya tidak penting.
Siapa pun yang ingin mendaki ke maqam spiritual lebih tinggi, terlebih dahulu harus membersihkan diri dari hijab hitam dan hijab putih. Dalam hadis riwayat Ahmad dikatakan, setiap orang memiliki standar hijab 20.000 lapis. Di antara lapis-lapis hijab itu ada yang tipis dan ada yang tebal, bahkan ada yang seperti benteng.
Hijab-hijab tipis dan bisa ditembus dengan amalan-amalan riyadhah dan mujahadah. Di sinilah kelebihan takbir ihram. Di antara 10 kelebihannya mampu mendobrak hijab-hijab yang tebal. Kalangan ulama tasawuf mengatakan seandainya orang tahu rahasia besar yang terkandung di dalam takbir ihram, mungkin tidak akan ada orang meninggalkan shalat, baik shalat sunah apalagi fardhu.
Jika seseorang sudah mampu menyingkirkan berbagai hijabnya, potensi utnuk mendaki ke jenjang maqam berikutnya semakin besar. Namun, perlu diingat bahwa setiap jenjang pendakian masing-masing memiliki hijab. Hijab-hijab yang disebutkan di atas adalah hijab yang relatif masih mudah dideteksi dan belum terlalu sulit untuk dilewati.
Akan tetapi, jika safar ula ini selesai, hijab berikutnya lebih halus lagi. Di antara hijab itu ada yang disebut dengan hijab katsrah, yaitu manakala seseorang masih menyaksikan banyak (the manyness) pada alam, itu masih merupakan hijab. Jika sudah mampu menyaksikan alam ini satu (the oneness) kemudian menjadi The One, ia akan bebas menempuh safar tsani, sebagaimana akan dibahas dalam artikel mendatang. (Bersambung).
Oleh Prof Dr
Nasaruddin Umar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar