Senin, 14 Maret 2016

al-Asfar al-Arba'ah Perjalanan (3): Dari Tuhan Menuju Makhluk dengan Tuhan (Min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq)



Jumat, 22 Mei 2015, 13:00 WIB
Para salik yang sampai pada perjalanan ketiga sudah sadar kembali dari kefanaannya. Saat itu salik mengemban sebuah misi atau amanah untuk turun ke alam bawah (al-'alam al-sufla). Ia memiliki kemiripan dengan Nabi yang membawa misi kenabian kepada manusia, namun tentu saja berbeda dengan Nabi karena sehebat apa pun seorang salik atau wali tidak akan pernah menyamai Nabi.

Akan tetapi, dari segi pengalaman dan fungsi, para salik di level ketiga ini memiliki kesamaan fungsi dengan Nabi, sama-sama memiliki pengalaman batin yang tinggi, namun tidak wajib menyampaikannya kepada umat atau jamaahnya. Berbeda dengan rasul, yang berkewajiban menyampaikan misi pengalaman batinnya kepada umatnya.

Dari sisi inilah al-Qumsyi'i mengatakan bahwa salik yang sudah mencapai level ketiga dan keempat menyebutnya memiliki misi kenabian (nubuwwah/prophetic) dalam arti bahasa bukan menurut istilah syar'i (huwa nahwun min al-nubuwwah bi ma'naha al-lugawi, la al-isthilahi, laisat nubuwwah al-tasyri').
   
Perbedaan dengan safar-safar sebelumnya (safar pertama dan kedua) ialah starting point-nya ialah makhluk (al-khalq) menuju Tuhan (al-Haq). Paradigmanya juga berangkat dari yang banyak (al-katsrah/manyness) menuju ke yang tunggal (al-Wahdah/oneness). Sedangkan, safar ketiga starting point-nya ialah Tuhan (al-Haq) menuju makhluk (al-khalq).

Paradigmanya berangkat dari yang tunggal (al-Wahdah/oneness) menuju ke yang banyak (al-katsrah/manyness). Para salik di level safar ketiga ini sepintas tidak ada yang berbeda dengan penampilan ketika masih dalam safar pertama, ia bermasyarakat dan bersosialisasi, tetapi di dalam dirinya sudah mengalami suasana batin yang sangat berubah (shifting).

Orang-orang yang mengalami pengalaman spiritual dapat membaca kekuatan perubahan tersebut di dalam diri yang bersangkutan. Seolah-olah berlaku ungkapan hanya wali yang sejati yang mampu memahami wali yang sejati. Para salik di makam ini tersiksa dengan pujian. Jika ada yang mengaku salik lalu kelihatan menikmati berbagai pujian yang dialamatkan kepada dirinya, salik itu layak dipertanyakan.
   
Salik dalam level ketiga ini sudah memiliki kesadaran di level permanen (maqamat), bukan lagi di level kesadaran temporer (ahwal). Di manapun dan kapan pun ia berada selalu bersama dengan Tuhan. Inilah makna dari istilah: Min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq karena di manapun dan kapan pun ia berada selalu bersama dengan Tuhan.

Di dalam Syi'ah, kelompok ini masuk kategori terpelihara dari dosa (min al-ma'shumin), dengan berdasar pada ayat, Innama yurid Allah li yudzhiba 'ankum al-rijsa ahl al-bait wa yuthahhirakum tathhira (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya/QS al-Ahdzab [33]:33). Kemaksuman seorang tokoh terkemuka Syi'ah seperti kalangan imam, ayatullah, dan orang-orang tertentu lainnya dihubungkan dengan level safar ketiga atau keempat. Hal seperti ini tidak populer di dunia Sunni, tetapi kalangan sufi tertentu di kalangan Sunni bisa memahami makam ini sebagai kelompok wali (al-maqam al-auliya’).
   
Hal yang mungkin agak kontroversi ialah adanya keraguan orang-orang awam terhadap tingkah laku kalangan salik yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai universal ajaran Islam. Akan tetapi, kalangan arifin bisa mengerti ihwal salikin dan tidak serta-merta mencela atau menyalahkannya karena jangan sampai yang bersangkutan mendapatkan petunjuk khusus dari Tuhan terhadap suatu persoalan.

Analoginya seperti peristiwa yang dilakukan oleh Khidhir yang melubangi perahu-perahu nelayan miskin, membunuh anak kecil yang berlum berdosa, dan memugar bangunan tua lalu ditinggalkan begitu saja. Secara awam tentu peristiwa itu dianggap kesalahan fatal, tetapi Alquran membenarkannya.

"Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu,karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS al-Kahfi [18]:79:82).
   
Ayat-ayat ini sangat jelas menunjukkan kepada kita adanya rahasia di balik rahasia di dalam kehidupan umat manusia. Jika Allah SWT menghendaki, tidak ada yang mustahil baginya. Hal yang pasti, keberadaan Nabi Khidhir yang dikisahkan di dalam 12 ayat dalam surah al-Kahfi dapat dijadikan pelajaran berharga: Hati-hati terhadap orang yang tidak populer di bumi karena boleh jadi ia selebritas utama di surga. (Bersambung). 

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...